-->

08 September 2012

Ketika Nasehat Dianggap Celaan

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar)

Menerangkan penyimpangan seseorang agar umat tidak ikut terjatuh dalam penyimpangan yang dilakukannya adalah termasuk amar ma’ruf nahi munkar yang besar. Al-Imam Ahmad t bahkan menganggapnya lebih afdhal (lebih utama) dibanding puasa atau shalat (sunnah). Namun bagi orang-orang yang tidak memahami permasalahan ini, mereka menganggap perbuatan tersebut sebagai kedzaliman dan bahkan ghibah. Bagaimana duduk permasalahan yang sebenarnya?
Sebenarnya, menyebut-nyebut seseorang dengan sesuatu yang tidak disukainya adalah haram. Yaitu jika semua itu hanya dilandasi keinginan untuk mencela, meremehkan, atau menjatuhkan.
Namun bila di dalam penyebutan tersebut terkandung manfaat atau maslahat yang besar, bagi kaum muslimin pada umumnya atau pada sebagian orang khususnya, maka penyebutan seperti ini bukanlah sesuatu yang haram, bahkan sangat dianjurkan. (Al-Farqu Bainan Nashihat wat Ta’yiir, Ibnu Rajab Al-Hanbali t)
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah ketika mengomentari uraian Al-Hafizh Ibnu Rajab t menegaskan: “Bahkan hal itu wajib, karena Allah I telah mewajibkan untuk memberi keterangan, bukan sekedar sunnah (anjuran) semata.”(An-Naqdu Manhajus Syar’i)
Sebagian kaum muslimin menganggap jarh (kritikan) terhadap suatu pemikiran, buku atau individu tertentu serta mentahdzirnya agar dijauhi dan ditinggalkan orang adalah perbuatan dzalim, tidak adil, dan tidak amanah. Demikian kata sebagian mereka.
Dengan alasan tersebut, ketika ada tokoh dari ahli bid’ah yang dibeberkan kebid’ahannya, kesesatan pemikirannya baik yang diucapkan maupun yang dituangkan dalam tulisan, mereka anggap orang yang menjelaskan kesesatan dan penyimpangan tersebut sebagai penghujat, zalim, mulutnya kotor dan sebagainya.
Sehingga di sini kita perlu mencermati lebih lanjut apa sesungguhnya pengertian nasehat dan bagaimana perbedaannya dengan ta’yiir (celaan, mencacati).

Pengertian Nasehat
Ibnu Rajab Al-Hanbali t berkata dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 99 dengan menukil perkataan Al-Imam Al-Khaththabi t: “Nasehat ialah kalimat yang diucapkan kepada seseorang karena menginginkan kebaikan baginya.”
Rasulullah r telah menegaskan dalam hadits Tamim Ad-Dari z, katanya: “Nabi r bersabda:

“Agama (Islam) ini adalah nasehat (diulangi tiga kali oleh beliau).” Kami bertanya: “Untuk siapa, wahai Rasulullah?” Kata beliau: “Untuk Allah, Kitab-Nya dan Rasul-Nya. Serta untuk para imam (pemimpin) kaum muslimin dan awam mereka.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim serta yang lainnya)
Hadits ini menerangkan bahwa nasehat itu meliputi seluruh sendi-sendi ajaran Islam, Iman dan Ihsan yang telah diuraikan oleh Rasulullah r dalam hadits Jibril u (ketika menjawab pertanyaan Jibril tentang Islam, Iman dan Ihsan serta tanda-tanda hari kiamat), dan beliau menamakan semua itu sebagai Ad-Dien (agama).1
Adapun nasehat untuk Allah I, menuntut adanya pelaksanaan secara sempurna semua kewajiban yang Allah I bebankan. Ini pulalah tingkatan al-ihsan. Dengan demikian, tidaklah sempurna nasehat untuk Allah itu tanpa kesempurnaan pelaksanaan kewajiban-kewajiban-Nya, lurusnya keyakinan (‘aqidah) tentang Wahdaniyah (keesaan) Allah I, dan mengikhlaskan niat dalam beribadah hanya kepada-Nya.
Kemudian, nasehat untuk Kitab-Nya artinya beriman kepada kitab tersebut, mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya. Adapun nasehat untuk Rasul-Nya, maksudnya ialah meyakini kenabiannya, mencurahkan segenap ketaatan dalam menjalankan semua perintahnya dan menjauhi larangannya. Sedangkan nasehat untuk muslimin secara umum (bukan imam atau penguasa) artinya membimbing dan mengarahkan kaum muslimin kepada kemaslahatan mereka.
Ibnu Rajab t menerangkan pula bahwa di antara bentuk-bentuk nasehat tersebut, terutama bagi kaum muslimin secara umum ialah menjauhkan gangguan dan hal-hal  yang tidak disukai yang akan menimpa mereka, menyantuni orang-orang fakir di antara mereka, mengajari orang-orang yang jahil dari mereka, serta mengembalikan orang-orang yang menyimpang (sesat) dengan cara lemah lembut kepada kebenaran. Juga menjalankan amar ma’ruf nahi munkar terhadap mereka dengan cara yang baik dan rasa cinta, serta keinginan untuk menghilangkan kerusakan yang ada pada mereka. (Al-Jami’ hal 101)
Dengan keinginan seperti ini, sebagian salafus shalih menyatakan: “Alangkah senangnya aku jika seluruh manusia taat kepada Allah meskipun dagingku dikerat dengan alat pengerat (garpu atau lainnya).”
Inilah sebetulnya, salah satu bukti pelaksanaan sabda Rasulullah r:

“Tidaklah sempurna iman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai untuk saudaranya, apa yang dia cintai untuk dirinya.” (Shahih, HR. Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik z)
Sebetulnya, karena dasar inilah para imam kaum muslimin sejak zaman Rasulullah r sampai hari ini berdiri di hadapan umat, menghalau setiap bahaya kesesatan yang akan menimpa mereka. Alangkah tepatnya ucapan Al-Imam Ahmad cketika membalas sebuah risalah yang dikirimkan kepada beliau: “Segala puji hanya bagi Allah I yang telah menjadikan pada masa kekosongan dari para Rasul (fatrah) sisa-sisa ahli imu. Mereka mengajak orang-orang yang sesat (agar kembali) kepada petunjuk dan bersabar atas gangguan yang ditimpakan kepada mereka. Ahli ilmu itu ‘menghidupkan’ kembali orang-orang yang ‘mati’ dengan Kitab Allah I (Al Qur`an). Mencerahkan kembali mata orang-orang yang buta dengan cahaya Allah I. Betapa banyak korban iblis yang telah mereka hidupkan. Betapa banyak orang sesat kebingungan telah mereka bimbing. Alangkah indah pengaruh mereka pada manusia, (namun) alangkah buruknya perlakuan manusia terhadap mereka. Para ulama itu mengikis habis tahrif (penyelewengan) orang-orang yang melampaui batas dari dalam Kitab Allah I (Al-Qur’an), ajaran (bid’ah) orang-orang sesat dan takwil orang-orang yang jahil yang telah mengibarkan bendera kebid’ahan, melepaskan tali-tali fitnah.
Ahli bid’ah itu (sebetulnya) berselisih dalam (memahami dan mengamalkan) Kitab Allah I (Al-Qur’an) sekaligus menentangnya. Namun mereka bersatu padu untuk meninggalkannya. Mereka berbicara atas nama Allah I, tentang Allah I dan tentang Kitab-Nya tanpa ilmu (syar’i). Dan berbicara dengan hal-hal yang mutasyabih2 dari firman Allah ini. Mereka menipu orang-orang yang bodoh dengan syubhat yang mereka sampaikan. Kita berlindung kepada Allah dari fitnah yang menyesatkan.”(I’lamul Muwaqqi’in)
Bahkan kita lihat pula para ulama yang lain tidak meninggalkan hal ini (kritikan, jarh) dan tidak pula menganggapnya sebagai hujatan atau kecaman apalagi celaan dari orang-orang yang membantah ucapan atau pendapat mereka secara ilmiah. Kecuali jika memang diketahui dia menulis kekeliruan tersebut dengan ucapan yang keji, dan tidak beradab. Namun walaupun demikian, yang ditentang hanyalah kekejian ucapan tersebut, bukan bantahan ilmiah yang dipaparkannya.
Ibnu Rajab t menerangkan bahwa hal itu karena para ulama sepakat untuk menampakkan kebenaran ajaran Islam. Sehingga Al-Imam Asy-Syafi’i t mengatakan tentang buku-bukunya sebagaimana dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Rajab t: “Mesti ada di dalam buku-buku ini hal-hal yang bertentangan (menyelisihi) Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena Allah I telah berfirman:

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Jika sekiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisa: 82)
Jadi, semua yang datang bukan dari sisi Allah jelas akan banyak sekali perselisihan di dalamnya. Dan sebaliknya, Al-Qur’an yang mulia ini yang turun dari sisi Allah I, sama sekali tidak ada perselisihan di dalamnya. (Lihat Tafsir As-Sa’di tentang ayat ini).
Maka, membantah pendapat atau pemikiran yang lemah (keliru), menjelaskan al-haq yang berbeda dengan pemikiran yang lemah tadi dengan dalil-dalil syar’i, bukanlah sesuatu yang dibenci oleh para ulama. Sebaliknya, mereka sangat menyukai hal demikian. Mereka juga tidak menganggapnya sebagai ghibah. Bahkan mereka memasukkannya sebagai bagian dari nasehat untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan untuk imam kaum muslimin serta awamnya. Para ulama bahkan sangat keras mengeluarkan bantahan terhadap pendapat-pendapat yang lemah dari seorang ulama.
Ibnu Rajab t menukilkan dalam risalahnya Al-Farqu baina An-Nashihati wat ta’yiir, adanya ulama yang membantah pendapat Sa’id bin Al-Musayyab t yang membolehkan jatuhnya talak tiga sekaligus dalam satu akad. Juga terhadap Al-Hasan (Al-Bashri) t yang menyatakan tidak ada ihdad (berkabung, tidak berhias dan keluar rumah sampai waktu yang ditentukan) bagi seorang wanita yang ditinggal mati suaminya. Begitu juga ulama lainnya yang memang disepakati oleh kaum muslimin mereka adalah imam-imam pembawa petunjuk.
Sama sekali mereka tidak menyatakan bahwa kritikan (al-jarh) terhadap pemikiran dan penyimpangan itu sebagai suatu hujatan atau kecaman terhadap mereka. Bahkan bukan pula aib.
Alangkah tepatnya perkataan Al-Imam Malik t ketika menyatakan: “Setiap orang boleh diambil dan dibuang pendapatnya, kecuali pemilik (penghuni) kubur ini –sambil menunjuk ke arah makam Rasulullah r–.”
Al-Imam Asy-Syafi’i t mengatakan: “Kalau kalian dapati dalam kitabku bertentangan dengan Sunnah Nabi, maka ambillah Sunnah Nabi dan tinggalkanlah ucapanku.” (lihat Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi, hal. 50, ed)
Kalimat-kalimat seperti ini menunjukkan betapa lapang dada para ulama kita untuk menerima kritikan atau al-jarh terhadap pendapat atau pemikirannya yang sempat terucap maupun yang tertulis. Dan alangkah terbaliknya keadaan mereka dengan kaum muslimin yang mengaku-aku bermadzhab dengan madzhab para imam tersebut tapi bangkit marah serta kebenciannya, bahkan sesak dadanya kalau imam-imam tersebut dikritik atau pendapatnya disalahkan.
Yang lebih parah lagi, sebagian mereka justru menganggap para tokoh mereka adalah manusia-manusia maksum, bebas dari kesalahan dan aib. Tidak ada cacatnya. Maka barangsiapa yang mengkritik tokoh-tokohnya, berarti menodai kemuliaan dan nama baik para imam tersebut.
Tentang hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t pernah mengalaminya. Ketika seorang ahli nahwu di masanya berdialog dengannya kemudian dibantah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t. Ternyata tokoh tersebut (Abu Hayyan) menukil perkataan Al-Imam Sibawaih untuk mendukung pendapatnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kemudian berkata kepadanya (Abu Hayyan): “Apakah Sibawaih itu nabinya nahwu sehingga harus ma’shum (bersih, terjaga dari aib dan kesalahan)? Sibawaih keliru tentang Al Qur`an dalam 40 tempat yang tidak kamu pahami, juga dia.” (Lihat Ar-Radd Al-Wafir hal 65)
Lebih lanjut lagi beliau t menerangkan: “Jika nasehat itu adalah suatu hal yang wajib untuk kemaslahatan diniah (urusan agama) secara umum maupun khusus, seperti (menerangkan keadaaan) para rawi yang salah atau dusta, sebagaimana kata Yahya bin Sa’id Al-Qaththan: ‘Saya bertanya kepada (Al-Imam) Malik, Ats-Tsauri, Al-Laits bin Sa’d –saya kira juga– Al-Auza’i rahimahumullah, tentang rawi yang tertuduh berkaitan dengan sebuah hadits, atau tidak menghafalnya, (bagaimana tentang orang tersebut)?’ Kata mereka: ‘Terangkan keadaannya!’”
Sebagian ulama berkata kepada Al-Imam Ahmad bin Hanbal t: “Berat bagi saya untuk mengatakan si Fulan demikian, Si Anu demikian.”3 Maka Al-Imam Ahmad mengatakan: “Kalau engkau diam dan saya juga diam (tidak menerangkan keadaannya), kapan orang yang jahil (tidak berilmu) akan tahu mana hadits yang sahih dan mana yang cacat?”4
Juga seperti tokoh-tokoh ahli bid’ah, dengan berbagai pernyataan yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau ahli ibadah yang mengamalkan sesuatu yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka menerangkan keadaan mereka dan memberikan peringatan agar kaum muslimin menjauhi mereka (apalagi pemikiran mereka) adalah wajib menurut kesepakatan kaum muslimin. Sampai ditanyakan kepada Al-Imam Ahmad bin Hanbal t: “Seseorang berpuasa, shalat dan i’tikaf, itu lebih anda sukai atau orang yang berbicara menjelaskan kesesatan ahli bid’ah?”
Al-Imam Ahmad t mengatakan: “Jika dia menegakkan shalat, i’tikaf (dan ibadah lainnya), maka itu (pahala, dan kemaslahatannya) hanya untuk dirinya sendiri. Sedangkan kalau dia berbicara (menjelaskan kesesatan ahli bid’ah) maka itu adalah untuk kepentingan kaum muslimin, maka ini lebih utama.”
Maka jelaslah bahwa manfaatnya lebih merata bagi kaum muslimin dan kedudukannya sama seperti jihad fi sabilillah. Karena membersihkan jalan Allah dan agama-Nya, manhaj serta syari’at-Nya serta menghalau kejahatan dan permusuhan mereka adalah wajib kifayah menurut kesepakatan kaum muslimin…”5
Hal-hal yang diuraikan ini sama sekali tidak bertentangan dengan sabda  Nabi r:

Dari Abi Hurairah, bahwasanya Rasulullah r bersabda: “Tahukah kamu apakah ghibah itu?” Mereka (para shahabat) menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Rasulullah r bersabda: “Kamu menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak disukainya.” (HR. Muslim)
Seorang mukmin jika dia jujur dalam keimanannya, maka dia tidak akan benci kalau Anda mengatakan kebenaran yang (jelas) dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, meskipun hal itu memberatkannya… Namun apabila dia tidak suka dengan kebenaran tersebut, berarti imannya tidak sempurna, dan persaudaraan itupun berkurang senilai dengan kurangnya iman pada diri ‘saudara’ tersebut. Dan Allah I berfirman:

“Padahal Allah dan Rasul-Nya itulah yang lebih patut mereka cari keridhaannya..” (At-Taubah: 62)
Maka jelaslah, bahwa menerangkan kepada kaum muslimin berbagai kesesatan bid’ah dan ahli bid’ah merupakan salah satu bentuk nasehat untuk kaum muslimin secara umum. Bahkan termasuk amar ma’ruf nahi munkar. Bukan ghibah atau ta’yiir (celaan) yang diharamkan.
Sudah masyhur dalam buku-buku yang membahas tentang As-Sunnah atau aqidah, melalui uraian-uraian para ulama sejak dahulu hingga saat ini bahwasanya tidak berlaku (hukum) ghibah bagi ahli bid’ah. Di mana mereka memaksudkan adanya pembolehan membicarakan dan membeberkan aib atau cacat, kejelekan, ataupun kesesatan ahli bid’ah.6
Dan dalil yang menerangkan hal ini cukup banyak. Namun dapat disimpulkan bahwa semuanya terbagi dua:
Yang pertama bersifat umum; berada di bawah keumuman dalil perintah melakukan amar ma’ruf nahi munkar yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana telah kita kemukakan pada pembahasan sebelumnya (pada artikel Hakekat Jarh wat Ta’dil).
Al-Imam An-Nawawi t menerangkan: “Wajibnya melakukan amar ma’ruf nahi munkar, telah ditegaskan berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ umat ini. Bahkan amar ma’ruf nahi munkar ini adalah nasehat yang termasuk ajaran (agama) Islam.7
Dan termasuk dalam rangkaian amar ma’ruf nahi munkar ini ialah mengajak manusia untuk kembali kepada Sunnah Rasulullah r dan menerapkannya dalam kehidupan sekaligus men-tahdzir dari bid’ah dan ahli bid’ah.
Adapun dalil khusus yang terkait dalam masalah ini; bolehnya mengecam, mengkritik, dan membeberkan kesesatan ahli bid’ah, di antaranya ialah firman Allah I:

“Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terang kecuali oleh orang yang dianiaya.” (An-Nisa: 148)
Ayat ini meskipun berkaitan dengan hak tamu yang dilanggar (tidak dipenuhi) oleh tuan rumah, sehingga boleh bagi tamu untuk menyebutkan kejelekan tuan rumah dalam hal ini, lebih-lebih berlaku pula terhadap orang-orang yang menyebarkan kebid’ahan.8
Adapun di dalam As-Sunnah, banyak pula disebutkan hadits-hadits yang menunjukkan bahwa  Nabi r mencela orang-orang yang melakukan kerusakan, sebagai peringatan agar manusia menjauhinya. Di antaranya ialah hadits ‘Aisyah:

‘Aisyah x mengatakan: Ada seseorang minta izin menemui Rasulullah r, lalu beliau berkata: “Izinkan dia! Seburuk-buruk saudara (putera) dalam kabilahnya.”
Ketika dia masuk, beliau melunakkan pembicaraannya terhadap orang tersebut. Saya (‘Aisyah) berkata: “Wahai Rasulullah, anda mengatakan sebelumnya demikian (tentang dia), kemudian anda melunakkan pembicaraan terhadapnya?” Beliau berkata: “Hai ‘Aisyah, sesungguhnya sejahat-jahat manusia ialah orang yang ditinggalkan oleh orang lain atau dibiarkan karena takut kekejiannya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Imam An-Nawawi t menerangkan pengertian hadits ini: “Di dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya melakukan mudaaraah9, terhadap orang yang dikhawatirkan kekejiannya dan bolehnya meng-ghibah orang fasik yang terang-terangan melakukan kefasikan (kejahatan)-nya dan orang-orang yang memang perlu kaum muslimin jauhi.”10
Juga hadits Fathimah binti Qais x, ketika dia meminta nasehat kepada  Nabi r dengan siapa yang dia menikah saat dilamar oleh Abu Jahm dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, maka Rasulullah r bersabda:

“Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkatnya (suka memukul) dari lehernya. Adapun Mu’awiyah, dia miskin tidak punya harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (Shahih, HR. Muslim dan lainnya)
Bolehnya men­jarh (meng-ghibah) ahli bid’ah tersirat dalam hadits ini. Kalau di sini diungkapkan bolehnya menyebut-nyebut kekurangan seseorang (dalam hal ini kedua sahabat) demi kepentingan urusan duniawi secara khusus, sebagai nasehat buat shahabiah tersebut, maka tentunya lebih jelas lagi bolehnya menyebutkan kekurangan bahkan kesesatan ahli bid’ah demi kemaslahatan kaum muslimin secara umum.11
Di samping itu, tidak pula ada keharusan untuk menyebutkan kebaikan mereka ketika membantah dan menerangkan adanya kesesatan nyata pada pemikiran atau pendapat mereka.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz t ketika ditanya tentang masalah ini mengatakan bahwa hal itu bukan satu keharusan. Para ulama menerangkan hal ini dalam buku-buku mereka adalah untuk menperingatkan dari kesesatan ahli bid’ah… kebaikan mereka tidak ada artinya dibandingkan dengan kekafiran, jika bid’ahnya itu sampai kepada kekafiran, gugur sudah kebaikannya. Adapun kalau bid’ahnya belum sampai pada tingkat kufur, maka dia dalam keadaan bahaya… 12
Asy-Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi hafizhahullah mengatakan: “Allah I telah mengisahkan kepada kita bagaimana sikap orang-orang kafir yang mendustakan para Rasul Allah u yang datang kepada mereka. Allah I terangkan kekafiran, pendustaan dan penghinaan mereka terhadap para Rasul tersebut, kemudian bagaimana Dia membinasakan dan menghancurkan mereka. Semua itu tercantum dalam Al Qur`an dan sama sekali tidak ada penyebutan kebaikan mereka. Karena tujuan utama adalah agar kita mengambil pelajaran dan menjauhi apa yang mereka lakukan terhadap Rasul mereka.
Allah I mensifatkan orang-orang Yahudi dan Nashara dengan sifat yang sangat buruk, bahkan mengancam mereka dengan ancaman yang sangat hebat dan sama sekali tidak menyebutkan kebaikan mereka yang mereka runtuhkan karena kekufuran dan pendustaan mereka terhadap Nabi Muhammad r.
Dan Rasulullah r telah pula men-tahdzir umatnya dari ahli ahwa` (bid’ah) tanpa memperhatikan kebaikan yang ada pada mereka. Karena kebaikan mereka sangat lemah, sedangkan bahaya mereka jauh lebih hebat dan lebih besar dibandingkan kemaslahatan yang diharapkan dari kebaikan mereka.”
Dari ‘Aisyah x, dia berkata: Rasulullah r membaca ayat ini:
“Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al Qur`an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamat (jelas) itulah pokok-pokok isi Al Qur`an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat (samar). Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya. Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal.” (Ali ‘Imran: 7)
Kata ‘Aisyah x: Rasulullah r bersabda: “Maka jika kamu melihat orang-orang yang mengikuti apa yang mutasyabih dari Al-Qur’an, merekalah yang disebut oleh Allah. Maka jauhilah mereka!” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan kita maklum, bahwa ahli bid’ah itu tidak kosong dari kebaikan. Namun Rasulullah r sama sekali tidak memperhatikannya dan tidak menyebut-nyebutnya. Dan kita ketahui pula bagaimana Rasulullah r membandingkan para shahabatnya dengan orang-orang Khawarij:

“Akan keluar di tengah-tengah kalian satu kaum yang kalian meremehkan shalat kalian bila dibandingkan dengan shalat mereka, puasa kalian dengan puasa mereka, amalan kalian dengan amalan mereka. Mereka membaca Al-Qur’an tapi tidak melewati tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama ini seperti lepasnya anak panah dari sasaran13.” (HR. Al-Bukhari dari Abu Sa’id Al-Khudri z)
Telah kita ketahui pula bahwa Rasulullah r menamakan mereka sebagai anjing-anjing neraka14, seburuk-buruk bangkai yang terbunuh di kolong langit. Artinya, mereka (Khawarij) ini lebih berbahaya bagi kaum muslimin daripada selain mereka, baik itu dari kalangan Yahudi maupun Nashara. Mengapa demikian? Jawabnya jelas, karena mereka bersungguh-sungguh berusaha membantai kaum muslimin yang tidak sejalan dengan mereka. Mereka halalkan darah dan harta kaum muslimin lainnya, bahkan nyawa anak-anak kaum muslimin15. Mereka mengkafirkan kaum muslimin yang tidak sefaham dengan mereka, dalam keadaan mereka menganggap semua itu adalah ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah I, karena parahnya kebodohan dan kesesatan mereka…”
Terakhir, janganlah kita terjerumus dalam kepalsuan orang-orang Yahudi. Mereka berselisih dalam urusan kitab mereka dan menyelisihi kitab tersebut, namun mereka tampakkan kepada orang lain bahwa mereka seakan-akan bersatu padu. Padahal Allah I telah membantah hal ini dalam firman-Nya:

“Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah.” (Al-Hasyr: 14)
Dan ingat, salah satu sebab mereka dilaknat oleh Allah I adalah sebagaimana firman-Nya:

“Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat.” (Al-Maidah: 79)
Oleh karena itu, apabila kita lihat ada orang yang membantah pendapat atau pemikiran yang menyimpang dari Al Qur`an dan As-Sunnah, baik dalam masalah fiqih, atau pernyataan-pernyataan bid’ah lainnya, maka syukurilah usaha yang dilakukannya sebatas kemampuannya itu.
Maka ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang berakal.
Wallahu a’lam.


1 Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim t dalam Kitab Al-Iman.
2 Hal-hal yang samar dan masih membutuhkan penjelasan melalui ayat lain atau Sunnah Rasulullah r. Wallahu A’lam, red.
3 Kekurangannya, seperti kelemahan hafalan dan sebagainya. Wallahu A’lam.
4 Majmu’ Fatawa 28/231. Dan Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Asy-Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili.
5 Majmu’ Fatawa 28/232. Dan lihat pembahasan Hakekat Jarh wat Ta’dil.
6 Lihat kitab Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh Asy-Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili.
7 Syarh Shahih Muslim 2/22, secara ringkas.
8 Lihat Majmu’ Fatawa 28/230.
9 Ibnu Baththal berkata: “Al-Mudaaraah artinya berlemah lembut dengan orang yang jahil dalam mengajari, dan terkadang dengan orang yang fasiq dalam melarang dari perbuatan jeleknya dan tidak menyikapi keras… dan mengingkarinya dengan ucapan serta perbuatan yang lembut, lebih-lebih bila dibutuhkan untuk dilunakkan hatinya.” (Fathul Bari, 10/258 dinukil dari Tuhfatul Ahyar, hal. 96) (ed)
10 Syarh Shahih Muslim 16/144.
11 Lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t (28/230-231) dan Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah oleh Asy-Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili.
12 Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi naqdir Rijal, Asy-Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah hal. 9.
13 Yaitu sebagaimana anak panah yang tepat mengenai sasarannya kemudian menembusnya sampai lepas darinya. (ed)
14 Sebagaimana dalam hadits Abi Umamah Shudai bin ‘Ajlan yang dikeluarkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi t dan beliau mengatakan hasan. Juga dikeluarkan oleh Ibnu Majah t dalam Sunan-nya dari Ibnu Abi Aufa. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t.
15 Sebagaimana dialami oleh Abdullah bin Khabbab bin Al-Art, ia d


 Majalah AsySyariah Edisi 014

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.