Taat
kepada pemerintah dalam perkara kebaikan. Inilah salah satu prinsip
agama yang kini telah banyak dilupakan dan ditinggalkan umat. Yang kini
banyak dilakukan justru berupaya mencari keburukan pemerintah
sebanyak-banyaknya untuk kemudian disebarkan ke masyarakat. Akibat buruk
dari ditinggalkannya prinsip ini sudah banyak kita rasakan. Satu
diantaranya adalah munculnya perpecahan di kalangan umat Islam saat
menentukan awal Ramadhan atau Hari Raya.
Bulan suci Ramadhan merupakan bulan
istimewa bagi umat Islam. Hari-harinya diliputi suasana ibadah; shaum,
shalat tarawih, bacaan Al-Qur`an, dan sebagainya. Sebuah fenomena yang
tak didapati di bulan-bulan selainnya. Tak ayal, bila kedatangannya
menjadi dambaan, dan kepergiannya meninggalkan kesan yang mendalam. Tak
kalah istimewanya, ternyata bulan suci Ramadhan juga sebagai salah satu
syi’ar kebersamaan umat Islam.
Secara bersama-sama mereka melakukan
shaum Ramadhan; dengan menahan diri dari rasa lapar, dahaga dan dorongan
hawa nafsu sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, serta
mengisi malam-malamnya dengan shalat tarawih dan berbagai macam ibadah
lainnya. Tak hanya kita umat Islam di Indonesia yang merasakannya.
Bahkan seluruh umat Islam di penjuru dunia pun turut merasakan dan
memilikinya.
Namun syi’ar kebersamaan itu kian hari
semakin pudar, manakala elemen-elemen umat Islam di banyak negeri saling
berlomba merumuskan keputusan yang berbeda dalam menentukan awal dan
akhir bulan Ramadhan.
Keputusan itu terkadang atas nama ormas, terkadang atas nama parpol, dan terkadang pula atas nama pribadi.
Masing-masing mengklaim, keputusannya yang paling benar.
Tak pelak, shaum Ramadhan yang merupakan
syi’ar kebersamaan itu (kerap kali) diawali dan diakhiri dengan fenomena
perpecahan di tubuh umat Islam sendiri. Tentunya, ini merupakan
fenomena menyedihkan bagi siapa pun yang mengidamkan persatuan umat.
Mengapa hal ini bisa terjadi?
Mungkin anda akan berkata:
“Itu karena adanya perbedaan pendapat
diantara elemen umat Islam, apakah awal masuk dan keluarnya bulan
Ramadhan itu ditentukan oleh ru`yatul hilal (melihat hilal) ataukah
dengan ilmu hisab?”.
Bisa juga anda mengatakan:
“Karena adanya perbedaan pendapat, apakah
di dunia ini hanya berlaku satu mathla’ (tempat keluarnya hilal)
ataukah masing-masing negeri mempunyai mathla’ sendiri-sendiri?”
Bila kita mau jujur soal penyebab
pudarnya syi’ar kebersamaan itu, lepas adanya realita perbedaan pendapat
di atas, utamanya disebabkan makin tenggelamnya salah satu prinsip penting agama Islam dari hati sanubari umat Islam. Prinsip itu adalah memuliakan dan menaati penguasa (pemerintah) umat Islam dalam hal yang ma’ruf (kebaikan).
Mungkin timbul tanda tanya:
“Apa hubungannya antara ketaatan terhadap penguasa dengan pelaksanaan shaum Ramadhan?”
Layak dicatat, hubungan antara keduanya sangat erat. Hal itu karena:
1. Shaum Ramadhan merupakan syi’ar
kebersamaan umat Islam, dan suatu kebersamaan umat tidaklah mungkin
terwujud tanpa adanya ketaatan terhadap penguasa.
2. Penentuan pelaksanaan shaum Ramadhan
merupakan perkara yang ma’ruf (kebaikan) dan bukan kemaksiatan. Sehingga
menaati penguasa dalam hal ini termasuk perkara yang diperintahkan
dalam agama Islam. Terlebih ketika penentuannya setelah melalui sekian
proses, dari pengerahan tim ru`yatul hilal di sejumlah titik di
negerinya hingga digelarnya sidang-sidang istimewa.
3. Realita juga membuktikan, dengan
menaati keputusan penguasa dalam hal pelaksanaan shaum Ramadhan dan
penentuan hari raya `Idul Fithri, benar-benar tercipta suasana persatuan
dan kebersamaan umat. Sebaliknya, ketika umat Islam berseberangan
dengan penguasanya, perpecahan di tubuh mereka pun sangat mencolok. Maka
dari itu, menaati penguasa dalam hal ini termasuk perkara yang
diperintahkan dalam agama Islam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa menaatiku berarti telah menaati Allah. Barangsiapa menentangku berarti telah menentang Allah. Barangsiapa
menaati pemimpin (umat)ku berarti telah menaatiku, dan barangsiapa
menentang pemimpin (umat)ku berarti telah menentangku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani
berkata: “Di dalam hadits ini terdapat keterangan tentang kewajiban
menaati para penguasa dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan.
Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat
Islam), karena di dalam perpecahan terdapat kerusakan.” (Fathul Bari,
juz 13, hal. 120)
Mungkin ada yang bertanya,
“Adakah untaian fatwa dari para ulama seputar permasalahan ini?”
Maka jawabnya ada, sebagaimana berikut ini:
Fatwa Para Ulama Seputar Shaum Ramadhan Bersama Penguasa
Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
“Seseorang (hendaknya) bershaum bersama
penguasa dan jamaah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah
ataupun mendung.” Beliau juga berkata: “Tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala
bersama Al-Jama’ah.” (Majmu’ Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah juz 25, hal. 117).
Al-Imam At-Tirmidzi berkata:
“Sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits
ini hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu : “Shaum itu di hari kalian
(umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka adalah pada saat kalian berbuka,
dan (waktu) berkurban/ Iedul Adha di hari kalian berkurban.” dengan
ucapan (mereka): `Sesungguhnya shaum dan berbukanya itu (dilaksanakan)
bersama Al-Jama’ah dan mayoritas umat Islam’.” (Tuhfatul Ahwadzi juz 2,
hal. 37. Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 443).
Al-Imam Abul Hasan As-Sindi berkata:
“Yang jelas, makna hadits ini adalah
bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan pelaksanaan shaum
Ramadhan, berbuka puasa/Iedul Fithri dan Iedul Adha, -pen.) keputusannya
bukanlah di tangan individu. Tidak ada hak bagi mereka untuk
melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini
dikembalikan kepada penguasa dan mayoritas umat Islam. Dalam hal ini,
setiap individu pun wajib untuk mengikuti penguasa dan mayoritas umat
Islam. Maka dari itu, jika ada seseorang yang melihat hilal (bulan
sabit) namun penguasa menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk
tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti
mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu.” (Hasyiyah `ala Ibni Majah,
lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 443).
Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkata:
“Dan selama belum (terwujud) bersatunya
negeri-negeri Islam di atas satu mathla’ (dalam menentukan pelaksanaan
shaum Ramadhan, -pen.), aku berpendapat bahwa setiap warga negara
hendaknya melaksanakan shaum Ramadhan bersama negaranya (pemerintahnya)
masing-masing dan tidak bercerai-berai dalam perkara ini, yakni shaum
bersama pemerintah dan sebagian lainnya shaum bersama negara lain, baik
mendahului pemerintahnya atau pun belakangan. Karena yang demikian itu
dapat mempertajam perselisihan di tengah masyarakat muslim sendiri.
Sebagaimana yang terjadi di sebagian negara Arab sejak beberapa tahun
yang lalu. Wallahul Musta’an.” (Tamamul Minnah hal. 398). (Catatan :
Beliau merupakan salah satu ulama yang berpendapat bahwasanya
pelaksanaan shaum Ramadhan dan Idul Fithri di dunia ini hanya dengan
satu mathla’ saja, sebagaimana yang beliau rinci dalam kitab Tamamul
Minnah hal. 398. Walaupun demikian, beliau sangat getol mengajak umat
Islam (saat ini) untuk melakukan shaum Ramadhan dan Iedul Fithri bersama
penguasanya, sebagaimana perkataan beliau di atas).
Beliau rahimahumullah juga berkata:
“Inilah yang sesuai dengan syariat
(Islam) yang toleran, yang diantara misinya adalah mempersatukan umat
manusia, menyatukan barisan mereka serta menjauhkan mereka dari segala
pendapat pribadi yang memicu perpecahan. Syariat ini tidak mengakui
pendapat pribadi meski menurut yang bersangkutan benar dalam ibadah yang
bersifat kebersamaan seperti; shaum, Ied, dan shalat berjamaah.
Tidakkah engkau melihat bahwa sebagian shahabat radhiallahu ‘anhum
shalat bermakmum di belakang shahabat lainnya, padahal sebagian mereka
ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, dan
keluarnya darah dari tubuh termasuk pembatal wudhu, sementara yang
lainnya tidak berpendapat demikian?! Sebagian mereka ada yang shalat
secara sempurna (4 rakaat) dalam safar dan diantara mereka pula ada yang
mengqasharnya (2 rakaat). Namun perbedaan itu tidaklah menghalangi
mereka untuk melakukan shalat berjamaah di belakang seorang imam
(walaupun berbeda pendapat dengannya, -pen.) dan tetap berkeyakinan
bahwa shalat tersebut sah. Hal itu karena adanya pengetahuan mereka
bahwa bercerai-berai dalam urusan agama lebih buruk daripada sekedar
berbeda pendapat. Bahkan sebagian mereka mendahulukan pendapat penguasa
daripada pendapat pribadinya pada momen berkumpulnya manusia seperti di
Mina. Hal itu semata-mata untuk menghindari kesudahan buruk (terjadinya
perpecahan) bila dia tetap mempertahankan pendapatnya. Sebagaimana
diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud (1/307), bahwasanya Khalifah `Utsman
bin `Affan radhiallahu ‘anhu shalat di Mina 4 rakaat (Zhuhur, `Ashar,
dan Isya’ -pen). Maka shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu
mengingkarinya seraya berkata: “Aku telah shalat (di Mina/hari-hari
haji, -pen.) bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, `Umar
dan di awal pemerintahan `Utsman 2 rakaat, dan setelah itu `Utsman
shalat 4 rakaat. Kemudian terjadilah perbedaan diantara kalian (sebagian
shalat 4 rakaat dan sebagian lagi 2 rakaat, -pen.), dan harapanku dari 4
rakaat shalat itu yang diterima adalah yang 2 rakaat darinya.”
Namun ketika di Mina, shahabat Abdullah bin Mas’ud justru shalat 4 rakaat. Maka dikatakanlah kepada beliau:
“Engkau telah mengingkari `Utsman atas shalatnya yang 4 rakaat, (mengapa) kemudian engkau shalat 4 rakaat pula?!”
Abdullah bin Mas’ud berkata:
“Perselisihan itu jelek.”
Sanadnya shahih. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Ahmad (5/155) seperti riwayat di atas dari shahabat Abu Dzar radhiallahu ‘anhu.
Maka dari itu, hendaknya hadits dan atsar
ini benar-benar dijadikan bahan renungan oleh orang-orang yang (hobi,
-pen.) berpecah-belah dalam urusan shalat mereka serta tidak mau
bermakmum kepada sebagian imam masjid, khususnya shalat witir di bulan
Ramadhan dengan dalih beda madzhab. Demikian pula orang-orang yang
bershaum dan berbuka sendiri, baik mendahului mayoritas kaum muslimin
atau pun mengakhirkannya dengan dalih mengerti ilmu falaq, tanpa peduli
harus berseberangan dengan mayoritas kaum muslimin. Hendaknya mereka
semua mau merenungkan ilmu yang telah kami sampaikan ini. Dan semoga ini
bisa menjadi obat bagi kebodohan dan kesombongan yang ada pada diri
mereka. Dengan harapan agar mereka selalu dalam satu barisan bersama
saudara-saudara mereka kaum muslimin, karena tangan Allah Subhanahu wa
Ta’ala bersama Al-Jama’ah.” (Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2,
hal. 444-445)
Asy-Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu pernah ditanya:
“Jika awal masuknya bulan Ramadhan telah
diumumkan di salah satu negeri Islam semisal kerajaan Saudi Arabia,
namun di negeri kami belum diumumkan, bagaimanakah hukumnya? Apakah kami
bershaum bersama kerajaan Saudi Arabia ataukah bershaum dan berbuka
bersama penduduk negeri kami, manakala ada pengumuman? Demikian pula
halnya dengan masuknya Iedul Fithri, apa yang harus kami lakukan bila
terjadi perbedaan antara negeri kami dengan negeri yang lainnya? Semoga
Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas engkau dengan kebaikan.”
Beliau menjawab:
“Setiap muslim hendaknya bershaum dan
berbuka bersama (pemerintah) negerinya masing-masing. Hal itu
berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Waktu shaum itu di hari kalian (umat
Islam) bershaum, (waktu) berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan
(waktu) berkurban/Iedul Adha di hari kalian berkurban.” Wabillahit
taufiq. (Lihat Fatawa Ramadhan hal. 112)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu ditanya:
“Umat Islam di luar dunia Islam sering
berselisih dalam menyikapi berbagai macam permasalahan seperti
(penentuan) masuk dan keluarnya bulan Ramadhan, serta saling berebut
jabatan di bidang dakwah. Fenomena ini terjadi setiap tahun. Hanya saja
tingkat ketajamannya berbeda-beda tiap tahunnya. Penyebab utamanya
adalah minimnya ilmu agama, mengikuti hawa nafsu dan terkadang fanatisme
madzhab atau partai, tanpa mempedulikan rambu-rambu syariat Islam dan
bimbingan para ulama yang kesohor akan ilmu dan wara’-nya. Maka, adakah
sebuah nasehat yang kiranya bermanfaat dan dapat mencegah (terjadinya)
sekian kejelekan? Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufiq dan
penjagaan-Nya kepada engkau.”
Beliau berkata:
“Umat Islam wajib bersatu dan tidak boleh berpecah-belah dalam beragama. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dia telah mensyariatkan bagi kalian
tentang agama, apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang
telah Kami wasiatkan kepadamu, Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu:’
Tegakkanlah agama dan janganlah kalian berpecah-belah tentangnya’.”
(Asy-Syura: 13)
“Dan berpegang-teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali `Imran: 103)
“Dan janganlah kalian seperti orang-orang
yang berpecah-belah dan berselisih setelah keterangan datang kepada
mereka, dan bagi mereka adzab yang pedih.” (Ali `Imran: 105)
Sehingga umat Islam wajib untuk menjadi
umat yang satu dan tidak berpecah-belah dalam beragama. Hendaknya waktu
shaum dan berbuka mereka satu, dengan mengikuti keputusan
lembaga/departemen yang menangani urusan umat Islam dan tidak
bercerai-berai (dalam masalah ini), walaupun harus lebih tertinggal dari
shaum kerajaan Saudi Arabia atau negeri Islam lainnya.” (Fatawa Fi
Ahkamish Shiyam, hal. 51-52).
Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil-Buhuts Al-`Ilmiyyah wal-Ifta`:
“Dan tidak mengapa bagi penduduk negeri
manapun, jika tidak melihat hilal (bulan tsabit) di tempat tinggalnya
pada malam ke-30, untuk mengambil hasil ru`yatul hilal dari tempat lain
di negerinya. Jika umat Islam di negeri tersebut berbeda pendapat dalam
hal penentuannya, maka yang harus diikuti adalah keputusan penguasa di
negeri tersebut bila ia seorang muslim, karena (dengan mengikuti)
keputusannya akan sirnalah perbedaan pendapat itu. Dan jika si penguasa
bukan seorang muslim, maka hendaknya mengikuti keputusan
majelis/departemen pusat yang membidangi urusan umat Islam di negeri
tersebut. Hal ini semata-mata untuk menjaga kebersamaan umat Islam dalam
menjalankan shaum Ramadhan dan shalat Id di negeri mereka. Wabillahit
taufiq, washallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi
wasallam.” Pemberi fatwa: Asy-Syaikh Abdur Razzaq `Afifi, Asy-Syaikh
Abdullah bin Ghudayyan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Mani’. (Lihat Fatawa
Ramadhan hal. 117)
Demikianlah beberapa fatwa para ulama
terdahulu dan masa kini seputar kewajiban bershaum bersama penguasa dan
mayoritas umat Islam di negerinya. Semoga menjadi pelita dalam kegelapan
dan ibrah bagi orang-orang yang mendambakan persatuan umat Islam.
Mungkin masih ada yang mengatakan
bahwasanya kewajiban menaati penguasa dalam perkara semacam ini hanya
berlaku untuk seorang penguasa yang adil. Adapun bila penguasanya dzalim
atau seorang koruptor, tidak wajib taat kepadanya walaupun dalam
perkara-perkara kebaikan dan bukan kemaksiatan, termasuk dalam hal
penentuan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan ini.
Satu hal yang perlu digarisbawahi dalam
hal ini, jika umat dihadapkan pada polemik atau perbedaan pendapat,
prinsip `berpegang teguh dan merujuk kepada Al-Qur`an dan Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam’ haruslah senantiasa
dikedepankan. Sebagaimana bimbingan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam
kalam-Nya nan suci:
“Dan berpegang-teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali `Imran: 103)
Al-Imam Al-Qurthubi berkata:
“Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan
kepada kita agar berpegang teguh dengan Kitab-Nya (Al-Qur`an) dan Sunnah
Nabi-Nya, serta merujuk kepada keduanya di saat terjadi perselisihan.
Sebagaimana Dia (juga) memerintahkan kepada kita agar bersatu di atas
Al-Qur`an dan As-Sunnah baik secara keyakinan atau pun amalan” (Tafsir
Al-Qurthubi, 4/105)
Para pembaca yang mulia, bila anda telah
siap untuk merujuk kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah maka simaklah
bimbingan dari Al-Qur`an dan As-Sunnah berikut ini: Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan Ulil Amri diantara kalian.” (An-Nisa`: 59)
Al-Imam An-Nawawi berkata:
“Yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah
orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan untuk ditaati dari
kalangan para penguasa dan pemimpin umat. Inilah pendapat mayoritas
ulama terdahulu dan sekarang dari kalangan ahli tafsir dan fiqih serta
yang lainnya.” (Syarh Shahih Muslim, juz 12, hal. 222)
Adapun baginda Rasul Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, maka beliau seringkali mengingatkan umatnya seputar
permasalahan ini. Diantaranya dalam hadits-hadits beliau berikut ini:
1. Shahabat `Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu berkata:
“Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya kepadamu tentang ketaatan (terhadap penguasa) yang bertakwa. Yang kami tanyakan adalah ketaatan terhadap penguasa yang berbuat demikian dan demikian (ia sebutkan kejelekan-kejelekannya).” Maka Rasulullah bersabda: “Bertakwalah kalian kepada Allah, dengarlah dan taatilah (penguasa tersebut).”
(HR. Ibnu Abi `Ashim dalam Kitab As-Sunnah, dan dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah Fitakhrijis Sunnah, 2/494,
no. 1064)
2. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Akan ada sepeninggalku nanti para
imam/penguasa yang mereka itu tidak berpegang dengan petunjukku dan
tidak mengikuti cara/jalanku. Dan akan ada diantara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan namun berbadan manusia.” Hudzaifah berkata: “Apa yang kuperbuat bila aku mendapatinya?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hendaknya
engkau mendengar dan menaati penguasa tersebut walaupun punggungmu
dicambuk dan hartamu dirampas olehnya, maka dengarkanlah (perintahnya)
dan taatilah (dia).” (HR. Muslim dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman, 3/1476, no. 1847).
3. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seburuk-buruk
penguasa kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci
kalian, kalian mencaci mereka dan mereka pun mencaci kalian.”
Lalu dikatakan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, bolehkah kami
memerangi mereka dengan pedang (memberontak)?” Beliau bersabda: “Jangan, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian.
Dan jika kalian melihat mereka mengerjakan perbuatan yang tidak kalian
sukai, maka bencilah perbuatannya dan jangan mencabut/meninggalkan
ketaatan (darinya).” (HR. Muslim, dari shahabat `Auf bin Malik, 3/1481,
no. 1855)
Para ulama kita pun demikian adanya.
Mereka (dengan latar belakang daerah, pengalaman dan generasi yang
berbeda-beda) telah menyampaikan arahan dan bimbingannya yang amat
berharga seputar permasalahan ini, sebagaimana berikut:
Shahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata:
“Urusan kaum muslimin tidaklah stabil tanpa adanya penguasa, yang baik atau yang jahat sekalipun.”
Orang-orang berkata:
“Wahai Amirul Mukminin, kalau penguasa yang baik kami bisa menerimanya, lalu bagaimana dengan yang jahat?”
Ali bin Abi Thalib berkata:
“Sesungguhnya (walaupun) penguasa itu
jahat namun Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap memerankannya sebagai
pengawas keamanan di jalan-jalan dan pemimpin dalam jihad” (Syu’abul
Iman, karya Al-Imam Al-Baihaqi juz 13, hal.187, dinukil dari kitab
Mu’amalatul Hukkam, karya Asy-Syaikh Abdus Salam bin Barjas hal. 57).
Al-Imam Ibnu Abil `Iz Al-Hanafi berkata:
“Adapun kewajiban menaati mereka
(penguasa) tetaplah berlaku walaupun mereka berbuat jahat. Karena tidak
menaati mereka dalam hal yang ma’ruf akan mengakibatkan kerusakan yang
jauh lebih besar dari apa yang ada selama ini. Dan di dalam kesabaran
terhadap kejahatan mereka itu terdapat ampunan dari dosa-dosa serta
(mendatangkan) pahala yang berlipat.” (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah
hal. 368).
Al-Imam Al-Barbahari berkata:
“Ketahuilah bahwa kejahatan penguasa
tidaklah menghapuskan kewajiban (menaati mereka, -pen.) yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala wajibkan melalui lisan Nabi-Nya. Kejahatannya akan
kembali kepada dirinya sendiri, sedangkan kebaikan-kebaikan yang engkau
kerjakan bersamanya akan mendapat pahala yang sempurna insya Allah.
Yakni kerjakanlah shalat berjamaah, shalat Jum’at dan jihad bersama
mereka, dan juga berpartisipasilah bersamanya dalam semua jenis ketaatan
(yang dipimpinnya).” (Thabaqat Al-Hanabilah karya Ibnu Abi Ya’la, 2/36,
dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah, hal. 14).
Al-Imam Ibnu Baththah Al-Ukbari berkata:
“Telah sepakat para ulama ahli fiqh,
ilmu, dan ahli ibadah, dan juga dari kalangan Ubbad (ahli ibadah) dan
Zuhhad (orang-orang zuhud) sejak generasi pertama umat ini hingga masa
kita ini: bahwa shalat Jum’at, Idul Fitri dan Idul Adha, hari-hari Mina
dan Arafah, jihad, haji, serta penyembelihan qurban dilakukan bersama
penguasa, yang baik ataupun yang jahat.” (Al-Ibanah, hal. 276-281,
dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah hal. 16).
Al-Imam Al-Bukhari berkata:
“Aku telah bertemu dengan 1.000 orang
lebih dari ulama Hijaz (Makkah dan Madinah), Kufah, Bashrah, Wasith,
Baghdad, Syam dan Mesir.” Kemudian beliau berkata: “Aku tidak melihat
adanya perbedaan diantara mereka tentang perkara berikut ini beliau lalu
menyebutkan sekian perkara, diantaranya kewajiban menaati penguasa
(dalam hal yang ma’ruf).” (Syarh Ushulil I’tiqad Al-Lalika`i,
1/194-197).
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani berkata:
“Di dalam hadits ini (riwayat Al-Bukhari
dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah di atas,-pen.) terdapat
keterangan tentang kewajiban menaati para penguasa dalam perkara-perkara
yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan
dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan terdapat
kerusakan.” (Fathul Bari, juz 13, hal. 120).
Para pembaca yang mulia, dari bahasan di atas dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwasanya:
1.Shaum Ramadhan merupakan syi’ar kebersamaan umat Islam yang harus dipelihara.
2.Syi’ar kebersamaan tersebut akan pudar
manakala umat Islam di masing-masing negeri bercerai-berai dalam
mengawali dan mengakhiri shaum Ramadhannya.
3.Ibadah yang bersifat kebersamaan
semacam ini keputusannya berada di tangan penguasa umat Islam di
masing-masing negeri, bukan di tangan individu.
4.Shaum Ramadhan bersama penguasa dan
mayoritas umat Islam merupakan salah satu prinsip agama Islam yang dapat
memperkokoh persatuan mereka, baik si penguasa tersebut seorang yang
adil ataupun jahat. Karena kebersamaan umat tidaklah mungkin terwujud
tanpa adanya ketaatan terhadap penguasa. Terlebih manakala ketentuannya
itu melalui proses ru`yatul hilal di sejumlah titik negerinya dan
sidang-sidang istimewa.
5.Realita membuktikan, bahwa dengan
bershaum Ramadhan dan berhari-raya bersama penguasa (dan mayoritas umat
Islam) benar-benar tercipta suasana persatuan dan kebersamaan umat.
Sebaliknya ketika umat Islam berseberangan dengan penguasanya, suasana
perpecahan di tubuh umat pun demikian mencolok. Yang demikian ini
semakin menguatkan akan kewajiban bershaum Ramadhan dan berhari-raya
bersama penguasa (dan mayoritas umat Islam).
Wallahu a’lam bish-shawab.
(Dikutip dari Dikutip dari majalah Asy
Syariah, Vol.III/No.26/1427 H/2006, tulisan Al-Ustadz Ruwaifi’ bin
Sulaimi Lc, judul asli Shaum Ramadhan dan Hari Raya Bersama Penguasa,
Syi’ar Kebersamaan Umat Islam.)
0 komentar:
Posting Komentar