(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar)
Sebagai sebuah prinsip yang agung, al-jarh wat ta’dil tentu tidak
dibangun di atas hasil pemikiran seseorang atau bahkan anggapan baik
seseorang. Namun ia dibangun di atas pondasi yang kuat, yang tidak
mungkin dirobohkan oleh siapapun. Allah I sendiri yang telah meletakkan
pondasi tersebut di dalam Al Qur`an, menjelaskan kepada manusia tentang
prinsip memuji dan mencela ini, demi sebuah kemaslahatan yang besar
yaitu selamatnya umat manusia di dunia dan akhirat.
Al Qur`an
sebagai wahyu dari Allah I sarat dengan petunjuk dan bimbingan bagi
kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Allah I telah mensifatkan Al
Qur`an ini dengan sifat-sifat agung lagi mulia yang berlaku untuk
seluruh ayatnya.
Sifat-sifat tersebut merupakan bukti terbesar bahwa
Al Qur`an merupakan landasan utama bagi seluruh disiplin ilmu yang
bermanfaat demi kebaikan dunia dan akhirat.
Allah I menyatakan bahwa
Al Qur`an adalah Al-Huda (petunjuk), Ar-Rusyd (bimbingan, kelurusan)
dan Al-Furqan1. Bahkan Al Qur`an itu sendiri adalah Al-Huda yang memberi
petunjuk seluruh manusia kepada semua yang mereka butuhkan dalam urusan
dunia dan agama mereka.
Allah I berfirman:
“(Beberapa hari yang
ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) Al Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak
dan yang batil).” (Al-Baqarah: 185)
Firman Allah I:
“Maha Suci
Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur`an) kepada hamba-Nya,
agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam,” (Al-Furqan: 1)
Al Qur`an mengarahkan manusia ke setiap jalan yang bermanfaat, memberi
batasan tegas antara yang haq dan batil, petunjuk dan kesesatan, dan
antara orang-orang yang berbahagia dan orang-orang yang celaka dengan
menerangkan ciri-ciri atau karakter masing-masing kelompok yang
berlawanan ini. Di dalam Al Qur`an pula didapatkan penjelasan berbagai
masalah ushul (pokok, prinsipil) dan furu’ (cabang) lengkap dengan
dalil-dalil ‘aqli (rasional) dan naqli (Al Qur`an dan As-Sunnah). Allah I
di dalam sejumlah ayat-ayat-Nya telah menerangkan sifat-sifat Al Qur`an
ini dengan sifat-sifat mutlak dan umum yang tidak ada kejanggalan
sedikitpun di dalamnya.
Namun, seiring pemaparan sifat-sifat Al
Qur`an yang begitu sempurna dan mulia ini, ternyata Allah I membatasi
hidayah yang ada di dalam Al Qur`an dengan beberapa hal.
Allah I berfirman:
“Alif laam miim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 1-2)
Firman Allah I:
“Oleh karena itu, berikanlah peringatan karena peringatan itu
bermanfa’at, orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran.”
(Al-A’la: 10)
Dan firman Allah I:
“Adakah orang yang mengetahui
bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu itu benar sama
dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang
dapat mengambil pelajaran.”(Ar-Ra’du: 19)
Dalam ayat-ayat ini, Allah
I membatasi bahwa Al Qur`an ini adalah Al-Huda, tetapi hanya bagi
orang-orang beriman, bertakwa, orang-orang berakal, orang-orang yang
memikirkan, dan orang-orang yang memang menginginkan al-haq (kebenaran).
Ini adalah (sebagian) penjelasan dari Allah I tentang syarat
(diperolehnya) hidayah (dari Al Qur`an). Artinya, agar Al Qur`an ini
menjadi Huda (petunjuk), maka harus ada yang menerima sekaligus
mengerjakan. Sehingga seseorang yang ingin memperoleh hidayah Al Qur`an
ini harus berakal, berfikir dan mau mempelajari ayat-ayatnya.
Adapun
seorang penentang; yang tidak mau memikirkan dan mempelajari
ayat-ayatnya tidak akan mungkin mengambil manfaat yang ada di dalam Al
Qur`an. Begitu pula dengan orang yang tidak mempunyai niat dan keinginan
untuk mendapatkan kebenaran atau kesadaran. (Yaitu) orang yang maksud
dan tujuannya rusak, di mana dia menempatkan dirinya untuk menentang dan
menyelisihi Al Qur`an. Dia pasti tidak akan menerima bagian sedikitpun
dari hidayah Al Qur`an ini.
Sedangkan mereka yang menyambut,
memikirkan makna-maknanya, mempelajari ayat-ayat Al Qur`an dengan
pemahaman dan niat yang baik dan benar serta bersih dari dorongan hawa
nafsu, niscaya dia akan terbimbing mendapatkan hidayah menuju
tujuan-tujuan dan sasaran yang dicita-citakannya.
Maka barangsiapa
yang memahami bahwa Al Qur`anul ‘Azhim betul-betul menyandang semua
sifat mulia, bahkan paling tinggi dan sempurna serta paling bermanfaat
bagi semua manusia. Kemudian dia meyakini pula bahwa di dalamnya
terkandung makna-makna agung, yang selalu diulang-ulang dan semakin
menambah keindahan serta kesempurnaannya, tentulah dia memahami pula
bahwa ketika seorang thalibil ‘ilmi (pencari ilmu) mengamati tafsir satu
ayat Al Qur`an, dia akan terbawa untuk memahami serta mengenal tafsir
ayat-ayat lainnya. Dan selanjutnya, dia dituntut untuk beriman dan
mengamalkan kandungan Al Qur`an tersebut.
Asy-Syaikh Tsaqil
Al-Qasimi dalam bukunya Sallus Suyuf (hal. 141) menyatakan:
“Sesungguhnya, siapapun yang betul-betul memperhatikan dan mempelajari
Kitab Allah U (Al-Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya r, niscaya dia akan
menemukan bahwa ajaran Islam ini, dibangun di atas dua prinsip utama,
yaitu At-Ta`shil dan At-Tahdzir. At-Ta`shil (membangun prinsip, pedoman)
dalam perkara yang haq serta menjelaskannya. At-Tahdzir (peringatan
agar menjauh) dari berbagai kesesatan dengan segala bentuk dan coraknya.
Dan Allah I telah menjelaskan masalah besar ini dalam firman-Nya:
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada
Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat
kuat yang tidak akan putus.” (Al-Baqarah: 256)
Dalam ayat ini Allah I
dengan jelas menerangkan bahwa tidak mungkin seorang muslim berada di
jalan yang mulia dan lurus kecuali jika dia menghimpun kedua prinsip
utama ini. Yaitu, kafir kepada thaghut (segala sesuatu yang disembah
selain Allah) dan semua bentuk kebatilan, serta beriman kepada Allah
satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam rububiyah (sebagai
Pencipta, Pemberi rezki, Pengatur dan sebagainya), asma` was shifat
(nama-nama dan sifat-sifat-Nya), maupun dalam Uluhiyah-Nya (sebagai
tempat bersandar, berlindung, bergantung, memohon doa, syafaat dan
sebagainya).
Maka sesungguhnya Al Qur`an itu berbicara tentang
tauhid, tentang Allah I, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta
perbuatan-perbuatan-Nya. Atau berisi tentang dakwah, ajakan, untuk
beribadah hanya kepada Allah I satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya
serta melepaskan diri dari semua yang diibadahi (disembah) selain Allah
I. Atau berisi perintah dan larangan, yang merupakan hak-hak tauhid dan
pelengkap atau penyempurna tauhid tersebut. Atau berisi uraian tentang
kemuliaan yang diterima oleh ahli tauhid, di dunia dan akhirat sebagai
balasan atas tauhid itu, serta apa yang diterima oleh musuh-musuh
tauhid, di dunia dan akhirat.
Jadi, Al Qur`an itu seluruhnya
berbicara tentang tauhid, hak-hak yang harus ditunaikan dan
balasan-balasannya. (Fathul Majid hal 23-24)
Secara umum, al-jarh
wat ta’dil sebagai wasilah untuk menjaga kemurnian dan kelestarian
syariat Islam ini juga kita lihat tersebar dalam ayat-ayat Allah I yang
mulia ini. Mungkin dalam susunan yang tegas menunjukkan kejelekan suatu
kaum, bangsa atau masyarakat, atau suatu perbuatan (amalan). Kadang
dalam bentuk larangan tegas dan perintah menjauhinya. Sebaliknya, dalam
masalah at-ta’dil juga demikian.
Sehingga, jika kita dapatkan di
dalam Al Qur`an semua amalan yang dianggap mulia oleh Allah I dan
Rasul-Nya, kemudian dipuji oleh Allah, bahkan Dia memuji pelakunya,
gembira karenanya, mencintainya, atau mencintai pelakunya bahkan
meridhainya, mensyukurinya, atau menafikan adanya ketakutan dan
kesedihan dari pelakunya, tertawa dan takjub terhadap pelakunya, ini
adalah dalil bahwa amalan itu disyariatkan. Tentunya jelas ini merupakan
bentuk-bentuk ta’dil.
Sebaliknya, setiap amalan yang dituntut oleh
syariat untuk ditinggalkan, pelakunya dicela, dimurkai, dibenci,
dilaknat, dihapus kecintaan atau ridla terhadapnya, menyerupakan
pelakunya dengan hewan ternak, dinyatakan sebagai sebab Dia
menelantarkan pelakunya (di hari kiamat), menyatakan permusuhan dan
perang terhadap pelakunya, dan seterusnya, maka ini adalah dalil
dilarang atau diharamkannya perbuatan tersebut. Dan ini adalah sebagian
dari bentuk jarh.
Di sini akan kami paparkan sebagian dari ayat-ayat
Allah I yang menggambarkan kepada kita adanya jarh terhadap suatu
masyarakat, bangsa bahkan seseorang atau amalan tertentu, agar kita
menjauhi dan berhenti mengerjakannya.
Firman Allah I:
“Binasalah
kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah
berfaedah baginya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia
akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) isterinya,
pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut.” (Al-Lahab:
1-5)
Abu Lahab adalah paman Nabi Muhammad r, yang paling sengit
permusuhannya terhadap beliau. Tidak beragama, tidak memiliki rasa
solidaritas kesukuan (membela kerabat). Maka Allah I menghinakannya
sedemikian rupa, sampai hari kiamat. Setiap lisan kaum mukminin akan
senantiasa membaca ayat-ayat ini.
Dan tentunya, kita juga memaklumi
bahwa Abu Lahab dan isterinya mempunyai kebaikan, namun semua itu
sia-sia karena kekafiran dan permusuhan mereka terhadap Nabi Muhammad
r.
Firman Allah I:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani
benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka
menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (At-Taubah: 34)
Ayat
ini mengandung tahdzir bagi hamba Allah yang beriman, agar mereka
berhati-hati sekaligus jangan meniru kebanyakan pendeta dan rahib yang
suka memakan harta manusia dengan cara yang batil. Padahal kita tahu,
semua yang diberikan manusia kepada mereka ini adalah karena ilmu dan
ibadah (kebaikan) mereka, namun Allah I tidak menganggap kebaikan itu.
Firman Allah I:
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian
mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab
yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat
Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.”
(Al-Jumu’ah: 5)
Firman Allah I:
“Dan bacakanlah kepada mereka
berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami
(pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian ia melepaskan diri dari
ayat-ayat itu lalu ia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka
jadilah ia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki,
sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi
dia cenderung kepada dunia dan menuruti hawa nafsunya yang rendah, maka
perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya
lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga).
Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami.
Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka
berfikir.” (Al-A’raf: 175-176)
Ini adalah celaan atau kritik yang sangat tajam sekaligus tahdziir, agar kita menjauhi sifat buruk ini.
Dan firman Allah I:
“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina,
yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah, yang sangat
enggan berbuat baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa.” (Al Qalam:
10-12)
Terakhir, kami ingatkan; bila seseorang sudah tidak lagi
dapat diperbaiki dengan Al Qur`an dan As-Sunnah, maka dengan perkataan
apapun dia tidak akan mungkin dapat diperbaiki. Wallahu a’lam.
1 Yaitu Al-‘Ilmu atau pembeda, yang memisahkan antara yang haq dari yang batil. Wallahu a’lam.
Posted in: Adab Dan Hukum, adzkar
0 komentar:
Posting Komentar