Oleh : Ustadz Abu Salmah al-Atsari
diantara karakteristik mereka :
3. Tidak faham manhaj salaf di dalam dakwah
Ini juga merupakan kebodohan diantara kebodohan-kebodohan mereka, mereka tidak faham tentang manhaj salaf di dalam dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar. Semua kesalahkaprahan atas sikap mereka ini dikarenakan kebodohan mereka dan sedikitnya ilmu syar’i yang mereka miliki, bagaimana tidak? Wong berihtimam dengan ilmu syar’i
saja mereka enggan dan lebih senang dengan menyibukkan diri dengan
perkara-perkara yang tidak membawa kemashlahatan bagi mereka. Padahal
syarat di dalam berdakwah dan beramar ma’ruf nahi munkar adalah haruslah berilmu dengan apa yang akan di dakwahkan.
Sebagian orang jahil ini akan berdalih, bahwa bantahan-bantahan mereka yang berupa makian, cercaan, umpatan dan celaan kepada du’at dan saudara mereka sesama ahlus sunnah itu sebagai bagian dari amar ma’ruf nahi munkar, bagian dari da’wah salafiyyah.
Padahal telah jelas-jelas bahwa mereka ini menyatakan bahwa diri
mereka sendiri adalah : ”orang yang miskin (ilmu)”, ”orang yang bodoh”,
”bocah ingusan ini”, dan ucapan-ucapan perendahan lainnya yang mereka
akui dan jujur yang mereka sampaikan, tapi anehnya mereka malah tidak
mau berihtimam di dalam menuntut ilmu syar’i dan menyibukkan diri di dalamnya.
Sungguh tepatlah kiranya apa yang disampaikan oleh al-’Allamah Shalih Fauzan al-Fauzan tatkala ditanya dengan pertanyaan : ”Fadhilatusy Syaikh,
apa nasehat anda kepada para pemuda yang meninggalkan mempelajari ilmu
syar’i dan berdakwah kepada Allloh dan mereka menceburkan diri mereka
di dalam perselisihan yang terjadi diantara para ulama tanpa disertai
ilmu dan bashiroh?”. Syaikh hafizhahullahu menjawab :
أنا
أوصي جميع إخواني وخاصة الشباب وطلبة العلم أن يشتغلوا بطلب العلم الصحيح
سواء كانوا في المساجد أو في المدارس أو في المعاهد أو في الكليات أن
يشتغلوا بدروسهم وبمصالحهم ويتركوا الخوض في هذه الأمورلأنها لا تـأتي
بخير وليس من المصلحة الدخول فيها وإضاعة الوقت فيها وتشويش الأفكار. هذه
من المعوقات عن العمل الصالح ومن الوقوع في الأعراض والتحريش بين
المسلمين.
”Aku
menasehatkan kepada semua saudara-saudaraku terutama para pemuda dan
penuntut ilmu, supaya mereka mau menyibukkan diri mereka dengan
menuntut ilmu yang shahih, baik di masjid-masjid, sekolahan,
ma’had ataupun di perkuliahan, agar menyibukkan diri dengan
pelajaran-pelajaran mereka dan kemashlahatan mereka dan supaya
mereka mau meninggalkan menyelami permasalahan ini (perselisihan),
karena hal ini tidaklah mendatangkan kebaikan dan tidaklah akan membawa
kemashlahatan memasukinya, membuang-buang waktu di dalamnya dan
meruwetkan fikiran dengannya. Hal ini (menyelami perselisihan)
merupakan penghalang amal shalih dan termasuk perusakan kehormatan dan
penghasutan di tengah-tengan kaum muslimin.”[1]
Dan sungguh tepat pula kiranya apa yang dinasehatkan oleh al-‘Allamah Ahmad Yahya an-Najmi hafizhahullahu ketika beliau ditanya dengan pertanyaan berikut :
السؤال :
بعض طلبة العلم الصغار ؛ أشغلوا أنفسهم بالكلام عن الحزبيين , وجعلوا ذلك
من جل أوقاتهم , وضيعوا طلب العلم الذي ينفعهم عند ربهم , والذي يبين لهم
الخبيث من الطيب ؛ حتى يعرفوا ما عند الحزبيين من أخطاء ؛ بل ما أصبح
همهم إلا ( ما رأيك في فلان ؟ وما رأيك في فلان ؟ ) وأصبحت غالب جلساتهم
في هذا الشأن ؛ حتى أنهم يتهمون الناس جزافاً . فما هي نصيحتكم لهؤلاء
الشباب , وحثهم على الاهتمام بالعلم الشرعي الذي يحصنهم من البدع ؟
Pertanyaan : Sebagian penuntut ilmu pemula menyibukkan diri mereka dengan pembicaraan seputar hizbiyun
dan mereka jadikan pembicaraan ini pada hampir keseluruhan waktu-waktu
mereka. Mereka menyia-nyiakan menuntut ilmu yang lebih bermanfaat bagi
mereka di sisi Rabb mereka, yang mana dengan menuntut ilmu akan terang
kepada mereka mana yang buruk dan mana yang baik, sampai-sampai
terangkat (hakikat) kesalahan-kesalahan hizbiyin. Namun obsesi
mereka adalah “apa pendapatmu terhadap fulan?”’ “apa pendapatmu
terhadap orang ini?”, sehingga hampir keseluruhan majelis-majelis
mereka didominasi oleh pembicaraan seperti ini, sampai-sampai mereka
menuduh manusia dengan serampangan. Maka apakah nasehat Anda terhadap
para pemuda ini dan dorongan kepada mereka supaya mereka mau
mementingkan ilmu syar’i yang dengannya mereka akan terlindungi dari
bid’ah?
الجواب
: الحقيقة : أن المبالغة في هذه الأمور التي تخرج بطالب العلم عن نطاق
الحق إلى الجدل وتضييع الوقت في الكلام الذي لا ينتج عنه فائدة ؛ بل يكون
الإنسان يدور في حلقة مفرغة , فهذا لا ينبغي بل يجب على طالب العلم ؛ أن
يستغل وقته في طاعة الله سبحانه وتعالى , وفي البحث عن العلم وحضور
الحلقات , ولا بأس أن يسمع التحذير منهم وبيان صفاتهم حتى يحذرهم ؛ أما لو
أننا جعلنا كل أوقاتنا في الكلام فيهم , ولا نشتغل بطلب العلم الذي
ينفعنا , فهذا لاشك أنه خطأ كبير وخطأ عظيم .
Jawaban : Hakikatnya,
berlebih-lebihan di dalam perkara ini, yaitu perkara yang dapat
mengeluarkan seorang penuntut ilmu dari mengucapkan sesuatu yang haq
menuju kepada perdebatan dan membuang-buang waktu dengan pembicaraan
yang tidak menghasilkan faidah, bahkan menjadikan manusia
berputar-putar di halaqoh (pertemuan) yang kosong (sia-sia),
maka yang demikian ini tidak sepatutnya dilakukan, namun yang waiib
bagi penuntut ilmu adalah : mengisi waktunya dengan ketaatan kepada
Alloh Subhanahu wa Ta’ala, dengan pembahasan ilmu dan menghadiri pelajaran-pelajaran. Tidaklah mengapa dia mendengarkan tahdzir terhadap mereka dan penjelasan akan sifat-sifat mereka (hizbiyun)
sehingga mereka bisa waspada darinya. Adapun seandainya kita
menjadikan seluruh waktu kita untuk membicarakan mereka, dan kita tidak
menyibukkan diri dengan menuntut ilmu yang bermanfaat bagi kita, maka
yang demikian ini tidak ragu lagi adalah suatu kesalahan besar dan
kekeliruan yang dahsyat. [2]
Pokok
penyimpangan mereka dalam masalah dakwah dan amar ma’ruf nahi mungkar
ini adalah karena bodoh terhadap ilmu syar’i, lantas bagaimana bisa
berdakwah. Ini merupakan pokok penyimpangan mereka, yaitu karena bodoh
dengan ilmu syar’i inilah, sehingga implikasinya adalah munculnya
penyimpangan-penyimpangan lainnya dari dakwah mereka.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang da’i di dalam berdakwah kepada Alloh, sebagaimana dijelaskan oleh al-‘Allamah al-Fauzan di dalam Muhadhoroh fil Aqidah wad Da’wah ke-32 : ad-Da’watu ilallohi Syuruthuha wa Manahijuha wa Wasa`iluha, yaitu :
Syarat Pertama : Ikhlash
الإخلاص
لله عز وجل بأن تكون نية الداعي وقصده وجه الله سبحانه وتعالى وطلب
الثواب من عنده, يكون أيضا من قصده النصح للعباد وإخراجهم من الظلمات إلى
النور ونشر العلم ونشرالخير
Mengikhlaskan hanya untuk Alloh Azza wa Jalla, seorang da’i haruslah menjadikan niatnya dan tujuannya hanya mengharapkan wajah Alloh Subhanahu wa Ta’ala
dan mengharapkan ganjaran (pahala) dari sisi Alloh semata. Niatnya
juga haruslah bertujuan untuk memberikan nasehat kepada hamba-hamba
Alloh dan mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju kepada cahaya serta
menyebarkan ilmu dan kebaikan.
Syarat Kedua : Ilmu
أن يكون الداعية على علم بما يدعو إليه على علم من الكتاب والسنة عنده فقه وبصيرة ومعرفة
Seorang
da’i itu haruslah berada di atas ilmu yang ia menyeru kepadanya di
atas ilmu dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah serta ia memiliki
kefahaman, bashiroh dan pengetahuan.
Syarat Ketiga : Amal
أن يكون الداعية عمل بما يدعو إليه فلا يدعو الناس إلى العمل الصالح وإلى الخير وهو لا يعمل به
Seorang
da’i haruslah mengamalkan apa yang ia serukan dan janganlah ia sampai
menyeru kepada manusia kepada amal sholih dan kepada kebajikan namun ia
tidak mengamalkannya.
Syarat Keempat : Sabar
أن يكون الداعية صبر على مشق الدعوة, لأته بدون الصبر لايستمر الداعية في الدعوة
Seorang
da’i haruslah bersabar atas beratnya dakwah, karena tanpa kesabaran
maka seorang da’i tidak akan mampu konsisten di jalan dakwah.[3]
Dari kebodohan mereka inilah, akhirnya muncul kesalahan-kesalahan mencolok dari mereka para ghulat yang terpengaruh manhaj haddadiyah ini, diantaranya adalah :
a. Bersikap kenceng dan keras kepada umat akibat tidak faham kaidah amar ma’ruf nahi munkar
Ketidakfahaman mereka akan kaidah amar ma’ruf nahi munkar ini menyebabkan mereka jatuh kepada tanfir (menjauhkan manusia dari kebenaran) dan mendatangkan mafsadat yang lebih besar daripada maslahatnya. Menurut mereka, celaan, makian, umpatan, bahkan vonis dan laknat kepada saudara sesama ahlus sunnah merupakan bagian dari amar ma’ruf nahi munkar dan
jihad memerangi ahli kesesatan. Mereka tidak ambil pusing akan
madharat yang muncul dari metode dakwah ala mereka ini, tidak peduli
ummat akan menganggap bahwa salafiyah berpecah belah, tidak peduli
bahwa umat menganggap bahwa dakwah salafiyah bisanya cuma menghujat,
mencela, mencerca dan semisalnya, dan mereka tidak peduli apabila umat
ini lari menjauhi dari kebenaran yang mereka sampaikan. Akhirnya yang
muncul adalah fitnah di tengah umat, yang berdampak jauhnya umat dari
dakwah barokah ini.
Mereka
ini, adalah sebagaimana yang disebutkan oleh al-‘Allamah Shalih Fauzan
al-Fauzan di dalam pembagian keadaan manusia terhadap amar ma’ruf nahi
munkar. Keadaan mereka ini seperti jenis manusia kedua, yang bersikap
keras, bengis dan jahat di dalam amar ma’ruf nahi munkar. Al-‘Allamah al-Fauzan hafzihahullahu berkata tentang perihal mereka :
أناس تشددوا في جانب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر وأخرجوه عن إطار الحكمة والموعظة الحسنة إلى
إطار التنفير والتشديد ومواجهة الناس بالغلظة والقسوة وهذا لايجوز ولا
يصلح أن يكون أمرا بالمعروف ونهيا عن المنكر, فإذا جاء أحدهم على إنسان
جاهل ارتكب معصية من المعاصي فعنفه ووبخه تكلم في حقه وجرحه فهذا ليس من
الحكمة…
“Mereka adalah manusia yang bersikap tasyaddud (kenceng) di dalam amar ma’ruf nahi munkar, mereka keluarkan/tinggalkan sikap hikmah dan mau`idhoh hasanah (nasehat yang baik) menuju kepada sikap tanfir dan tasydid (keras)
dan menghadapi manusia dengan kekerasan dan kekakuan. Hal ini tidak
boleh dan tidak tepat digunakan di dalam beramar ma’ruf nahi munkar.
Apabila mereka datang kepada seorang jahil yang melakukan perbuatan kemaksiatan, maka mereka bersikap bengis dan buruk kepadanya, mencela kehormatannya dan menjarhnya. Hal ini tidaklah termasuk bagian dari hikmah…”[4]
b. Mendahulukan tahdzir dan tajrih ketika melihat penyimpangan saudaranya, bukan menasehatinya terlebih dahulu
Apabila mereka melihat
ada saudara mereka yang tersalah, dan kebetulan orang yang tersalah
ini adalah tidak dalam satu majlis dengan mereka, maka mereka langsung
mentahdzir dan menjarhnya, tidak ada upaya menasehati dan meluruskannya dengan cara yang hikmah terlebih dahulu. Al-‘Allamah al-Fauzan hafizhahullahu berkata tentang hal ini :
الذي
ننصح به الشباب وكل مسلم إذا رأى شيئا من المنكر أن ينصح أولا, ينصح هذا
المخالف فيما بينه وبينه, ويبين له هذا لا يجوز وأن هذا منكر وأنه مسلم
يجب عليه أن يتق الله, يحذره فيما يخضره من الأدلة في الوعيد على العصاة
فإذا أزال المنكر بذلك فالحمدلله, يكون قد اختصر الطريق وستر على هذا الإنسان…
“Yang
kami nasehatkan bagi para pemuda dan setiap muslim adalah, apabila
melihat sesuatu kemungkaran maka pertama kali, nasehatilah dulu.
Nasehatilah orang yang menyeleweng ini secara empat mata, dan jelaskan
padanya bahwa ini tidak boleh dan ini adalah mungkar dan bahwa dirinya
adalah seorang muslim sehingga wajib atasnya untuk bertakwa kepada
Alloh, dia peringatkan dirinya dengan menghadirkan dalil-dalil tentang
ancaman bagi kemaksiatan. Apabila kemungkarannya hilang dengan hal ini
maka alhamdulillah, ia telah menjadikan jalan (pengingkaran) semakin pendek dan menutupi (aib) orang ini…”
[ibid, hal. 322-333]
Al-‘Allamah Prof. DR. Rabi’ bin Hadi al-Madkholi ditanya dengan pertanyaan berikut :
يا فضيلة الشيخ ، إذا كان الرجل عنده أخطاء أوجبت التحذير منه ، فهل يلزم نصحه قبل تحذير الناس منه أم لا ؟
“Wahai Fadhilatus Syaikh, jika ada seseorang yang melakukan kesalahan yang wajib untuk ditahdzir, maka apakah mengharuskan menasehatinya dulu sebelum mentahdzir (memperingatkan) manusia darinya ataukah tidak harus?”
Syaikh hafizhahullahu menjawab :
والله إذا كان شره مستطيرا ، بادر بنصحه وهذا أنفع ،
فإن قبل وإلا فحذر منه ، لعلها النصيحة طيبة ـ النصيحة ـ قد ينفعه الله
بهذه النصيحة ويرجع عن باطله ويعلن خطأه ،بارك الله فيكم ، لكن لما تأتي
تصدمه بالرد فقط قد لا ينقاد لك فتبذل الوسيلة التي ـ أولا يكون الأثر طيب
، لأنك لما تنصحه بينك وبينه وتبدي له شيء من اللطف وـ كذا ـ وكذا ـ
سيرجع إن شاء الله ويعلن خطأه ، وفي هذا خير كبير أنفع من الرد ، بارك
الله فيك ، ولهذا أنا ـ يعني ـ أقدم النصيحة ، بارك الله فيكم ، أقدم نصيحة
بعضهم يسمع وبعضهم لا يسمع ، الذي لا يسمع حينئذٍ نضطر نرد عليه
إذا لم يكن إلا الاسنة مركب فما حيلة المضطر إلا ركوبها
“Jika
keburukannya telah menyebar, maka bersegeralah menasehatinya dan hal
ini lebih bermanfaat namun jika dia mau menerima (maka alhamdulillah, ed.) dan jika tidak maka peringatkanlah ummat darinya. Mungkin dengan nasihat yang baik, mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla menjadikan nasihat ini bermanfaat bagi orang itu, sehingga ia ruju’ (kembali)
dari kebatilannya dan mengumumkan kesalahannya, Semoga Allah
memberkahi kalian. Namun jika anda datang dengan menyodorkannya
bantahan-bantahan saja, maka dia sulit untuk menerima! Maka gunakanlah wasilah (cara)
yang akan meninggalkan bekas yang baik, karena dirimu ketika
menasehati dirinya secara empat mata, dan anda tunjukkan sikap-sikap
yang halus kepadanya, maka ia akan ruju’ (kembali) –insya Allah- dan mengumumkan kesalahannya (di depan publik, ed.).
Hal ini terdapat kebaikan yang besar dan lebih bermanfaat daripada
membantahnya. Oleh karena itu, sesungguhnya aku akan memberikan nasehat
pertama kali kepadanya, kemudian sebagian orang yang dinasehati
menerimanya dan sebagiannya lagi tidak. Maka, kita –saat itu- dengan
terpaksa membantah dirinya.
Jika tidak ada kecuali tombak sebagai kendaraan
Maka tidak ada jalan lain bagi yang terpaksa kecuali menaikinya.”[5]
Namun,
cara seperti ini tidaklah mereka kenal. Berbekal informasi
sepenggal-sepenggal tentang penyimpangan –menurut asumsi dan dugaan
mereka yang lemah- para du’at, tanpa tabayyun dan
menasehati dengan cara yang baik dahulu, mereka langsung ‘tancap gas’
tabrak sana sini dengan umpatan, makian, cercaan, laknat bahkan sampai tabdi’ dan tadhlil… Nas’alulloha as-Salamah minal Juhalaa’…
b. Tidak dapat menempatkan diri kapan harus berlemah lembut dan kapan harus keras dan tegas
Mereka
tidak dapat menempatkan dirinya kapan harus lembut dan kapan harus
keras, semuanya menurut mereka haruslah dengan keras. Mereka akan
bersikap sedikit lembut kepada saudara mereka satu majelis pengajian
walaupun kesalahan saudaranya itu sangat fatal, namun mereka akan
bersikap sangat keras kepada muslim lainnya hanya karena berbeda majlis
walaupun kesalahannya adalah kesalahan yang terhitung kecil tidak
fatal. ‘Ala kulli haal, dakwah mereka kepada umat adalah dengan kekerasan dan kebengisan.
Seharusnya, mereka belajar dan menyibukkan diri dengan tholabul ‘ilmi,
menelaah kitab-kitab aqidah para ulama salaf, dan khususnya masalah
akhlaq dan perangai. Mereka juga perlu menelaah buku al-Imam Ibnu Baz
yang berjudul ad-Da’watu ilallohi wa Akhlaqud Du’at. Mereka juga perlu menelaah buku Aadabud Daa’iyah karya Imam Muhammad bin Hasan bin ‘Abdurrahman Alu Syaikh, Muhadhorot fil Aqidah wad Da’wah
karya al-‘Allamah Shalih Fauzan al-Fauzan dan kitab-kitab para ulama
lainnya. Apabila mereka belum mampu membaca kitab bahasa Arab, maka
mereka bisa membaca karya Syaikh DR. Fadhl Ilahi yang berjudul Min Shifatid Daa’iyah al-Liyn war Rifq yang telah diterjemahkan oleh Ustadz Abu Muhammad Miftah dan dikoreksi oleh Fadhilatul Ustadz Abu Muhammad Harits Abror hafizhahumallohu,
diterbitkan oleh Pustaka al-Haura`. Semoga dengannya mereka bisa
menempatkan diri secara proporsional kapan harus berlemah lembut dan
kapan harus bersikap keras dan tegas.
Al-‘Allamah Prof. DR. Rabi’ bin Hadi hafizhahullahu ditanya dengan pertanyaan berikut :
يا فضيلة الشيخ متى نستعمل اللين ومتى نستعمل الشدة في الدعوة إلى الله وفي المعاملات مع الناس ؟
”Wahai Fadhilatus Syaikh, kapankah kita menggunakan al-liin (kelemahlembutan)? Dan kapan pula kita menggunakan syiddah (kekerasan) di dalam dakwah kepada Allah, dan di saat bermuamalah terhadap sesama manusia?”
Beliau hafizhahullahu menjawab :
الأصل
في الدعوة اللين ،والرفق والحكمة ، هذا الأصل فيها ، فإذا ـ بارك الله
فيك ـ وجدت من يعاند ولا يقبل الحق وتقيم عليه الحجة ويرفض حينئذٍ تستخدم
الرد
“Hukum asal di dalam berdakwah adalah al-Liyn (lemah lembut), ar-Rifq (ramah) dan al-Hikmah.
Inilah hukum asal di dalam berdakwah. Jika anda mendapatkan orang yang
menentang, tidak mau menerima kebenaran dan anda tegakkan atasnya
hujjah namun dia menolaknya, maka saat itulah anda gunakan ar-Radd (bantahan).”[6]
Syaikh Muhammad bin Hadi al-Madkholi hafizahullahu berkata, menasehatkan para du’at
salafiyyin pada salah satu acara Dauroh di Depok beberapa waktu silam
yang dihadiri oleh para du’at mantan Laskar Jihad. Beliau hafizhahullahu berkata :
“Dan hendaklah seorang da’i itu bijaksana, lembut, mengetahui mafasid (kerusakan) dan mashlahat
(yang akan terjadi), kapan ia maju (melakukan suatu tindakan) dan
kapan ia menahan dirinya, kapan ia mendahulukan (suatu pekerjaan) dan
kapan ia mengakhirkan, dan (mengetahui) apa yang harus ia dahulukan
dalam berdakwah, dan apa yang boleh ia akhirkan. Dan hendaklah ia
berlemah- lembut kepada manusia, dan sebagainya dari bermacam-macam
masalah yang ditempuh oleh ulama-ulama islam rahimahumullah, dibawah naungan hadits-hadits Rasulullah sallallahu alaihi wasallam dalam berdakwah dan melakukan hisbah, hisbah
yang saya maksud adalah mengajak kepada kebaikan dan melarang dari
kemungkaran sebagaimana berlalu, dan kedudukan ini – kedudukan penyeru
kepada Allah – adalah kedudukan yang paling tinggi.”[7]
c. Tidak membedakan tingkatan penyelewengan dan penyimpangan
Dikarenakan
kebodohan mereka akan ilmu syar’i, maka mereka tidak dapat membedakan
perbedaan tingkatan penyimpangan dan penyelewengan. Mereka tidak faham
bahwa bid’ah, maksiat dan kufur itu bertingkat-tingkat. Bahwa ada
bid’ah mukaffirah dan ada bid’ah mufassiqoh, ada bid’ah haqiqiyah dan ada bid’ah ‘idhafiyah,
semuanya bertingkat-tingkat dan berbeda kadar kesesatannya. Ada
maksiat yang termasuk dosa besar dan ada yang dosa kecil, ada kufur
kecil dan ada kufur besar, ada kufur jaliy dan ada kufur khofiy.
Semuanya bertingkat-tingkat derajat kesesatannya, sehingga pensikapan
terhadap orang yang jatuh kepada penyelewengan ini berdasarkan tingkat
penyelewengannya. Juga harus difahami, bahwa penyelewengan bisa jadi
terjadi karena kejahilan, atau taqlid, atau hawa nafsu dan juga bisa jadi karena berupaya mencari kebenaran namun terjatuh kepada kesalahan.
Pensikapan ini juga harus dibedakan, antara penyelewengan yang dilakukan oleh seorang mujtahid
dengan selainnya. Harus dibedakan pula apakah penyelewengan tersebut
dilakukan oleh pembesar bid’ah, pengikut ataukah orang-orang awam yang
bodoh. Pensikapan juga berbeda terhadap orang yang jahil
dengan orang yang mengerti, orang yang menyembunyikan kebid’ahan atau
kemaksiatannya dengan yang menampakkannya, orang yang sengaja
melakukannya atau yang tidak sengaja melakukannya, orang yang keras
kepala ketika dinasehati dengan orang yang menerima, dst… Kesemuanya
diperlukan ilmu, tabayyun, ketenangan dan kesabaran.
Namun, orang-orang jahil yang terpengaruh manhaj Haddadiyah
ini, mereka sikat hantam rata, main generalisir kanan kiri atas bawah,
selama menurut mereka menyeleweng dan menyimpang, mengaji kepada ustadz
yang menurut mereka berbahaya, maka harus ditahdzir, dijarh, dihajr, dimaki, diumpat, dicela dst… tanpa melihat tingkat penyelewengan, tanpa upaya munashohah
dengan cara yang baik dan tanpa diiringi oleh ilmu. Hasilnya… adalah
sebagaimana yang kita temukan saat ini, fitnah semakin berkobar ke sana
kemari. Wa ilallohi Musytaka…
d. Tidak bisa membedakan antara Mudahanah dengan Mudarah
Mereka jahil dan tidak faham akan perbedaan mudahanah (menjilat/bermuka dua) dengan mudarah (bersikap lembut dalam rangka ta’lif dan mengajak kepada kebenaran). Mereka menuduh, bahwa semua sikap lemah lembut kepada hizbiyyin atau yang mereka tuduh hizbiyyin termasuk mudahanah dan mumayyi’in (orang yang manhajnya lunak). Masih teringat bagaimana mereka menuduh kami tamyi’
(lunak di dalam mensikapi ahli bid’ah) hanya karena ketika kami
membantah penulis “Siapa Teroris Siapa Khowarij”, kami menyebut
penulisnya dengan sebutan “ustadz”, dan kami tidak memaki-maki
penulisnya. Yang mereka kehendaki adalah, ketika membantah orang
seperti penulis STSK ini haruslah dengan keras, makian dan celaan.
Apakah mereka tidak pernah membaca bantahan para ulama terhadap penyeleweng? Bahwa para ulama memiliki ushlub
ilmiah di dalamnya yang tampak sekali bahwa ketika para ulama ini
melakukan bantahan, menghendaki agar orang yang dibantah kembali kepada
kebenaran. Imam Ibnu Baz ketika membantah pembesar Ikhwanul Muslimin,
DR. Yusuf al-Qordhowi dalam masalah shulh (perdamaian) dengan
Yahudi menyebutnya “Fadhilatusy Syaikh”, demikian pula dengan Imam
al-Albani yang menyebut lawan-lawannya dengan Syaikh dan semisalnya.
Bahkan Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkholi ketika membantah ‘Abdurrahman
‘Abdul Khaliq pun tetap menyebut “syaikh”. Apakah mereka semua ini
dikatakan tamyi’???
Memang,
terkadang sebutan keras pun diperlukan, sebagaimana imam Ibnu Baz
menyebut Ghulam Barwiz sebagai “mulhid”, Sa’ad al-Faqih, Muhammad
al-Mis’ari dan Usamah bin Ladin beliau sebut sebagai “para penyebar
dakwah yang rusak lagi sesat”, atau terhadap ‘Abdulloh al-Qoshimi yang
disebut beliau sebagai “al-Qoshimi yang jahat, sesat lagi terfitnah”…
Ini semua tidak dipungkiri apabila ditempatkan pada tempatnya. Karena,
orang-orang yang beliau sebut dengan sebutan keras di atas adalah
mereka-mereka yang keras kepala dan menolak ketika dinasehati karena
sombong. Namun, beliau akan menggunakan ushlub yang lunak terlebih dahulu sebelum menggunakan ushlub yang tegas dan keras, sebagai bentuk tahdzir dan peringatan bagi umat.
Bahkan,
al-Akh Abu ‘Amr Alfian, selaku murid Ustadz Luqman Ba’abduh yang
menulis “Bingkisan Ringkas untuk Tuan Abduh ZA” menunjukkan ushlub
yang juga lunak dan tidak menggebu-gebu di dalam mencela dan mencerca.
Dia bahkan menyebut Abduh dengan sebutan ‘tuan”, padahal sebutan ini
tidak keluar dari dua hal, yaitu : (1) sebutan seorang bawahan atau
pembantu kepada majikannya, atau (2) sebutan formil kepada orang lain
sebagai bentuk penghormatan. Mengapa yang demikian tidak dituduh tamyi’??
dan masih banyak sikap serupa mereka ini yang salah kaprah di dalam
mensikapi kelemahlembutan di dalam dakwah dan menuduhnya sebagai tamyi’ dan mudahanah.
Namun,
ketika mereka dikritik dengan keras, mereka dicela balik atas sikap
mereka yang mudah mencela, ketika kebusukan mulut mereka dikatakan
sampah, mereka berbalik merengek-rengek… bertanya : “manakah rifq itu? Manakah liyn itu? Manakah hikmah itu?”. Bagaimana mungkin mereka minta dan menuntut al-hikmah, ar-Rifq dan al-Liyn, sedangkan mereka tidak mengenal al-hikmah, ar-Rifq dan al-Liyn ini di dalam dakwah mereka. Bagaimana mungkin mereka merengek-rengek minta diterapkan dakwah al-hikmah, ar-Rifq dan al-Liyn ini kepada mereka, sedangkan mereka tidak mau menerapkannya kepada orang lain. Bahkan mereka bersikap bagho, zhulm dan takabbur.
Mereka laknat, hujat dan vonis sesat siapa saja yang tidak mau taat
dengan ‘fatwa’ mereka yang ‘bejat’… mereka caci, maki dan kebiri,
hak-hak saudara mereka sesama salafiy… bahkan lebih dari itu, mereka tabdi’, tadhlil dan tafsiq siapa saja yang keluar dari pemikiran mereka… wal’iyadzubillah…
Telah banyak sekali penjelasan para ulama di dalam masalah mudahanah dan mudarah ini, diantaranya sebagaimana apa yang diuraikan oleh Fadhilatusy Syaikh Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili hafizhahullahu di dalam nasehat beliau kepada salafiyyin
di Indonesia yang dibawa oleh al-Ustadz Anas Burhanuddin dan al-Ustadz
‘Abdullah Zain beberapa tahun silam. Bisa didownload di Markaz
Download blog saya, silakan dibaca dan dicermati. Apabila tidak bisa
difahami dan dicermati, maka sungguh tepat syair ini menggambarkan
mereka :
علي نحت القفافي من معادنها و ما علي إن لم تفهم البقر
Tugasku adalah mengukir bait-bait syair dari sumbernya
Dan bukanlah tugasku jika sapi itu tidak paham
e. Ghuluw di dalam mengkritik seorang da’i yang tersalah
Apabila
ada seorang da’i yang jatuh kepada kesalahan, mereka bukannya
mengajaknya kembali kepada kebenaran dengan cara nasehat yang baik dan
benar, namun malah menjatuhkannya dan mencampakkamnya di dalam
kesalahannya. Mereka malah merasa gembira dan senang apabila ada
seorang da’i yang jatuh kepada kesalahan, agar bisa mengkritiknya habis-habisan.
Mereka
tidak cukup mengatakan, “ustadz Fulan telah jatuh kepada kesalahan ini
dan itu” atau “ia salah dalam masalah ini dan itu, maka jauhi
kesalahannya”… Namun mereka kritik dengan sebutan yang keji dan
maki-makian kotor, “si hizbi sururi yang tidak tahu malu ini”, atau “si
pendusta besar, ular berkepala dua”, atau “si kadzdzab pembela
hizbiyyah”… dan makian-makian yang buruk lainnya. Anehnya, yang
melontarkan tuduhan ini adalah orang-orang bodoh yang mereka akui
sendiri kebodohannya. Mereka bahkan seringkali menunjukkan kebodohannya
akan agama ini. Mereka belum faham Bahasa Arab, belum tamat
memperlajari kitab-kitab aqidah semisal Kitabut Tauhid Syaikhul Islam
Muhammad bin Abdil Wahhab, Ushuluts Tsalatsah, Aqidah al-Wasithiyah,
dan kitab-kitab aqidah lainnya.
Namun lisan mereka lebih panjang dan lebih tajam daripada pedang. Mereka babat ke sana ke mari tanpa tedeng aling-aling
secara membabi buta. Mereka hinakan para du’at ahlis sunnah atas dasar
hawa nafsu mereka, yang pada hakikatnya mereka sendirilah yang telah
menghinakan diri mereka. Laa Haula wa laa Quwwata illa billah.
Penutup
Masyarakat umum apabila memperbincangkan kata atau ’kelompok’ salafiy,
maka yang muncul di benak mereka adalah kumpulan orang-orang yang
kasar perangainya, keras, bengis dan kurang memiliki adab dan akhlaq.
Demikianlah mayoritas realita yang ada di kebanyakan umat Islam. Mau
tidak mau, realita ini adalah suatu waqi’ yang telah terjadi dan menjadikan masyarakat fobia terhadap dakwah salafiyyah. Padahal, tidak semua ikhwah salafiyyah
adalah bersikap keras, bengis, kasar atau kurang beradab. Namun,
fenomena ini mereka (ummat Islam) dapatkan dari ulah dan tingkah polah
sebagian oknum yang mengaku-ngaku sebagai salafiyyah namun tidak
memiliki akhlak dan adab salafiy.
Sikap-sikap
tidak mau senyum atau bermuka masam kepada ummat, berkata kasar dan
keras, tidak mau memberikan salam dan membalas salam, tidak mau
berlemah lembut dan berkasih sayang kepada umat, cenderung eksklusif dan
merasa paling benar sendiri, mudah menvonis kesana kemari tanpa ilmu
dan bashiroh, bersikap sombong dan arogan kepada siapa saja yang bukan dari mereka, suka menghujat, memaki, mencela, mentahdzir, menjarh dan menghajr tanpa kaidah dan dhowabit
yang benar dan syar’i. Tidak bisa menempatkan diri kapan harus lemah
lembut dan kapan harus tegas dan keras, namun semuanya disikapi dengan
keras terus, bahkan mereka mengejek dan mencela dakwah bijaksana
seakan-akan mereka tidak mengenal kata hikmah dan bijaksana sama
sekali. Ini semualah faktor yang menyebabkan umat menjadi fobia dan
menolak dari barokah dakwah salafiyah. Kesemua perilaku ini
berangkatnya dari kejahilan atas aqidah dan manhaj salaf itu sendiri,
hawa nafsu, ashobiyah (fanatisme) dan sikap sombong sok paling benar sendiri dan paling menang sendiri.
Inilah
diantara dampak dan pengaruh dakwah haddadiyah hizbiyah yang
membinasakan. Yang merasuk ke dalam barisan ahlis sunnah, merusak dan
memporakporandakan tatatan dakwah ahlus sunnah, mereka berpakaian ahlis
sunnah dan mengaku-ngaku sebagai salafiy sejati. Memasukkan dan
mengeluarkan siapa saja sekehendak mereka dari lingkaran ahlis sunnah
atas dasar kebodohan, fanatisme dan hawa nafsu. Mereka gelari lawan
mereka dengan gelar-gelar buruk namun mereka marah apabila mereka
digelari dengan gelar serupa. Mereka cela siapa saja yang tidak sejalan
dengan mereka namun mereka murka ketika mereka dicela balik.
Wahai
saudaraku… Inilah dia sekelumit karakteristik haddadiyah, maka
waspadalah darinya dan menjauh dari karakter ini. Menjauhlah anda
sekalian dari sikap dan karakter buruk ini, semoga Alloh memberkahi
kalian. Wahai saudaraku, kenalilah manhaj buruk ini agar anda dapat
terhindar darinya, agar anda mengetahui mana yang benar dan mana yang
buruk, dan agar anda mengetahui mana yang shalih dan mana yang thalih.
Oleh
karena itu, marilah kita berintrospeksi bersama-sama, janganlah anda
jadikan apa yang dipaparkan di dalam artikel ini sebagai celaan dan
cercaan kepada anda yang menyebabkan anda menjadi marah dan emosi. Namun
jadikanlah sebagai cambuk untuk evaluasi dan muhasabah diri. Janganlah
anda melihat siapa yang menyampaikan nasehat ini, namun lihatlah
esensinya. Apabila benar maka ambillah dan apabila salah maka
lemparkanlah.
Tiada maksud dan tujuan saya menggoreskan tinta untuk menuliskan masalah ini, melainkan hanyalah sebagai nasehat. Nasehat
bagi diri saya pribadi dan nasehat bagi kaum muslimin lainnya. Risalah
ini adalah sebagai penolong, penolong mereka yang mazhlum (terzhalimi) dan penolong bagi mereka yang zhalim
(berbuat aniaya). Tiada keinginan bagi penulis menyusunkan hal ini
melainkan agar kita terhindar dari manhaj-manhaj asing yang menyusup ke
dalam manhaj ahlus sunnah, dan agar ahlus sunnah mereka bisa bersatu
di atas al-aq, di atas fondasi munashohah (saling menasehati) di atas kebenaran dan ketakwaan serta di atas kesabaran.
SALAFIYYAH YANG TIDAK KITA INGINKAN
(Nasehat oleh Syaikh Abu Abdillah asy-Syihhi)
Di
sana ada orang-orang yang menisbatkan diri kepada salafiyyah (Ahlus
Sunnah wal Jama’ah) telah tertimpa oleh beberapa malapetaka:
PERTAMA: Ta’ashub
mereka kepada Zaid (Fulan atau Allan) dari ulama…, maka mereka tidak
mau untuk berpaling dan menentang orang tersebut (bagaimanapun
keadaannya, pent). Kalau Zaid tidak berkata bahwa ini haram, maka hal itupun tidak haram. Atau
tidak mengatakan hal ini halal, maka perkara itupun tidak halal. Atau
tidak mengatakan ini sunnah, maka amalan itupun tidak sunnah, dan
seterusnya.
Sungguh saya telah bertemu dengan salah seorang dari mereka. Dia
bertanya kepada saya tentang suatu masalah di dalam shalat. Maka saya
menukilkan untuknya apa yang disabdakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam,
dan yang dirajihkan oleh ahlul ilmi tentang masalah tersebut…. Maka
dia mengatakan: Apakah Fulan telah berbicara tentang masalah ini? Saya
jawab: Tidak tahu… Maka dia pun diam dan melemparkan apa yang saya
jelaskan kepadanya ke arah tembok.
Maka ini adalah salafiyah dan ashabiyyah yang tidak kita sukai. Hal itu dikarenakan Ahlus Sunnah terikat dengan syariat, tidak dengan orang-orang.
KEDUA: Kesibukan sebagian orang yang menisbatkan dirinya kepada salafiyyah di dalam mengkritik firqah-firqah
dan menukil berita-berita serta cerita-cerita, tanpa bertujuan untuk
menuntut ilmu. Maka ini adalah ketergelinciran yang berbahaya dan
selayaknya setiap muslim untuk waspada dari hal tersebut. Lebih-lebih
seorang salafi, maka wajib baginya untuk sibuk dengan ilmu yang benar,
beramal dengan ilmu tersebut dan berdakwah kepadanya disertai dengan
memberikan peringatan dari bid’ah-bid’ah dan kesesatan-kesesatan
firqah-firqah ini dengan tanpa melalaikan/apriori (ifrath) dan tidak pula berlebihan (tafrith).[8]
والحمد لله الذي بنعمه تتم الصالحات .
كتبه : أبو سلمى الأثري
مدينة الملنج 19 صفر 1428
Dipublikasikan oleh ibnuramadan.wordpress.com
Disusun oleh Abu Salma al-Atsari
© Copyright bagi ummat Islam. Silakan menyebarkan risalah ini dalam bentuk apa saja selama menyebutkan sumber, tidak merubah content dan makna serta tidak untuk tujuan komersial.
Artikel ini didownload dari Markaz Download Abu Salma (http://dear.to/abusalma]
[1] Lihat : Muhadhoroot fil Aqidah wad Da’wah oleh Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, cet. I, 1424/2003, cetakan Markaz Fajr lith Thoba’ah, Kairo, jilid III, hal. 332
[2] Lihat : Al-Fatawa al-Jaliyah ‘anil Manahijid Da’wiyah oleh Syaikh Ahmad Yahya an-Najmi, pertanyaan no. 33, download dari www.sahab.org
[4] Lihat : Muhadhoroh fil Aqidah fid Da’wah, op.cit., juz III, hal. 316-317, muhadhoroh ke-30 dengan judul Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar
[5] Lihat : Al-Hatstsu ‘alal Mawaddah wal I’tilaaf wat Tahdziru minal Furqoh wal Ikhtilaaf oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkholi, didownload dari www.sahab.org
[7] Lihat
: Nasehat Syaikh Muhammad Hadi al-Madkholi Untuk Para Du’at Salafiyyin
di Indonesia, dialihbahasakan oleh Ummu Fadhl, didownload dari www.perpustakaan-islam.com
[8] Dinukil dari Hiwar ma’a Ikhwani (Dialog Bersama Ikhwani) oleh Syaikh Abu Abdillah Ahmad asy-Syihhi, dapat didownload di http://dear.to/abusalma.








0 komentar:
Posting Komentar