Oleh : Abu Unais Muhammad Ilham
Nasab anak zina
Anak zina pada asalnya dinasabkan kepada ibunya sebagaimana anak mula’anah dinasabkan kepada ibunya. Sebab keduanya sama-sama terputus nasabnya dari sisi bapaknya [lihat Al Mughni 9/123]. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menyatakan tentang anak zina:
لأَهْلِ أُمِّهِ مَنْ كَانُوا
Artinya: “Untuk keluarga ibunya yang masih ada…” [HR. Abu Dawud, kitab Ath-Thalaq, Bab Fi Iddi’a` Walad Az-Zina no. 2268 dan dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shohih Sunan Abu Dawud no. 1983]
Juga menasabkan anak dari Mula’anah kepada ibunya, sebagaimana dijelaskan Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma dalam penuturannya:
لأَهْلِ أُمِّهِ مَنْ كَانُوا
أَنَّ النَّبِيَّ لاَ عَنَ بَيْنَ رَجُلٍ وَامْرَأَتِهِ ، فَانْتَفَى مِنْ وَلَدِهَا ، فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا ، وَاَلْحَقَ الْوَلَدَ باِلْمَرْأَةِ
Artinya: “Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengadakan mula’anah antara seorang dengan istrinya. Lalu lelaki tersebut mengingkari anaknya tersebut dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memisahkan keduanya dan menasabkan anak tersebut kepada ibunya.” [HR. Bukhari, Kitab Ath-Thalaq, Bab Yalhaqu al-Walad Bi al-Mar`ah lihat Fathu al Baari 9/460]
Inilah salah satu konsekuensi mula’anah. Ibnu al-Qayyim ketika menjelaskan konsekuensi mula’anah menyatakan: “Hukum yang ke enam adalah terputusnya nasab anak dari sisi sang bapak, karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menetapkan untuk tidak dipanggil anak tersebut dengan nasab bapak, inilah yang benar dan ia adalah pendapat mayoritas ulama.” [Zaad al-Ma’ad 5/357]
Syaikh Musthafa Al’Adawi Hafizhahullah menyatakan: “Inilah pendapat mayoritas ulama bahwa nasab anak tersebut terputus dari sisi bapaknya karena Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam menetapkan tidak dinasabkan kepada bapaknya. Inilah pendapat yang benar.” [Jaami’ Ahkaam an-Nisaa` 4/232]
Sedangkan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah menyatakan: “Anak zina diciptakan dari sperma tanpa pernikahan, sehingga tidak dinasabkan kepada seorangpun baik kepada lelaki yang menzinahinya atau kepada suami wanita tersebut apabila ia bersuami, karena ia tidak memiliki bapak yang syar’i.” [Syarhu al-Mumti’, Tahqiq Kholid al-Musyaiqih, 4/255]
Nasab anak hasil selingkuh atau perzinahan, apabila dilihat kepada status ibunya, maka dapat dikategorikan menjadi dua :
1. Berstatus istri seorang suami.
Seorang wanita bersuami yang terbukti selingkuh kemudian melahirkan anaknya, maka tidak lepas dari dua keadaan:
1. Sang suami tidak mengingkari anak tersebut dan mengakuinya sebagai anaknya.
Apabila terlahir anak dari seorang wanita resmi bersuami dan sang suami tidak mengingkari anak tersebut, maka anak tersebut adalah anaknya, walaupun ada orang yang mengklaim itu adalah hasil selingkuh dengannya, dasarnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits A’isyah Radhiallahu’anha :
الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ
Artinya: “Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum” [HR Al-Bukhari kitab Al-Faraa’id, Bab Man idda’a Akhanat au Ibna Akhi, lihat Fathul Bari 12/52 ]
Yang dimaksud dengan kata al-Firaasy disini adalah lelaki yang memiliki istri atau budak wanita yang sudah pernah digaulinya. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anhu yang menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah bersabda:
الْوَلَدُ لِصَاحِبِ الْفِرَاشِ
Artinya: “Anak yang lahir adalah milik sang pemilik kasur (suami)” [HR al-Bukhori dalam itab al-Faraaid, Bab al-Walad Lil Firaasy Hurratan kaanat au Amatan, lihat Fathul Baari, 12/32 ]
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di Rahimahullah menyatakan: “Kapan saja seorang wanita telah menjadi firaasy baik sebagai istri atau budak wanita, lalu lahirlah darinya seorang anak, maka anak itu milik pemilik firaasy” [al-Fatawa as-Sa’diyah hal. 552]. Beliaupun menambahkan: “Dengan Firasy ini maka tidak dianggap keserupaan fisik atau pengakuan seorang dan tidak juga yang lainnya” [al-Fatawa as-Sa’diyah hal. 553].
2. Sang suami mengingkarinya
Apabila sang suami mengingkari anak tersebut, maka sang wanita (sang istri) berada dalam satu dari dua keadaan:
* Mengakui kalau itu memang hasil selingkuh atau terbukti dengan persaksian yang sesuai syari’at, maka dihukum dengan rajam dan anaknya adalah anak zina. Dengan demikian maka nasab anak tersebut dinasabkan kepada ibunya.
* Wanita itu mengingkari anak tersebut hasil selingkuh, maka pasangan suami istri itu saling melaknat (mula’anah) lalu dipisahkan dan digagalkan ikatan pernikahan keduanya selama-lamanya. Anak tersebut menjadi anak mula’anah bukan anak zina. Namun demikian tetap dinasabkan kepada ibunya.
2. Tidak menjadi istri seseorang.
Apabila wanita tersebut tidak memiliki suami, baik janda atau belum pernah menikah lalu melahirkan anak, maka anak tersebut memiliki dua keadaan:
* Bila tidak ada seorangpun yang menzinainya yang meminta anak tersebut dinasabkan kepadanya, maka hukumnya tidak dinasabkan kepada lelaki dan dinasabkan kepada ibunya.
* Bila ada yang mengaku menzinai wanita tersebut dan mengakui anak tersebut adalah anaknya, maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini dalam dua pendapat:
Pendapat pertama menyatakan Anak tersebut tidak dinasabkan kepadanya.
Inilah pendapat madzhab al-`aimah al-arba’ah (imam empat madzhab) [Lihat Ikhtiyaraat Ibnu Taimiyah, Ahmad al-Muufi 2/828] dan pendapat Ibnu Hazm dari madzhab Zhahiriyah [Lihat al-Muhalla 10/323]. Pendapat ini dirajihkan Ibnu Qudamah dalam al-Mughni.
Dasar pendapat ini adalah:
1. Sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ
Artinya: “Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum.” [HR Bukhari]
Dalam hadits yang mulia ini Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak menjadikan anak tersebut dinasabkan kepada selain suami ibunya. Menasabkan anak zina tersebut kepada lelaki pezina menyelisihi tuntutan hadits ini.
2. Hadits Abdullah bin ‘Amru yang berbunyi:
قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ فُلاَنًا ابْنِيْ عَاهَرْتُ بِأُمِّهِ فِيْ الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ دِعْوَةَ فِي اْلإِسْلاَمِ ذَهَبَ أَمْرُ الْجَاهِلِيَّةِ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ.
Artinya: “Seorang berdiri seraya berkata: ‘Wahai Rasulullah! Sungguh si Fulan ini adalah anak saya, saya dulu di zaman Jahiliyah menzinahi ibunya’. Maka Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab: ‘Tidak ada pengakuan anak dalam islam, telah hilang urusan jahiliyah. Anak adalah milik suami wanita (al-Firaasy) dan pezina dihukum’.”[HR. Abu Dawud, Kitab Ath-Thalaq, Bab Al-Walad Lil Firasy no. 2274 dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahih sunan Abu Dawud dan Shahih al-jaami’ no. 2493]
3. Sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam :
لاَ مُسَاعَاةَ فِى الإِسْلاَمِ مَنْ سَاعَى فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَقَدْ لَحِقَ بِعَصَبَتِهِ وَمَنِ ادَّعَى وَلَدًا مِنْ غَيْرِ رِشْدَةٍ فَلاَ يَرِثُ وَلاَ يُورَثُ
Artinya: “Tidak ada perzinaan dalam islam, siapa yang berzina di zaman jahiliyah maka dinasabkan kepada kerabat ahli warisnya (Ashobah) dan siapa yang mengklaim anak tanpa bukti, maka tidak mewarisi dan tidak mewariskan.” [HR. Abu Dawud no. 2264 dan di-dhoif-kan Al-Albani dalam Dho’if al-Jaami dan Syu’aib al-Arna`uth dalam tahqiq Zaad al-Ma’ad 5/382]
4. Hadits Abdullah bin ‘Amru Radhiallahu’anhu yang berbunyi :
إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَضَى أَنَّ كُلَّ مُسْتَلْحَقٍ اسْتُلْحِقَ بَعْدَ أَبِيهِ الَّذِى يُدْعَى لَهُ ادَّعَاهُ وَرَثَتُهُ فَقَضَى أَنَّ كُلَّ مَنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ يَمْلِكُهَا يَوْمَ أَصَابَهَا فَقَدْ لَحِقَ بِمَنِ اسْتَلْحَقَهُ وَلَيْسَ لَهُ مِمَّا قُسِمَ قَبْلَهُ مِنَ الْمِيرَاثِ شَىْءٌ وَمَا أَدْرَكَ مِنْ مِيرَاثٍ لَمْ يُقْسَمْ فَلَهُ نَصِيبُهُ وَلاَ يُلْحَقُ إِذَا كَانَ أَبُوهُ الَّذِى يُدْعَى لَهُ أَنْكَرَهُ وَإِنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ لَمْ يَمْلِكْهَا أَوْ مِنْ حُرَّةٍ عَاهَرَ بِهَا فَإِنَّهُ لاَ يُلْحَقُ بِهِ وَلاَ يَرِثُ وَإِنْ كَانَ الَّذِى يُدْعَى لَهُ هُوَ ادَّعَاهُ فَهُوَ وَلَدُ زِنْيَةٍ مِنْ حُرَّةٍ كَانَ أَوْ أَمَةٍ.
Artinya: “Sungguh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ingin memutuskan bahwa setiap anak yang dinasabkan setelah (meninggal) bapak yang dinasabkan kepadanya tersebut diakui oleh ahli warisnya. Lalu beliau memutuskan bahwa semua anak yang lahir dari budak yang dimilikinya (sang majikan) pada waktu digauli (hubungan suami istri), maka dinasabkan kepada yang meminta penasabannya dan anak tersebut tidak memiliki hak sedikitpun dari warisan dibagikan sebelum (dinasabkan) padanya dan warisan yang belum dibagikan maka ia mendapatkan bagiannya. Tidak dinasabkan (kepada sang bapak) apabila bapak yang dinasabkan tersebut mengingkarinya. Apabila dari budak yang tidak dimilikinya atau dari wanita merdeka yang dizinainya, maka anak tersebut tidak dinasabkan kepadanya dan tidak mewarisi walaupun orang yang dinasabkan tersebut yang mengklaimnya, karena ia anak zina baik dari wanita merdeka atau budak sahaya.” [HR Abu daud no. 2265 dan 2266 dan dihasankan al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud dan Syu’aib al-Arna`uth dalam tahqiq Zaad al-Ma’ad 5/383]
Ibnu al-Qayyim menyatakan: “Hadits ini membantah pendapat Ishaaq dan yang sepakat dengannya.” [Zaad al-Ma’ad 5/384]
5. Sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam :
أَيُّمَا رَجُلٍ عَاهَرَ بِحُرَّةٍ أَوْ أَمَةٍ فَالْوَلَدُ وَلَدُ زِنَا ، لاَ يَرِثُ وَلاَ يُوْرِثُ
Artinya: “Siapa saja yang menzinahi wanita merdeka atau budak sahaya maka anaknya adalah anak zina, tidak mewarisi dan mewariskan.” [HR At-Tirmidzi, kitab al-Fara`idh 4/428 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan At-tirmidzi dan Shohih al-Jaami’ no. 2723]
6. Ibnu Qudamah Rahimahullah menyampaikan alasannya bahwa anak zina tidak dinasabkan kepada bapaknya apabila tidak diminta penasabannya, sehingga menunjukkan anak itu tidak dianggap anak secara syar’I sehingga tidak dapat dinasabkan kepadanya sama sekali. [Al-Mughni 7/129-130 dinukil dari Ikhtiyaraat Ibnu Taimiyah 2/828]
Pendapat kedua menyatakan anak tersebut dinasabkan kepada pezina apabila ia meminta penasabannya. Inilah pendapat Ishaaq bin Rahawaih, ‘Urwah bin az-Zubeir, Sulaiman bin Yasaar dan Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Ibnu Taimiyah menyatakan: “Ada dua pendapat ulama dalam masalah pezina meminta anak zinanya dinasabkan kepadanya apabila wanita yang dizinahi tersebut tidaklah bersuami. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ
Artinya: “Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum.”
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menjadikan anak tersebut miliki suami (al-Firaasy) tidak kepada pezina. Apabila wanita itu tidak bersuami (al-Firaasy) maka tidak masuk dalam hadits ini.” [Majmu’ Fatawa 32/112-113]
Ibnu Taimiyah berargumen dengan perbuatan Khalifah Umar bin Al-Khathab sebagaimana diriwayatkan imam Malik dalam al-Muwaththa’ dengan lafadz:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ يُلِيْطُ أَوْلاَدَ الْجَاهِلِيَّةِ بِمَنِ ادَّعَاهُمْ فِي الإِسْلاَمِ .
Artinya: “Umar bin al-Khaththab Radhiallahu’anhu dahulu menasabkan anak-anak jahiliyah kepada yang mengakuinya (sebagai anak) dalam Islam.” [Al-Muwaththa’ 2/740]
Demikian juga berargumen dengan qiyas (analogi), karena bapak adalah salah satu pasangan berzina tersebut. Apabila dinasabkan kepada ibunya dan mewarisinya serta adanya nasab antara anak tersebut dengan kerabat ibunya padahal ia berzina dengan lelaki (bapaknya) tersebut. Anak itu ada dari air kedua pasangan tersebut dan berserikat padanya dan keduanya sepakat itu adalah anaknya, lalu apa yang mencegah dinasabkan anak tersebut kepada bapaknya, apabila selainnya tidak mengakuinya? Ini adalah qiyas murni [Zaad al-Ma’ad 5/381].
Yang rajih, Wallahu A’lam, adalah pendapat jumhur dengan shahihnya dalil kedua dan keempat yang merupakan dalil yang jelas menguatkan pendapat jumhur.
Ibnu al-Qayyim setelah membahas perbedaan pendapat dalam masalah ini dan menyampaikan hadits keempat dari dalil pendapat pertama, menyatakan: “Apabila hadits ini shohih maka wajib berpendapat dengan isi kandungannya dan mengambilnya. Apabila tidak (shahih) maka pendapat (yang rojih) adalah pendapat Ishaaq dan yang bersamanya.” [Zaad al-Ma’ad 5/381]
Anak Zina dan Warisan
Hukum dalam warisan anak zina dalam semua keadaannya sama dengan hukum waris anak mula’anah karena terputusnya nasab mereka dari sang bapak [Lihat al-Mughni 9/122]. Masalah waris mewaris bagi anak zina adalah bagian dari konsekwensi nasabnya.
1. Anak zina dengan lelaki yang menzinahi ibunya.
Hubungan waris mewaris antara anak zina dengan bapaknya ada dengan adanya sebab pewarisan (Sabaab al-Irts) yaitu Nasab. Ketika anak zina tidak dinasabkan secara syar’I kepada lelaki tersebut maka tidak ada waris mewarisi diantara keduannya. Dengan demikian maka anak zina tersebut tidak mewarisi dari orang tersebut dan kerabatnya dan juga lelaki tersebut tidak mewarisi harta dari anak zina tersebut.
2. Anak zina dengan ibunya
Sedangkan dengan ibunya maka terjadi saling mewarisi dan anak zina tersebut sama seperti anak-anak ibunya yang lainnya, karena ia adalah anaknya sehingga masuk dalam keumuman firman Allah Ta’ala :
يوصيكم الله في أولادكم للذكر مثل حظ الأنثيين فإن كن نساء فوق اثنتين فلهن ثلثا ما ترك وإن كانت واحدة فلها النصف ولأبويه لكل واحد منهما السدس مما ترك إن كان له ولد فإن لم يكن له ولد وورثه أبواه فلأمه الثلث فإن كان له إخوة فلأمه السدس من بعد وصية يوصي بها أو دين آباؤكم وأبناؤكم لا تدرون أيهم أقرب لكم نفعا فريضة من الله إن الله كان عليما حكيما
Artinya: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [QS. An-Nisaa` 4: 11]
Sebab anak tersebut dinasabkan kepada ibunya dan nasab adalah sebab pewarisan. Demikian juga anak zina tersebut statusnya dalam hal ini sama dengan anak mula’anah yang dijelaskan dalam hadits Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam memutuskan perkara mula’anah, Sahl bin Sa’ad Radhiallahu’anhu berkata:
فَكَانَتْ سُنَّةً أَنْ يُفَرَّقَ بَيْنَ الْمُتَلاَعِنَيْنِ وَكَانَتْ حَامِلاً ، فَأَنْكَرَ حَمْلَهَا وَكَانَ ابْنُهَا يُدْعَى إِلَيْهَا ، ثُمَّ جَرَتِ السُّنَّةُ فِى الْمِيرَاثِ أَنْ يَرِثَهَا ، وَتَرِثَ مِنْهُ مَا فَرَضَ اللَّهُ لَهَا
Artinya: “Maka menjadi sunnah memisahkan dua orang yang melakukan mula’anah. Wanitanya tersebut dalam keadaan hamil, lalu suaminya mengingkari kehamilannya dan anaknya dinasabkan kepada wanita tersebut, kemudian berlakulah sunnah dalam warisan bahwa anak tersebut mewarisi harta wanita tersebut dan wanita tersebut mewaris harta anaknya tersebut sesuai dengan ketetapan Allah” [HR Al-Bukhari, Kitab At-Tafsir no. 4746 lihat Fathul Baari 8/448 dan Muslim dalam kitab al-Li’an, lihat Syarh An-Nawawi 10/123 ]
Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata: “Seorang lelaki apabila melakukan mula’anah terhadap istrinya dan menolak anaknya dan hakim telah memisahkan antara keduanya, maka nak tersebut lepas darinya dan terputuslah hak waris mewaris dari sisi lelaki yang melakukan mula’anah tersebut, sehingga ia tidak mewarisinya dan tidak juga seorangpun ahli waris (‘Ashobah)nya. Ibunya dan dzawu al-Furudh darinya yang mewarisinya saja. Juga waris mewaris antara pasangan suami istri tersebut putus dan kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini.” [Al-Mughni 9/114]
Mahromkah anak zina terhadap keluarga lelaki yang menzinai ibunya?
Telah lalu dijelaskan menurut pendapat yang rajih adalah anak zina terputus nasab dan hak warisnya dari lelaki yang menzinai ibunya (bapaknya). Dengan dasar ini maka anak zina tersebut bukanlah mahrom bagi keluarga lelaki tersebut, sebab status mahrom didapatkan dengan tiga sebab yaitu nasab, persusuan dan perkawinan dan ketiga sebab ini tidak ada pada anak zina. Oleh karena itu ia bukanlah mahram bagi lelaki tersebut, saudara dan anak-anak lelaki tersebut yang dilahirkan dari pernikahan yang sah. Konsekuensinya seluruh hukum-hukum yang berhubungan dengan kebolehan melihat, khalwat dan safar dilarang diantara mereka.
Melihat hal ini, mungkin akan muncul pertanyaan:
Bolehkah lelaki tersebut menikahinya?
Permasalahan ini pernah ditanyakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan beliau jawab dengan penjelasan sebagai berikut: “Tidak boleh ia menikahinya menurut mayoritas ulama besar muslimin hingga imam Ahmad mengingkari adanya perbedaan pendapat dalam hal ini dikalangan salaf. Beliau menyatakan: ‘Siapa yang berbuat demikian maka dihukum bunuh’. Disampaikan kepada beliau dari Imam Maalik bahwa beliau membolehkannya, maka imam Ahmad mendustakan penukilan dari imam Maalik tersebut. Pengharaman hal ini adalah pendapat Abu Hanifah dan pengikutnya, Ahmad dan pengikutnya, Maalik dan mayoritas pengikutnya dan juga pendapat banyak dari pengikut madzhab Syafi’i. beliau juga mengingkari berita imam Syafi’I berpendapat yang berbeda dengan ini. Para ulama berkata: ‘Syafi’I hanya menyatakan tentang anak perempuan dari susuan bukan anak zna hasil perzinahannya’.” [Majmu’ Fatawa 32/143]
Ibnu Taimiyah juga ditanya tentang seorang yang menzinahi seorang wanita, lalu lelaki tersebut meninggal dunia. Apakah anak lelaki tersebut diperbolehkan menikahi wanita tersebut?
Beliau menjawab: “Ini dilarang dalam madzhab Abu Hanifah, Ahmad dan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Maalik dan dalam pendapat kedua beliau membolehkan. Dan ini juga madzhab Syafi’i.” [Majmu’ Fatawa 32/143]
Nasab anak zina
Anak zina pada asalnya dinasabkan kepada ibunya sebagaimana anak mula’anah dinasabkan kepada ibunya. Sebab keduanya sama-sama terputus nasabnya dari sisi bapaknya [lihat Al Mughni 9/123]. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menyatakan tentang anak zina:
لأَهْلِ أُمِّهِ مَنْ كَانُوا
Artinya: “Untuk keluarga ibunya yang masih ada…” [HR. Abu Dawud, kitab Ath-Thalaq, Bab Fi Iddi’a` Walad Az-Zina no. 2268 dan dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shohih Sunan Abu Dawud no. 1983]
Juga menasabkan anak dari Mula’anah kepada ibunya, sebagaimana dijelaskan Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma dalam penuturannya:
لأَهْلِ أُمِّهِ مَنْ كَانُوا
أَنَّ النَّبِيَّ لاَ عَنَ بَيْنَ رَجُلٍ وَامْرَأَتِهِ ، فَانْتَفَى مِنْ وَلَدِهَا ، فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا ، وَاَلْحَقَ الْوَلَدَ باِلْمَرْأَةِ
Artinya: “Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengadakan mula’anah antara seorang dengan istrinya. Lalu lelaki tersebut mengingkari anaknya tersebut dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memisahkan keduanya dan menasabkan anak tersebut kepada ibunya.” [HR. Bukhari, Kitab Ath-Thalaq, Bab Yalhaqu al-Walad Bi al-Mar`ah lihat Fathu al Baari 9/460]
Inilah salah satu konsekuensi mula’anah. Ibnu al-Qayyim ketika menjelaskan konsekuensi mula’anah menyatakan: “Hukum yang ke enam adalah terputusnya nasab anak dari sisi sang bapak, karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menetapkan untuk tidak dipanggil anak tersebut dengan nasab bapak, inilah yang benar dan ia adalah pendapat mayoritas ulama.” [Zaad al-Ma’ad 5/357]
Syaikh Musthafa Al’Adawi Hafizhahullah menyatakan: “Inilah pendapat mayoritas ulama bahwa nasab anak tersebut terputus dari sisi bapaknya karena Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam menetapkan tidak dinasabkan kepada bapaknya. Inilah pendapat yang benar.” [Jaami’ Ahkaam an-Nisaa` 4/232]
Sedangkan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah menyatakan: “Anak zina diciptakan dari sperma tanpa pernikahan, sehingga tidak dinasabkan kepada seorangpun baik kepada lelaki yang menzinahinya atau kepada suami wanita tersebut apabila ia bersuami, karena ia tidak memiliki bapak yang syar’i.” [Syarhu al-Mumti’, Tahqiq Kholid al-Musyaiqih, 4/255]
Nasab anak hasil selingkuh atau perzinahan, apabila dilihat kepada status ibunya, maka dapat dikategorikan menjadi dua :
1. Berstatus istri seorang suami.
Seorang wanita bersuami yang terbukti selingkuh kemudian melahirkan anaknya, maka tidak lepas dari dua keadaan:
1. Sang suami tidak mengingkari anak tersebut dan mengakuinya sebagai anaknya.
Apabila terlahir anak dari seorang wanita resmi bersuami dan sang suami tidak mengingkari anak tersebut, maka anak tersebut adalah anaknya, walaupun ada orang yang mengklaim itu adalah hasil selingkuh dengannya, dasarnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits A’isyah Radhiallahu’anha :
الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ
Artinya: “Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum” [HR Al-Bukhari kitab Al-Faraa’id, Bab Man idda’a Akhanat au Ibna Akhi, lihat Fathul Bari 12/52 ]
Yang dimaksud dengan kata al-Firaasy disini adalah lelaki yang memiliki istri atau budak wanita yang sudah pernah digaulinya. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anhu yang menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah bersabda:
الْوَلَدُ لِصَاحِبِ الْفِرَاشِ
Artinya: “Anak yang lahir adalah milik sang pemilik kasur (suami)” [HR al-Bukhori dalam itab al-Faraaid, Bab al-Walad Lil Firaasy Hurratan kaanat au Amatan, lihat Fathul Baari, 12/32 ]
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di Rahimahullah menyatakan: “Kapan saja seorang wanita telah menjadi firaasy baik sebagai istri atau budak wanita, lalu lahirlah darinya seorang anak, maka anak itu milik pemilik firaasy” [al-Fatawa as-Sa’diyah hal. 552]. Beliaupun menambahkan: “Dengan Firasy ini maka tidak dianggap keserupaan fisik atau pengakuan seorang dan tidak juga yang lainnya” [al-Fatawa as-Sa’diyah hal. 553].
2. Sang suami mengingkarinya
Apabila sang suami mengingkari anak tersebut, maka sang wanita (sang istri) berada dalam satu dari dua keadaan:
* Mengakui kalau itu memang hasil selingkuh atau terbukti dengan persaksian yang sesuai syari’at, maka dihukum dengan rajam dan anaknya adalah anak zina. Dengan demikian maka nasab anak tersebut dinasabkan kepada ibunya.
* Wanita itu mengingkari anak tersebut hasil selingkuh, maka pasangan suami istri itu saling melaknat (mula’anah) lalu dipisahkan dan digagalkan ikatan pernikahan keduanya selama-lamanya. Anak tersebut menjadi anak mula’anah bukan anak zina. Namun demikian tetap dinasabkan kepada ibunya.
2. Tidak menjadi istri seseorang.
Apabila wanita tersebut tidak memiliki suami, baik janda atau belum pernah menikah lalu melahirkan anak, maka anak tersebut memiliki dua keadaan:
* Bila tidak ada seorangpun yang menzinainya yang meminta anak tersebut dinasabkan kepadanya, maka hukumnya tidak dinasabkan kepada lelaki dan dinasabkan kepada ibunya.
* Bila ada yang mengaku menzinai wanita tersebut dan mengakui anak tersebut adalah anaknya, maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini dalam dua pendapat:
Pendapat pertama menyatakan Anak tersebut tidak dinasabkan kepadanya.
Inilah pendapat madzhab al-`aimah al-arba’ah (imam empat madzhab) [Lihat Ikhtiyaraat Ibnu Taimiyah, Ahmad al-Muufi 2/828] dan pendapat Ibnu Hazm dari madzhab Zhahiriyah [Lihat al-Muhalla 10/323]. Pendapat ini dirajihkan Ibnu Qudamah dalam al-Mughni.
Dasar pendapat ini adalah:
1. Sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ
Artinya: “Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum.” [HR Bukhari]
Dalam hadits yang mulia ini Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak menjadikan anak tersebut dinasabkan kepada selain suami ibunya. Menasabkan anak zina tersebut kepada lelaki pezina menyelisihi tuntutan hadits ini.
2. Hadits Abdullah bin ‘Amru yang berbunyi:
قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ فُلاَنًا ابْنِيْ عَاهَرْتُ بِأُمِّهِ فِيْ الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ دِعْوَةَ فِي اْلإِسْلاَمِ ذَهَبَ أَمْرُ الْجَاهِلِيَّةِ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ.
Artinya: “Seorang berdiri seraya berkata: ‘Wahai Rasulullah! Sungguh si Fulan ini adalah anak saya, saya dulu di zaman Jahiliyah menzinahi ibunya’. Maka Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab: ‘Tidak ada pengakuan anak dalam islam, telah hilang urusan jahiliyah. Anak adalah milik suami wanita (al-Firaasy) dan pezina dihukum’.”[HR. Abu Dawud, Kitab Ath-Thalaq, Bab Al-Walad Lil Firasy no. 2274 dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahih sunan Abu Dawud dan Shahih al-jaami’ no. 2493]
3. Sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam :
لاَ مُسَاعَاةَ فِى الإِسْلاَمِ مَنْ سَاعَى فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَقَدْ لَحِقَ بِعَصَبَتِهِ وَمَنِ ادَّعَى وَلَدًا مِنْ غَيْرِ رِشْدَةٍ فَلاَ يَرِثُ وَلاَ يُورَثُ
Artinya: “Tidak ada perzinaan dalam islam, siapa yang berzina di zaman jahiliyah maka dinasabkan kepada kerabat ahli warisnya (Ashobah) dan siapa yang mengklaim anak tanpa bukti, maka tidak mewarisi dan tidak mewariskan.” [HR. Abu Dawud no. 2264 dan di-dhoif-kan Al-Albani dalam Dho’if al-Jaami dan Syu’aib al-Arna`uth dalam tahqiq Zaad al-Ma’ad 5/382]
4. Hadits Abdullah bin ‘Amru Radhiallahu’anhu yang berbunyi :
إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَضَى أَنَّ كُلَّ مُسْتَلْحَقٍ اسْتُلْحِقَ بَعْدَ أَبِيهِ الَّذِى يُدْعَى لَهُ ادَّعَاهُ وَرَثَتُهُ فَقَضَى أَنَّ كُلَّ مَنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ يَمْلِكُهَا يَوْمَ أَصَابَهَا فَقَدْ لَحِقَ بِمَنِ اسْتَلْحَقَهُ وَلَيْسَ لَهُ مِمَّا قُسِمَ قَبْلَهُ مِنَ الْمِيرَاثِ شَىْءٌ وَمَا أَدْرَكَ مِنْ مِيرَاثٍ لَمْ يُقْسَمْ فَلَهُ نَصِيبُهُ وَلاَ يُلْحَقُ إِذَا كَانَ أَبُوهُ الَّذِى يُدْعَى لَهُ أَنْكَرَهُ وَإِنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ لَمْ يَمْلِكْهَا أَوْ مِنْ حُرَّةٍ عَاهَرَ بِهَا فَإِنَّهُ لاَ يُلْحَقُ بِهِ وَلاَ يَرِثُ وَإِنْ كَانَ الَّذِى يُدْعَى لَهُ هُوَ ادَّعَاهُ فَهُوَ وَلَدُ زِنْيَةٍ مِنْ حُرَّةٍ كَانَ أَوْ أَمَةٍ.
Artinya: “Sungguh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ingin memutuskan bahwa setiap anak yang dinasabkan setelah (meninggal) bapak yang dinasabkan kepadanya tersebut diakui oleh ahli warisnya. Lalu beliau memutuskan bahwa semua anak yang lahir dari budak yang dimilikinya (sang majikan) pada waktu digauli (hubungan suami istri), maka dinasabkan kepada yang meminta penasabannya dan anak tersebut tidak memiliki hak sedikitpun dari warisan dibagikan sebelum (dinasabkan) padanya dan warisan yang belum dibagikan maka ia mendapatkan bagiannya. Tidak dinasabkan (kepada sang bapak) apabila bapak yang dinasabkan tersebut mengingkarinya. Apabila dari budak yang tidak dimilikinya atau dari wanita merdeka yang dizinainya, maka anak tersebut tidak dinasabkan kepadanya dan tidak mewarisi walaupun orang yang dinasabkan tersebut yang mengklaimnya, karena ia anak zina baik dari wanita merdeka atau budak sahaya.” [HR Abu daud no. 2265 dan 2266 dan dihasankan al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud dan Syu’aib al-Arna`uth dalam tahqiq Zaad al-Ma’ad 5/383]
Ibnu al-Qayyim menyatakan: “Hadits ini membantah pendapat Ishaaq dan yang sepakat dengannya.” [Zaad al-Ma’ad 5/384]
5. Sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam :
أَيُّمَا رَجُلٍ عَاهَرَ بِحُرَّةٍ أَوْ أَمَةٍ فَالْوَلَدُ وَلَدُ زِنَا ، لاَ يَرِثُ وَلاَ يُوْرِثُ
Artinya: “Siapa saja yang menzinahi wanita merdeka atau budak sahaya maka anaknya adalah anak zina, tidak mewarisi dan mewariskan.” [HR At-Tirmidzi, kitab al-Fara`idh 4/428 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan At-tirmidzi dan Shohih al-Jaami’ no. 2723]
6. Ibnu Qudamah Rahimahullah menyampaikan alasannya bahwa anak zina tidak dinasabkan kepada bapaknya apabila tidak diminta penasabannya, sehingga menunjukkan anak itu tidak dianggap anak secara syar’I sehingga tidak dapat dinasabkan kepadanya sama sekali. [Al-Mughni 7/129-130 dinukil dari Ikhtiyaraat Ibnu Taimiyah 2/828]
Pendapat kedua menyatakan anak tersebut dinasabkan kepada pezina apabila ia meminta penasabannya. Inilah pendapat Ishaaq bin Rahawaih, ‘Urwah bin az-Zubeir, Sulaiman bin Yasaar dan Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Ibnu Taimiyah menyatakan: “Ada dua pendapat ulama dalam masalah pezina meminta anak zinanya dinasabkan kepadanya apabila wanita yang dizinahi tersebut tidaklah bersuami. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ
Artinya: “Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum.”
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menjadikan anak tersebut miliki suami (al-Firaasy) tidak kepada pezina. Apabila wanita itu tidak bersuami (al-Firaasy) maka tidak masuk dalam hadits ini.” [Majmu’ Fatawa 32/112-113]
Ibnu Taimiyah berargumen dengan perbuatan Khalifah Umar bin Al-Khathab sebagaimana diriwayatkan imam Malik dalam al-Muwaththa’ dengan lafadz:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ يُلِيْطُ أَوْلاَدَ الْجَاهِلِيَّةِ بِمَنِ ادَّعَاهُمْ فِي الإِسْلاَمِ .
Artinya: “Umar bin al-Khaththab Radhiallahu’anhu dahulu menasabkan anak-anak jahiliyah kepada yang mengakuinya (sebagai anak) dalam Islam.” [Al-Muwaththa’ 2/740]
Demikian juga berargumen dengan qiyas (analogi), karena bapak adalah salah satu pasangan berzina tersebut. Apabila dinasabkan kepada ibunya dan mewarisinya serta adanya nasab antara anak tersebut dengan kerabat ibunya padahal ia berzina dengan lelaki (bapaknya) tersebut. Anak itu ada dari air kedua pasangan tersebut dan berserikat padanya dan keduanya sepakat itu adalah anaknya, lalu apa yang mencegah dinasabkan anak tersebut kepada bapaknya, apabila selainnya tidak mengakuinya? Ini adalah qiyas murni [Zaad al-Ma’ad 5/381].
Yang rajih, Wallahu A’lam, adalah pendapat jumhur dengan shahihnya dalil kedua dan keempat yang merupakan dalil yang jelas menguatkan pendapat jumhur.
Ibnu al-Qayyim setelah membahas perbedaan pendapat dalam masalah ini dan menyampaikan hadits keempat dari dalil pendapat pertama, menyatakan: “Apabila hadits ini shohih maka wajib berpendapat dengan isi kandungannya dan mengambilnya. Apabila tidak (shahih) maka pendapat (yang rojih) adalah pendapat Ishaaq dan yang bersamanya.” [Zaad al-Ma’ad 5/381]
Anak Zina dan Warisan
Hukum dalam warisan anak zina dalam semua keadaannya sama dengan hukum waris anak mula’anah karena terputusnya nasab mereka dari sang bapak [Lihat al-Mughni 9/122]. Masalah waris mewaris bagi anak zina adalah bagian dari konsekwensi nasabnya.
1. Anak zina dengan lelaki yang menzinahi ibunya.
Hubungan waris mewaris antara anak zina dengan bapaknya ada dengan adanya sebab pewarisan (Sabaab al-Irts) yaitu Nasab. Ketika anak zina tidak dinasabkan secara syar’I kepada lelaki tersebut maka tidak ada waris mewarisi diantara keduannya. Dengan demikian maka anak zina tersebut tidak mewarisi dari orang tersebut dan kerabatnya dan juga lelaki tersebut tidak mewarisi harta dari anak zina tersebut.
2. Anak zina dengan ibunya
Sedangkan dengan ibunya maka terjadi saling mewarisi dan anak zina tersebut sama seperti anak-anak ibunya yang lainnya, karena ia adalah anaknya sehingga masuk dalam keumuman firman Allah Ta’ala :
يوصيكم الله في أولادكم للذكر مثل حظ الأنثيين فإن كن نساء فوق اثنتين فلهن ثلثا ما ترك وإن كانت واحدة فلها النصف ولأبويه لكل واحد منهما السدس مما ترك إن كان له ولد فإن لم يكن له ولد وورثه أبواه فلأمه الثلث فإن كان له إخوة فلأمه السدس من بعد وصية يوصي بها أو دين آباؤكم وأبناؤكم لا تدرون أيهم أقرب لكم نفعا فريضة من الله إن الله كان عليما حكيما
Artinya: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [QS. An-Nisaa` 4: 11]
Sebab anak tersebut dinasabkan kepada ibunya dan nasab adalah sebab pewarisan. Demikian juga anak zina tersebut statusnya dalam hal ini sama dengan anak mula’anah yang dijelaskan dalam hadits Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam memutuskan perkara mula’anah, Sahl bin Sa’ad Radhiallahu’anhu berkata:
فَكَانَتْ سُنَّةً أَنْ يُفَرَّقَ بَيْنَ الْمُتَلاَعِنَيْنِ وَكَانَتْ حَامِلاً ، فَأَنْكَرَ حَمْلَهَا وَكَانَ ابْنُهَا يُدْعَى إِلَيْهَا ، ثُمَّ جَرَتِ السُّنَّةُ فِى الْمِيرَاثِ أَنْ يَرِثَهَا ، وَتَرِثَ مِنْهُ مَا فَرَضَ اللَّهُ لَهَا
Artinya: “Maka menjadi sunnah memisahkan dua orang yang melakukan mula’anah. Wanitanya tersebut dalam keadaan hamil, lalu suaminya mengingkari kehamilannya dan anaknya dinasabkan kepada wanita tersebut, kemudian berlakulah sunnah dalam warisan bahwa anak tersebut mewarisi harta wanita tersebut dan wanita tersebut mewaris harta anaknya tersebut sesuai dengan ketetapan Allah” [HR Al-Bukhari, Kitab At-Tafsir no. 4746 lihat Fathul Baari 8/448 dan Muslim dalam kitab al-Li’an, lihat Syarh An-Nawawi 10/123 ]
Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata: “Seorang lelaki apabila melakukan mula’anah terhadap istrinya dan menolak anaknya dan hakim telah memisahkan antara keduanya, maka nak tersebut lepas darinya dan terputuslah hak waris mewaris dari sisi lelaki yang melakukan mula’anah tersebut, sehingga ia tidak mewarisinya dan tidak juga seorangpun ahli waris (‘Ashobah)nya. Ibunya dan dzawu al-Furudh darinya yang mewarisinya saja. Juga waris mewaris antara pasangan suami istri tersebut putus dan kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini.” [Al-Mughni 9/114]
Mahromkah anak zina terhadap keluarga lelaki yang menzinai ibunya?
Telah lalu dijelaskan menurut pendapat yang rajih adalah anak zina terputus nasab dan hak warisnya dari lelaki yang menzinai ibunya (bapaknya). Dengan dasar ini maka anak zina tersebut bukanlah mahrom bagi keluarga lelaki tersebut, sebab status mahrom didapatkan dengan tiga sebab yaitu nasab, persusuan dan perkawinan dan ketiga sebab ini tidak ada pada anak zina. Oleh karena itu ia bukanlah mahram bagi lelaki tersebut, saudara dan anak-anak lelaki tersebut yang dilahirkan dari pernikahan yang sah. Konsekuensinya seluruh hukum-hukum yang berhubungan dengan kebolehan melihat, khalwat dan safar dilarang diantara mereka.
Melihat hal ini, mungkin akan muncul pertanyaan:
Bolehkah lelaki tersebut menikahinya?
Permasalahan ini pernah ditanyakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan beliau jawab dengan penjelasan sebagai berikut: “Tidak boleh ia menikahinya menurut mayoritas ulama besar muslimin hingga imam Ahmad mengingkari adanya perbedaan pendapat dalam hal ini dikalangan salaf. Beliau menyatakan: ‘Siapa yang berbuat demikian maka dihukum bunuh’. Disampaikan kepada beliau dari Imam Maalik bahwa beliau membolehkannya, maka imam Ahmad mendustakan penukilan dari imam Maalik tersebut. Pengharaman hal ini adalah pendapat Abu Hanifah dan pengikutnya, Ahmad dan pengikutnya, Maalik dan mayoritas pengikutnya dan juga pendapat banyak dari pengikut madzhab Syafi’i. beliau juga mengingkari berita imam Syafi’I berpendapat yang berbeda dengan ini. Para ulama berkata: ‘Syafi’I hanya menyatakan tentang anak perempuan dari susuan bukan anak zna hasil perzinahannya’.” [Majmu’ Fatawa 32/143]
Ibnu Taimiyah juga ditanya tentang seorang yang menzinahi seorang wanita, lalu lelaki tersebut meninggal dunia. Apakah anak lelaki tersebut diperbolehkan menikahi wanita tersebut?
Beliau menjawab: “Ini dilarang dalam madzhab Abu Hanifah, Ahmad dan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Maalik dan dalam pendapat kedua beliau membolehkan. Dan ini juga madzhab Syafi’i.” [Majmu’ Fatawa 32/143]
0 komentar:
Posting Komentar