Oleh. Ustadz Zaenal Abidin Syamsudin, Lc
Gencarnya
upaya Abdurrahman Wahid dan Nurchalish Majid menebarkan virus pemikiran
Pluralisme agama di Indonesia mulai membuahkan hasilnya, dari gagasan
penolakan terhadap syari’at, pengingkaran terhadap system Negara Islam,
pernyataan bahwa Ahlul Kitab bukan hanya Yahudi dan Nashrani saja bahkan
semua agam termasuk Konghuchu masuk ke dalam Ahlu Kitab hingga gagasan
penyatuan agama sangat mewarnai wacana kedua tokoh tersebut, maka tidak
aneh kalau pemikiran kedua orang ini sering mendatangkan badai kritik
dan hujatan dari umat Islam.
Cukup
banyak penyimpangan Gus Dur, mulai dari pengingkaran terhadap firman
Allah: “ Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak tidak akan sengan kepada
kamu sehinga kamu mengikuti agama mereka.” (QS. Al-Baqarah: 120), bahwa
ayat ini tidak berlaku di Indonesia, mendukung asa Tunggal Pancasila,
menerima sumbangan SDSB, menentang gerakan ekonomi ICM, menentang
pelarangan buku Satanic Verses, mendirikan Shimon Perez Institute,
mendorong pemerintah untuk membuka hubungan dengan Israel, mendukung
presiden dari non muslim, menolak RUU Sisdiknas, menentang fatwa MUI,
menolak RUU APP, sering berkoalisi dengan tokoh-tokoh dari kelompok
kuffar, shalat boleh dengan bahasa Indonesia, pembelaan terhadap goyang
ngebor Inul, membela mati-matian Ulil Absar hingga penghinaan terhadap
al_qur’an yang ia katakana kitab paling porno bahkan penolakan adanya
system Negara Islam serta gagasan pluralismenya membuat gerah umat
islam, bahkan Emha Aiun Najib pernah menulis bahwa Gus Dur memang pandai
bergaya “Kerbau”, pura-pura bego kaya kerbau, tidak perduli nasehat
orang lain walaupun datangnya dari para ulama dan sesepuh NU sendiri
sampai K.H. Yusuf Hasim pun telah putus asa menasehatinya.
Adapun
pemikiran Nurchalish Madjid hingga sekarang banyak meracuni para
cendekiawan muslim Indonesai, mereka yang paling getol menyebarkan
vitrus pluralismenya Nurchalis Madjid adalah Dawam Raharjo dan Budhi
Munawar Rahman. Cita-cita Paramadina untuk mengusung pemikiran sesat Cak
Nur tidak pernah mengenal kata surut bahkan perkawinan lintas agama pun
dilayani oleh lembaga tersebut hingga Fikih Lintas Agama pun mereka
buat untuk menjadi pedoman dan kitab suci mereka dalam rangka
melancarkan ambisi Paramadina sebagai lambaga prositusi terselubung
untuk mencetak anak-anak haram hasil perzinahan yang berkedok pluralisme
agama. Kejahatan paling berbahaya yang diwariskan Cak Nur kepada
generasi bangsa adalah gerakan penyatuan agama-agama dengan merk kemasan
agama Ibrahim yang sebetulnya lebih pas kalau dikatakan agama Cak Nur,
bukan agama Ibrahim yang hanif dan mengajak kepada Tauhidullah bukan Tauhidul Adyan.
Harapan Cak Nur mendirikan Negara Pluralisme Raya hampir terwujud
bahkan kematian sosok tidak mengharuskan matinya pemikiran terbukti buku
besar ensiklopedi Nurchalish Majid telah tercetak yang memuat
gagasan-gagasan beliau yang cemerlang dan cerdas seputar konsep
Pluralisme.
Dalam buku ini disebutkan:
“Jadi pluralisme tidak dapat hanya dipakai dengan mengatakan bahwa
masyarakat kita adalah majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai
suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi.
Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif”
hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Pluralisme
harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan
keadaban. Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan
umat ma nusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan
pengimbangan yang dihasilkannya”. [1]
Kalau kita hendak membuat
study komperansi terhadap gagasan pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dalam
menghina Islam dan menggulirkan pluralisme dan sekulerisme, maka sangat
mirip dengan pemikiran yang dikembangkan oleh Gtholoco dan Darmogandhul,
dan sangat per sis dengan upaya pemikiran yang digagas oleh Siti Jenar.
Kemiripan pemikiran Gus Dur
dan Cak Nur dengan Gatholoco sangat nampak dari sela-sela dialog
Gathaloco dengan dua orang penyabit rumput yang beragama Islam, yaitu
Suto dn Noyo, Gatholoco menyampaikan pendapatnya tentang arti agama,
menurut Tokoh fiktif beraliran zindik ini yang disebut agama adalah:
“Agama itu bebas, sesuka orang hidup. Biarpun agama Cina, jika tulus
lahir batin, sungguh akan diterima. Jadi kalau begitu, Guru yang
mengajari kamu itu salah. Itu agama kafir. Agamaku yang suci, yaitu
agama rasa”. [2]
Adapun kemiripan pemikiran
Gus Dur dan Cak Nur dengan Siti Jenar dalam menggulirkan gagasan
pluralisme agama, dukungan terhadap Islam Sinkretis, dan penyatuan
agama-agama sangat terlihat sekali ketika kita mencermati pernyataan
Siti Jenar yang dikutip Achmad Chadji dalam bukunya “Syaikh Siti Jenar”
bahwa Siti Jenar menerima isi dan tujuan syari’at Islam. tapi dia
menolak bentuk syari’at yang berasal dari tanah Arab, mengapa? Karena
bentuk syari’at ibarat warna dan bentuk baju. Warna nya tergantung
kondisi geografi dan iklim dari tempat tumbuhnya budaya adan agama. [3]
Baik Gus Dur dan Cak Nur
harus menanggung dosa pluralisme agama dan budaya serta seluruh dampak
pendistorsian terhadap nilai agama dan penodaan terhadap kemurnia
syari’at di Indonesia. Begitu juga generasi bangsa dan insan kampus
serta kader umat yang teracuni kesesatan dan syubhat pluralisme juga
menjadi tanggung jawab Cak Nur dan Gus Dur, berdasarkan sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa
memberi contoh yang baik maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang
yang mengerjakannya dan barangsiapa memberi contoh yang buruk maka ia
mendapatkan dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya”. [4]
__________________________________________________________________________________________________
[1] Lihat Ensikloped Nurchalish Madjid (M-P) (3/2694)
[2] Lihat Tafsir Gatholoco, hal. 32
[3] Ibid, hal. 215
[4]
Shahih: Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Kitabuz Zakah, bab al-Hats
alash Shadaqah walau Bisyiqitamr au Kalimatin Thayibah (no. 1017).
Disalin dari Buku Ensiklopedi Penghujatan Terhadap Sunnah, hal. 433-436 Cetakan Pertama, Pustaka Imam Abu Hanifah-Jakarta. Dipublikasikan oleh : ibnuramadan.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar