Nasab ahli bait/ahlul bait merupakan
nasab yang mulia, karena mereka terlahir dari keturunan orang-orang
pilihan, manusia terbaik yang ada di muka bumi. Namun kemuliaan nasab
ini janganlah membuat kita lupa daratan kepada mereka, semisal terlalu
berlebihan alias ghuluw atau menganggap mereka ma’shum dari dosa, dan
lain-lain. Untuk lebih jelasnya bagaimana loyalitas yang benar terhadap
ahli bait, cermati pembahasan berikut ini. Allahul Muwaffiq.
SIAPAKAH AHLI BAIT?
Telah terjadi silang pendapat di kalangan
ulama tentang siapakah ahli bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pendapat yang shahih, ahli bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah yang diharamkan bagi mereka shodaqoh. Mereka adalah istri-istri
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keturunannya, serta seluruh kaum
muslimin dan muslimah dari keturunan Abdul Muthalib dan keturunan Bani
Hasyim bin Abd Manaf, Allahu a’lam
Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata :
“Telah terlahir Syaibah untuk Hasyim bin Abd Manaf dan dia adalah Abdul
Muthalib, pada dirinyalah patokan kemuliaan. Tidak tersisa keturunan
dari Bani Hasyim kecuali dari Abdul Mutholib saja” [Jamharoh Ansab
Al-Arob hal. 14][1]
KEUTAMAAN AHLI BAIT[2]
1. Allah Telah Menyucikan Mereka
Imam Muslim telah meriwayatkan dari jalan
Aisyah Radhiyallahu ‘anha. Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah keluar, kemudian datang Hasan bin Ali Radhiyallahu ‘anhuma dan
memasukkannya bersamanya, kemudian datang Husain dan beliau memasukkanya
pula, kemudian datang Fathimah Radhiyallahu ‘anhuma dan beliau
memasukkan bersamanya, kemudian datang Ali Radiyallahu ‘anhuma dan
beliau memasukkannya pula, kemudian beliau membaca ayat.
“Artinya : … Sesungguhnya Allah bermaksud
untuk menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan
kamu sebersih-bersihnya” [Al-Ahzab : 33]
2. Pilihan Allah
Nasab ahlul bait merupakan nasab yang paling mulia, karena dari keturunan orang-orang pilihan. Cermatilah hadits berikut.
“Artinya : Dari Watsilah bin Asyqo
Radhiyallahu ‘anhu berkata : Aku mendengar Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah memilih Kinanah dari
keturunan Isma’il dan Allah memilih Quraisy dari keturunan Kinanah.
Allah memilih Bani Hasyim dari Quraisy dan Allah memilih aku dari
keturunan Bani Hasyim” [HR Muslim : 2276]
3. Berhak Mendapat Seperlima Harta Ghonimah Dan Harta Fa’i[3]
Allah berfirman.
Allah berfirman.
“Artinya : Ketahuilah, sesungguhnya apa
saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya
seperlima untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan ibnu sabil” [Al-Anfal : 41]
Firman Allah tentang harta fa’i.
“Artinya : Apa saja harta rampasan fa’i
yang diberikan Allah kepada rasul-Nya yang berasal dari penduduk
kota-kota maka adalah untuk Allah, rosul, kerabat rosul, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang dalam
perjalanan…[Al-Hasyr : 7]
4. Tidak Halal Meneriman Shadaqah
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya shadaqah itu tidak pantas bagi keluarga Muhammad, hanyalah shadaqah itu untuk orang-orang yang kotor”[4] [HR Muslim : 1072]
5. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Berwasiat Kepada Mereka
Imam Muslim telah meriwayatkan dari jalan
Yazid bin Hayyan dia berkata : Aku pernah pergi bersama Husain bin
Sabroh dan Umar bin Muslim menuju rumah Zaid bin Arqom Radhiyallahu
‘anhu. Tatkala kami telah duduk di sisinya, Husain berkata : “Wahai
Zaid, sungguh engkau telah meraih kebaikan yang banyak, engkau telah
melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar hadits-hadits
beliau, pernah berperang bersama beliau, dan shalat dibelakang beliau.
Sungguh engkau telah meraih kebaikan yang banyak, ceritakanlah kami
hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wahai Zaid!”. Zaid
Radhiyallahu ‘anhu menjawab : “Wahai anak saudaraku, demi Allah aku
sekarang sudah tua, masaku telah lewat, aku pun telah lupa sebagian yang
aku hafal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaih wa sallam maka apa yang
aku ceritakan kepadamu terimalah, dan apa yang tidak aku ceritakan maka
janganlah kalian mebebaniku”. Kemudian Zaid berkata : Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah di hadapan kami pada
suatu hari, beliau memuji Allah, menasehati, dan setelah itu beliau
bersabda : “Ketahuilah wahai sekalian manusia, aku hanyalah manusia
biasa, hampir datang seorang utusan Rabbku dan aku akan memenuhinya, aku
tinggalkan kalian dua pedoman, yang pertama Kitabullah, didalamnya
terdapat petunjuk dan cahaya, maka ambilah Kitabullah itu, berpegang
teguhlah. Lalu beliau melanjutkan : “Dan terhadap ahli baitku, aku
ingatkan kalian kepada Allah tentang ahli baitku”, beliau mengulang
ucapannya sampai tiga kali”. Husain berkata : “Siapa ahli bait Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, wahai Zaid? Bukankah istri-istrinya
termasuk ahli baitnya?” Zaid Radhiyallahu ‘anhu menjawab : “Ya,
istri-istri beliau termasuk ahli bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, akan tetapi ahli baitnya adalah orang-orang yang haram menerima
shadaqah setelahnya” [HR Muslim : 2408]
6. Nasab Mereka Tidak Terputus Hingga Hari Kiamat
Berdasarkan hadits.
“Artinya : Semua sebab dan nasab akan
terputus pada hari Kiamat kecuali sebabku dan nasabku” [HR Thobari dalam
Mu’jam Kabir 3/129/1, Harowi dalam Dzammul Kalam 2/108. Syaikh
Al-Albani berkata dalam Ash-Shohihah 5/64 : Kesimpulannya, hadits ini
dengan keseluruhan jalan-jalannya adalah shahih][5]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata :
“Tidak perlu diragukan wasiat untuk berbuat baik kepada ahli bait dan
pengagungan kepada mereka, karena mereka dari keturunan yang suci,
terlahir dari rumah yang paling mulia di muka bumi ini secara kebanggaan
dan nasab. Lebih-lebih apabila mereka mengikuti sunnah nabawiyyah yang
shahih, yang jelas, sebagaimana yang tercermin pada pendahulu mereka
seperti Al-Abbas dan keturunannya, Ali dan keluarga serta keturunannya,
semoga Allah meridhoi mereka semua” [Tafsir Ibnu Katsir 4/113]
ADAB KEPADA AHLI BAIT
1. Mengagungkan Mereka Dengan Pantas
Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah berada di
pertengahan dalam mencintai ahli bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam[6]. Mereka tidak berlebihan dan tidak pula merendahkan.
Pengagungan yang dilandasi dengan keadilan, tidak sekedar hawa nafsu.
Kita mengagungkan seluruh kaum muslimin dan muslimat dari keturunan
Abdul Mutholib dan para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
mencintai seluruhnya. Apabila ahli bait itu termasuk seorang sahabat,
maka kita menghormatinya karena keimanan, ketaqwaan, kebersamaannya
dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan karena termasuk keluarga
beliau. Apabila bukan termasuk shahabat maka kita mencintai karena
keimanan dan keberadaannya sebagai ahli bait.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Dan terhadap ahli baitku, aku
ingatkan kalian kepada Allah tentang ahli baitku”. Beliau mengulang
ucapannya sampai tiga kali” [HR Muslim : 24028]
Sungguh, cerminan perilaku salaf dalam mengagungkan ahli bait sangatlah tinggi. Simaklah penuturan berikut ini.
Abdullah bin Hasan bin Husain bin Ali bin
Abi Thalib pernah masuk menemui Umar bin Abdul Aziz dalam suatu
keperluan, lantas Umar bin Abdul Aziz berkata: “Apabila engkau mempunyai
kebutuhan kepadaku, maka kirimlah utusan atau tulislah surat, karena
aku malu kepada Allah apabila Dia melihatmu di depan pintu rumahku”
[Asy-Syifa 2/608, Lihat Dam’ah Ala Hubb Nabi, hal. 51]
Asy-Sya’bi berkata : “Zaid bin Tsabit
Radhiyallahu ‘anhu suatu ketika menshalati ibunya yang telah meninggal.
Ketika telah selesai, maka untanya di dekatkan kepadanya agar dinaiki.
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma kemudian datang mendekat dan mengambil
tali kekang (untuk Zaid Radhiyallahu ‘anhu). Melihat hal itu, Zaid
Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Biarkan, wahai anak paman Rasulullah”.
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma menimpali : “Demikianlah seharusnya kita
bersikap kepada ulama”. Maka Zaid Radhiyallahu ‘anhu mencium tangan
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma dan membalas : “Demikianlah kita
diperintahkan untuk berbuat kepada ahli bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam” [Asy-Sifa 2/608]
Ahlus Sunnah dalam masalah ini, merupakan
orang yang paling berbahagia dalam melaksanakan wasiat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam di atas. Mereka mencintai dan mendudukkan ahli bait
sesuai dengan proporsinya yang pantas, tidak berlebih-lebihan. Hal ini
berbeda dengan para pengekor hawa nafsu dari kalangan Rafidhah dan yang
semisalnya yang ghuluw terhadap sebagian dan merendahkan sebagian yang
lain, bahkan boleh dikata mereka mencela kebanyak ahli bait. Sebagai
contoh sikap ghuluw mereka kepada ahli bait yaitu keyakinan mereka
adanya imam dua belas, yang dimaksud Ali, Hasan, Husain dan sembilan
anak keturunan Husain!!?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata : “Orang yang paling jauh dalam melaksanakan wasiat
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas adalah orang-orang Rafidhah,
mereka memusuhi Al-Abbas Radhiyallahu ‘anhuma dan keturunannya, bahkan
boleh dikata mereka memusuhi kebanyakan ahli bait” [Majmu Fatawa 4/419]
Andaikan kita renungi dengan akal yang
jernih, niscaya setiap orang yang masih punya sedikit ilmu saja akan
memastikan bahwa ini adalah kedustaan dan bualan Rafidhah kepada para
imam, dan tentu para imam berlepas diri dari itu semua.
“Artinya : Wahai Rabb kami, janganlah
Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah engkau beri
petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi
Engkau, karena Engkau-lah yang Maha Pemberi karunia” [Ali-Imran : 8]
2. Mencintai Dan Mendo’akan Kebaikan
Berdasarkan keumuman firman Allah yang berbunyi.
“Artinya : Dan orang-orang yang datang
sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdo’a : “Ya Rabb kami,
ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu
dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami
terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau
Maha Penyantuan lagi Maha Penyayang” [Al-hasyr : 10]
Imam Bukhari telah meriwayatkan dalam
kitab shahih-nya bahwa Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu pernah berkata
kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu : “Sungguh aku lebih senang
menyambung tali kekerabatan kepada keluarga Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam daripada keluargaku sendiri” [HR Bukhari : 3712]
Masih dalam Shahih Bukhari bahwasanya Abu
Bakar Radhiyallahu ‘anhu ketika pulang dari shalat Ashar ia melihat
Hasan Radhiyallahu anhu sedang bermain-main bersama anak-anak yang lain
di jalan. Lalu Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu menggendong Hasan
Radhiyallahu ‘anhu di atas pundaknya sambil berkata “Demi bapakku yang
menjadi tebusan, Hasan lebih mirip Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dibandingkan dengan Ali Radhiyallahu ‘anhu. Mendengar hal itu Ali
Radhiyallahu ‘anhu hanya bisa tertawa” [HR Bukhari : 3542]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
berkomentar : “Hadits ini menunjukkan keutamaan Abu Bakar Radhiyallahu
‘anhu dan kecintaannya kepada kerabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam” [Fathul Bari 6/694]
Syaikhul Islam rahimahullah berkata :
“Ahlus Sunnah wal Jama’ah mencintai ahli bait dan berloyalitas kepada
mereka. Ahlus Sunnah selain menjaga wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika berkata pada hari Ghodir Khum : Aku ingatkan kalian kepada
Allah tentang ahli baitku” [Syarah Al-Aqidah Al-Washitiyyah 2/273][7]
3. Membela Dari Hujatan
Termasuk bentuk membela Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah membela ahli bait dan keluarganya, lebih-lebih
para istri beliau, khususnya Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma yang Allah
telah sucikan dirinya dari segala tuduhan. Allah berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang
membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu
kira berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu.
Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang
dikerjakannya. Dan siapa diantara mereka yang mengambil bagian yang
besar dalam penyiaran berita bohong itu baginya adzab yang besar”
[An-Nur : 11]
Imam Ibnu Hazm rahimahullah telah
membawakan sanadnya sampai kepada Hisyam bin Ammar dia berkata : Aku
telah mendengar Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Barangsiapa
yang mencela Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu ‘anhuma berhak dicambukl.
Dan barangsiapa yang mencela Aisyah Radhiyallahu ‘anha berhak dibunuh”.
Imam Malik ditanya, mengapa orang yang mencela Aisyah Radhiyallahu ‘anha
dibunuh? Beliau menjawab : “Karena Allah telah berkata tentang Aisyah
Radhiyallahu ‘anha dalam firmanNya:
“Artinya : Allah memperingatkan kamu agar
jangan kembali berbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu
orang-orang yang beriman” [An-Nur : 17]
Imam Malik rahimahullah berkata :
“Barangsiapa yang menuduh Aisyah Radhiyallahu ‘anha, sungguh ia telah
menyelisihi Al-Qur’an. Dan orang yang menyelisihi Al-Qur’an berhak
dibunuh”. Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkomentar : “Perkataan Imam
Malik ini benar, karena hal itu merupakan kemurtadan yang nyata dan
pelakunya berarti telah mendustakan Allah dalam ketegasanNya terhadap
kesucian Aisyah Radhiyallahu ‘anha” [Al-Muhalla 13/503][8]
4. Jangan Mencela
Imam Bukhari dalam kitab shahih-nya telah
menceritakan bahwasanya Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu berkata :
“Perhatikan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keluarganya”
[HR Bukhari : 3713]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
menjelaskan perkataan di atas : “Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu menghimbau
manusia dan berwsiat kepada mereka. Maksudnya adalah agar manusia
menjaga ahli bait, janganlah kalian menyakitinya dan berbuat jelek
kepada mereka” [Fathul Bari 7/101]
5. Menasehati Ahli Bait Yang Bersalah
Ketahuilah wahai saudaraku! Ahli bait
adalah manusia biasa, tidak ma’shum dan kesalahan. Mereka ada yang
shalih dan ada yang fajir. Kemulian nasab ahli bait tidak akan berarti
sama sekali apabila tidak diiringi dengan keimanan dan ketaqwaan. Karena
orang yang mulia di sisi Allah adalah orang yang beriman dan bertaqwa.
Allah berfirman.
“Artinya : …Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertaqwa diantara kamu” [Al-Hujurat : 13]
Apalah artinya status sebagai ahli bait
tetapi senang berbuat syirik, bid’ah, dan maksiat??! Tentunya tidak
berguna kemuliaan nasabnya itu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang lambat
amalannya, maka nasabnya tidak dapat mempercepat” [HR Muslim : 2699,
Ahmad 2/252, Abu Dawud : 3643, Tirmidzi : 2646, Ibnu Majah : 225, Darimi
1/99, Baghowi : 127, Ibnu Hibban : 84]
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata
: “Maknanya, bahwa amalan itulah yang menghantarkan seorang hamba
mencapai derajat akhirat. Allah berfirman.
“Artinya : Dan tiap-tiap orang memperoleh derajat-derajat seimbang dengan apa yang dia kerjakan” [Al-An’am : 132]
Maka barangsiapa yang lambat amalannya
untuk sampai pada derajat tertinggi di sisi Allah, nasabnya juga tidak
akan mempercepatnya untuk mencapai derajat tinggi tersebut, karena Allah
mengiringkan balasan itu seimbang dengan amalan, bukan dengan nasab”
[Jami’ul Ulum wal Hikam 2/308]
Akan tetapi, apabila kita melihat ahli
bait yang bersalah, nasehatilah dengan baik, karena mereka pun kaum
muslimin, berhak menerima nasehat. Nasehatilah bahwa perbuatannya
menyelisihi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pantas dikerjakan,
imbasnya akan banyak ditiru oleh manusia lantaran status ahli bait
terpandang. Nasehati dengan kelembutan, maafkan apabila bersalah.
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah ketika
berada pada hari-hari yang penuh cobaan, beliau dipukul dan diikat.
Kemudian beliau dibawa ke hadapan Khalifah Al-Watsiq. Al-Watsiq berkata :
“Lepaskan ikatan tangan Syaikh”. Tatkala ikatan telah terlepas, Imam
Ahmad rahimahullah hendak mengambilnya, Al-Watsiq pun bertanya :
“mengapa engkau hendak mengambil ikatan tali itu?”. Imam Ahmad
rahimahullah menjawab : “Karena aku berniat untuk berwasiat agar tali
ikatan ini disatukan dalam kain kafanku, hingga aku bisa menuntut balas
pada hari kiamat atas perbuatan zholim kamu”. Imam Ahmad rahimahullah
menangis dan Al-Watsiq pun menangis sambil meminta agar dihalalkan. Imam
Ahmad rahimahullah menjawab : “Sungguh aku telah memaafkanmu sejak hari
pertama siksaan ini, demi memuliakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam karena kamu termasuk keturunan ahli baitnya!!” [Siyar A’lam
An-Nubala 11/315]
6. Besholawat Kepada Mereka
Berdasarkan hadits Ka’ab bin Ujroh :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemui kami, dan kami
pun bertanya kepadanya : “Kami sudah mengetahui bagaimana mengucapkan
salam kepadamu, sekarang bagaimana kami bershalawat kepadamu?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : Ucapkanlah.
“Artinya : Ya Allah berilah shalawat
kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana engkau telah
bershalawat kepada Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha terpuji lagi Maha
Mulia. Ya Allah berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana
Engkau telah memberkahi keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha
Terpuji lagi Maha Mulia” [HR Bukhari : 4797, Muslim 4/126]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata : “Demikian pula ahli bait Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mempunyai hak-hak yang wajib dijaga. Sungguh Allah telah
menjadikan bagi mereka hak dalam seperlima harta ghonimah dan fa’i, dan
telah memerintahkan kita untuk bershalawat kepada mereka dan kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [Majmu Fatawa 3/407]
HARAMNYA MENGAKU AHLI BAIT TANPA HAK
Sungguh di zaman kita sekarang banyak
sekali dari keturunan Arab maupun orang non Arab yang mengaku dan
menyandarkan bahwa dia ahli bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di
negeri kita santer istilah Habib yang katanya mereka itu masih keturunan
Nabi Shallalahu ‘alaihi wa sallam alias ahli bait Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Kalau pengakuannya memang benar dan ia mu’min sungguh
Allah telah mengumpulkan pada dirinya antara kemuliaan iman dan
kemuliaan nasab. Akan tetapi, lain masalahnya jika pengakuannya hanya
sekedar omong kosong, maka orang yang semacam ini telah menerjang
keharaman yang besar dia bagaikan orang yang pura-pura kenyang dengan
sesuatu yang tidak diberi!! Benarlah sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang berbunyi.
“Artinya : Orang yang pura-pura kenyang
dengan apa yang tidak diberi, ibaratnya seperti orang yang memakai dua
pakaian kedustaan” [HR Muslim : 2129]
Keharaman mengaku atau menyandarkan pada
suatu kaum yang bukan haknya telah tegas dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sabdanya.
“Artinya : Tidaklah seseorang mengaku-aku
kepada bukan bapaknya sedang ia tahu, kecuali ia telah kafir[9] kepada
Allah. Dan barangsiapa yang mengaku bahwa dia termasuk kaum ini padahal
bukan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka” [HR
Bukhari : 3508, Muslim : 112]
Inilah yang dapat kami kumpulkan tentang
ahli bait, keutamaan dan adab kepada mereka. Kita memohon kepada Allah
taufiq-Nya, kefaqihan dalam agama, dan tegar di atas kebenaran.
Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Mengabulkan do’a. Semoga shalawat
dan salam tercurah kepada nabi kita Muhammad, keluarganya, dan para
shahabatnya. Amin Allahu A’lam
[Disalin dari Majalan Al-Furqon Edisi 08
Tahun VI/Robi’ul Awal 1428 [April 2007]. Rubrik Tazkiyatun Nufus.
Diterbitkan Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Alamat Maktabah Ma’had
Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]
Oleh : Ustadz Abu Abdillah Al-AtsariSumber : http://almanhaj.or.id
——————————————————————————–
[1] Lihat
dalil-dali masalah ini dalam Fadhl Ahli Bait wa Uluwwi Makanatihin inda
Ahlus Sunnah wal Jama’ah oleh Syaikh Al-Allamah Abdul Muhsin bin Hamd
Al-Abbad.
[2] Ulama
Ahlus Sunnah telah sepakat akan keutamaan ahli bait dan dibencinya
mencela mereka, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ali Al-Qari dalam Syarh
Al-Misykah 5/602
[3] Yang
dimaksud dengan rampasan perang (ghonimah) ialah harta yang diperoleh
dari orang-orang kafir dengan melalui pertempuran, sedang yang diperoleh
tidak dengan pertempuran dianamakan fa’i.
[4] Penyebab
ahli bait haram menerima shadaqah, karena ahli bait telah Allah
muliakan dan Allah sucikan dari segala kotoran. Sedangkan shadaqah untuk
membersihkan harta dan jiwa manusia. (Syarah shahih Muslim 7/178]
[5] Dalam
sebagian jalan hadits, dseibutkan bahwa hadits ini di antara salah satu
penyebab mengapa umar berkeinginan untuk menikah dengan Ummu Kultsum
binti Ali bin Abi Thalib. (Fadhl Ahli Bait hal. 62]
[6]
Kewajiban mencintai ahli bait telah ditegaskan oleh Imam Al-Baihaqi,
Al-baghowi, Asy-Syafi’i, dan lain-lain. Lihat Ihya Al-Mayyit fi Fadha’il
Ali Al-bait oleh As-Suyuthi.
[7] Dalam
tempat yang lain beliau berkata : “Demikian pula ahli bait Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, wajib mencintai mereka, berloyalitas dan
menjaga hak-hak mereka” (Majmu Fatawa 28/491)
[8] Ahkam Al-Qur’an 3/1356 oleh Ibnul Arabi, Asy-Syifa 2/267 oleh Al-Qadhi Iyadh 2/267, Ash-Shorimul Maslul hal. 571
[9] Kafir disini maknanya adalah kufur nikmat, bukan kufur akbar (besar) yang mengeluarkan pelakunya dari Islam (red).
0 komentar:
Posting Komentar