Tafsir Ayat:
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“… Dan Kami turunkan kepadamu
al-Qur’an, agar kamu (Nabi) menerangkan kepada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. an-Nahl [16]: 44)
Al-Qur’an dan as-Sunnah adalah dua wahyu
yang tidak bisa dipisahkan. Barangsiapa berpegang pada salah satunya
saja dengan meninggalkan yang lain, sungguh dia telah tersesat.
Ironisnya, ada sebagian kalangan yang merasa cukup dengan al-Qur’an,
tidak mau mengambil as-Sunnah. Merekalah kaum Qur’aniyyun alias Inkarus
Sunah.
Syaikh Abdul Wahhab bin Abdul Jabbar ad-Dahlawi rohimahulloh
berkata: “Musibah yang menimpa kaum muslimin pada zaman sekarang ialah
tersebarnya kelompok yang berpegang hanya kepada al-Quran dan menolak
hadits Nabi shollallohu alaihi wa sallam yang mutawatir.
Musibah ini melanda negeri-negeri Islam, khususnya India. Mereka
mempunyai organisasi yang menamakan dirinya “Ahlu al-Qur’an”. Mereka
sebarkan pemahaman ini lewat tulisan, brosur, dan majalah India. Akan
tetapi, mereka telah dibantah oleh para ulama India, seperti Syaikh
as-Sayid Sulaiman an-Nadawi rohimahulloh.” (lihat Tahqiq Ma’na as-Sunnah oleh an-Nadawi: 24).
Betapa banyak ayat al-Qur’an yang butuh
penjelasan dari as-Sunnah, seperti ayat sholat, zakat, dan lainnya. Ayat
di atas (QS. an-Nahl [16]: 44) menjadi rujukan kami untuk menjelaskan
betapa pentingnya kita berpegang kepada as-Sunnah. Mustahil kita bisa
mengamalkan al-Qur’an tanpa keterangan dari sunnah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam.
TAFSIR AYAT
Syaikh al-Albani rohimahulloh berkata: “Yang dapat saya pahami dari ayat ini ada dua keterangan:
- 1. Penjelasan lafazh dan tata letaknya, yaitu beliau shollallohu alaihi wa sallam tidak menyembunyikannya, tetapi menyampaikan kepada umatnya (lihat surat al-Ma’idah [5]:67). Aisyah rodhiyallohu anha berkata: ‘Barangsiapa menuduh bahwa Muhammad shollallohu alaihi wa sallam menyimpan sedikit saja dari ayat Alloh, sungguh orang (penuduh) ini adalah yang paling besar dustanya di sisi Alloh’ (HR. Muslim 1/159)
- 2. Beliau shollallohu alaihi wa sallam menjelaskan makna lafazh dan makna secara umum atau menerangkan makna ayat yang menjadi kebutuhan umatnya. Terutama apabila ayat itu bersifat global, umum, atau mutlak, maka as-Sunnah menerangkan yang masih global, mengkhususkan yang umum, dan mentaqyid yang mutlak, baik lewat perkataan, perbuatan, atau ketetapan beliau tatkala melihat sahabatnya berbuat.” (Manzilatus Sunnah fil Islam oleh al-Albani: 4)
Syaikh Sulaiman an-Nadawi rohimahulloh
berkata: “Berdasarkan ayat ini, apabila para sahabat tidak memahami
suatu ayat, mereka segera merujuk maknanya kepada Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam. Apabila ada suatu peristiwa, mereka menyampaikan kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallam untuk
mendapatkan penjelasan dan pelajaran yang belum didapatkan sebelumnya.
Misalnya puasa, al-Qur’an tidak menjelaskan hukum orang berpuasa apabila
dia lupa makan dan minum, tetapi Nabi shollallohu alaihi wa sallam
menjelaskan puasanya tetap sah, karena orang lupa dan keliru tidak
dihukum sebagaimana disebutkan di dalam surat al-Ahzab [33]: 5.” (Tahqiq
Ma’na as-Sunnah wa Bayanul Hajati Ilaiha oleh Sulaiman an-Nadawi: 29-30
ta’liq wa tahrij al-Albani dkk.)
FAIDAH AYAT
Ayat ini mendapat perhatian serius dari para ulama Sunnah. Dari keterangan mereka dapat kita ambil beberapa faedah:
1. Para sahabat rodhiyallohu anhum mengerti al-Qur’an karena menerima keterangan dari Nabi shollallohu alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berkata: “Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam mengajarkan makna al-Qur‘an kepada para sahabat dan lafazhnya. Abu Abdirrohman as-Sulami rohimahulloh berkata: ‘Orang yang membaca al-Qur’an seperti Utsman bin Affan dan Ibnu Mas’ud rodhiyallohu anhuma bercerita kepada kami, apabila mereka belajar dari Nabi shollallohu alaihi wa sallam
sepuluh ayat, tidaklah melanjutkannya sehingga mereka betul-betul
paham, mengerti, dan mengamalkannya” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah
13/331)
2. Imam Syafi’i berkata: “Ayat
ini menjadi dalil, sabda Nabi shollallohu alaihi wa sallam merupakan
penjelas al-Qur’an.” (al-Mahsul 3/513)
Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rohimahulloh berkata: “Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam
menjelaskan al-Qur’an kepada mereka dengan keterangan yang lengkap.
Jika tidak mengerti, para sahabat segera bertanya kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallam lalu beliau segera menjelaskannya.” (I’lamul Muwaqqi’in 4/153)
3. Ayat ini membantah Qur’aniyyun.
Imam Ibnu Hazm rohimahulloh
berkata: “Di dalam al-Qur’an banyak ayat yang mujmal (global) seperti
sholat, zakat, haji, dan lainnya, yang tidak kita ketahui apa yang harus
kita kerjakan. Akan tetapi, dengan keterangan Nabi shollallohu alaihi
wa sallam kita menjadi tahu. Oleh karena itu, apabila keterangan beliau
ini dapat dipercaya penukilannya maka batallah orang yang beralasan
dengan dalil al-Qur’an saja….” (al-Ihkam 1/78)
4. Wajib menerima hadits ahad yang shohih.
Al-Amidi rohimahulloh berkata:
“Risalah yang sampai kepada kita adakalanya mutawatir dan (ada-kalanya)
ahad, sedangkan yang mutawatir hanya sedikit; maka jika hadits ahad
ditolak, tentulah tidak akan terwujud fungsi beliau shollallohu alaihi wa sallam sebagai penyampai risalah untuk semua lapisan manusia, dan ini mustahil karena Alloh subhanahu wa ta’ala menyuruh Nabi shollallohu alaihi wa sallam menjelaskan ayat kepada mereka (lihat QS. an-Nahl [16]: 44).” (al-Ihkam 2/68, oleh al-Amidi)
5. Ingkar as-Sunnah sesat dan jahil.
Imam Ibnu Abdil Bar rohimahulloh berkata: “Tidak mungkin memahami maksud ayat al-Qur’an melainkan lewat Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam.
Belumkah kamu membaca firman-Nya dalam surat an-Nahl [16]: 44? Belumkah
kamu ketahui bahwa sholat, zakat, haji, puasa, dan semua hukum di dalam
al-Qur’an umumnya masih global? Lalu Nabi shollallohu alaihi wa sallam menjelaskan hukumnya. Barangsiapa menolak hadits yang shohih, dia sesat dan jahil.” (at-Tamhid 23/324)
6. Keterangan Nabi shollallohu alaihi wa sallam tentang ayat al-Qur’an berdasarkan wahyu.
Aisyah rodhiyallohu ‘anha berkata: “Tidaklah Nabi shollallohu alaihi wa sallam menafsirkan
ayat al-Qur’an sedikitpun melainkan karena Jibril alaihissalam
mengajarkan kepada beliau.” (ats-Tsiqqot Ibnu Hibban 7/395)
7. As-Sunnah untuk mengetahui halal dan harom.
Mujahid rohimahulloh berkata: “Makna ayat tersebut, agar Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam menjelaskan yang halal dan yang harom kepada manusia.” (ad-Durrul Mantsur 5/133)
8. As-Sunnah pelengkap keterangan al-Qur’an.
Ibnu Rojab rohimahulloh berkata: “Tidaklah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam
meninggal dunia melainkan setelah sempurna menjelaskan al-Qur’an
kepada umatnya, sebagaimana keterangan surat an-Nahl [16]: 44.”
MAKNA AS-SUNNAH
Sering kita dengar terucap perkataan:
“Fulan di atas Sunnah”, “Mari kita berpegang kepada as-Sunnah”, dan
perkataan lain yang serupa. Agar kita tidak salah menafsirkan makna
as-Sunnah dan siapakah ahlinya, mari kita ikuti pembahasannya.
As-Sunnah ada dua macam: (1) sunnah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam (2) sunnah para sahabatnya shollallohu alaihi wa sallam. Nabi shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
“Maka wajib atasmu berpegang dengan
sunnahku (petunjukku) dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang mendapat
petunjuk dan menunjukkan jalan yang haq.” (HR. Abu Dawud: 3991,
bersumber dari al-’Irbadh bin Sariyah rodhiyallohu anhu; dishohihkan
oleh al-Albani dalam Shohih Sunan Abi Dawud, lihat pula Shohihul Jami’:
2549)
PENGAMBILAN KALIMAT “AS-SUNNAH”
Sulaiman an-Nadwi rohimahulloh berkata: “Sebagian orang jahil berkata bahwa kalimat as-Sunnah diambil dari kata masnat
bahasa Ibrani, artinya orang Yahudi meninggalkan Taurot karena
berpegang kepada riwayat Isra’iliyyah, sedangkan orang Islam
meninggalkan al-Qur‘an karena berpegang kepada hadits Nabi shollallohu alaihi wa sallam lalu menamakannya as-Sunnah. Hal ini tidak benar, karena as-Sunnah diambil dari ayat al-Qur’an, bukan dari bahasa Ibrani.
وَلاَ تَجِدُ لِسُنَّتِنَا تَحْوِيلاً
…. Dan tidaklah akan kamu dapati perubahan bagi sunnah (ketetapan) Kami itu. (QS. al-Isro’ [17]: 77).” (Tahqiq Ma’na as-Sunnah wa Bayanul Hajati Ilaiha oleh Sulaiman an-Nadawi: 70)
Kami tambahkan, diambil pula dari sabda Nabi shollallohu alaihi wa sallam sebagaimana keterangan hadits di atas.
“AS-SUNNAH” MENURUT BAHASA
Abul Qosim al-Ashbahani rohimahulloh berkata: “Ahli bahasa berkata as-sunnah ialah jalan yang ditempuh.” (al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah 2/384)
“Sunnah” menurut bahasa ini bersifat
umum, ada sunnah hasanah dan ada yang sayyi’ah, sebagaimana keterangan
hadits masyhur yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan lainnya.
MAKNA “AS-SUNNAH” YANG SEMPURNA
Imam Ibnu Rojab rohimahulloh berkata: “As-Sunnah meliputi berpegang kepada sunnah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam
dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin dari sisi i’tiqod, amalan, dan
perkataan. Inilah as-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu, ulama salaf
dahulu tidaklah menamai as-Sunnah melainkan bila mencakup ini semua.”
(Jami’ul Ulum wal Hikam: 28)
Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berkata:
“As-Sunnah ialah amalan yang berdasarkan dalil syar’i, menaati Alloh dan
Rosul-Nya; (pada) perkara yang diamalkan oleh Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam
atau diamalkan pada zamannya, yang beliau tinggalkan atau tidak
diamalkan pada zamannya karena tidak ada keharusan pada waktu itu atau
adanya hambatan, jika ada dalil bahwa beliau memerintahkan atau
menganjurkan maka itulah sunnah.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah
21/317-318)
Jadi harus dibedakan dengan makna
“sunnah” menurut ahli fiqih yang meninjau dari sisi hukum, bahwa sunnah
adalah amalan yang bukan wajib; seperti sholat sunnah, puasa sunnah,
dan contoh lainnya.
BEDA “AL-HADITS” DAN “AS-SUNNAH”
Sulaiman an-Nadwi rohimahulloh
berkata: “Al-Hadits ialah riwayat yang menerangkan perkataan,
perbuatan, dan tingkah laku Nabi Muhammad shollallohu alaihi wa sallam.
Sedangkan as-Sunnah ialah pengamalan hadits dan al-Qur’an yang sampai
kepada kita dengan riwayat yang mutawatir, baik mutawatir lafzhi atau
amali, yang dilanjutkan oleh para sahabat, tabi’in, dan generasi
sesudahnya; seperti perintah sholat di dalam al-Qur’an lalu diperjelas
oleh Nabi shollallohu alaihi wa sallam dengan sabda beliau: ‘Sholatlah
kalian seperti kamu melihatku sholat’ dan amalan sholat ini dilanjutkan
oleh para sahabat, tabi’in, dan semua kaum muslimin. Demikian pula
puasa, zakat, haji, dan semua perintah lainnya.” (Tahqiq Ma’na
as-Sunnah wa Bayanul Hajati Ilaiha oleh Sulaiman an-Nadwi: 52, 56)
MAKNA “AS-SUNNAH AN-NABAWIYAH”
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: “As-Sunnah
an-Nabawiyyah ialah yang dinukil dari Nabi shollallohu alaihi wa sallam
berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapan beliau. Mengamalkan
as-Sunnah wajib, sebagaimana mengamalkan al-Qur’an.” (at-Tamassuk bi
Sunnah an-Nabawiyyah wa Atsaruhu: 6, Ibnu Utsaimin)
SIAPAKAH AHLI AS-SUNNAH?
Abul Qosim al-Ashbahani rohimahulloh
berkata: “Fulan dikatakan ahli Sunnah apabila mengamalkan al-Qur’an,
as-Sunnah, dan atsar dalam segi i’tiqod, perbuatan, maupun perkataan.
Ahli Sunnah bukanlah orang yang menyelisihi Alloh subhanahu wa ta’ala
dan Nabi shollallohu alaihi wa sallam” (al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah
2/384)
Ulama salaf berkata: “Ahli Sunnah
mengamalkan al-Qur’an dan as-Sunnah serta beramal seperti
salafush-sholih dan mengikuti atsar para sahabat rodhiyallohu anhum.”
(al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah 2/428)
HADITS YANG SHAHIH ITULAH “AS-SUNNAH”
Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berkata:
“Maka wajib dibedakan antara hadits shohih dan hadits palsu.
Sesungguhnya as-Sunnah adalah hadits yang shohih, bukan hadits yang
lemah.” (Majmu’ Fatawa 3/380)
Bila “as-Sunnah” menjadi landasan hukum ?
Syaikh al-Albani rohimahulloh berkata:
‘As-Sunnah menjadi landasan hukum apabila datang berdasarkan ilmu dan
sanad shohih yang dikenal oleh ulama hadits dan perowinya.” (Manzilatus
Sunnah fil Islam: 5)
Dari keterangan di atas, kita dapat
membedakan makna “sunnah” menurut bahasa dan istilah, kapan boleh
dijadikan hujjah dan diamalkan, dan kapan seseorang berhak disebut “ahli
Sunnah”.
PENYEBAB INGKAR SUNNAH
Orang mengingkari as-Sunnah tentunya memiliki sebab dan tujuan. Inilah di antaranya:
- Membenci Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi dan rosul. Ini berawal dari kelompok Yahudi yang tidak senang kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallam.
- Agar manusia bebas berpikir dan berbuat menuruti hawa nafsunya, tidak terikat dengan ketentuan as-Sunnah.
- Karena kebodohannya, tidak mau menuntut ilmu kepada ahlinya.
- Memusuhi Islam dengan cara yang halus lewat mulut mereka. Mustahil mereka membela Islam kalau membenci as-Sunnah.
- Memecah belah persatuan dan kekuatan kaum muslimin. Apabila al-Qur’an ditafsirkan dengan as-Sunnah dan pemahaman sahabat rodhiyallohu anhum kaum muslimin menjadi kuat dan bersatu.
- Memberi peluang musuh Islam agar bisa bersikap keras kepada kaum muslimin. Sebaliknya, mereka menjadikan umat Islam bersikap .lembut terhadap pemeluk agama lain, bersabar, dan suka memaaf-kan bila Yahudi atau Nasrani bersalah kepada kaum muslimin.
Imam Ahmad berkata: “Barangsiapa menolak hadits Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam maka dia di ambang pintu kehancuran.”
AS-SUNNAH ADALAH WAHYU ALLAH
Setelah kita memahami makna as-Sunnah
an-Nabawiyyah, ketahuilah bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah adalah dua wahyu
yang tidak boleh dipisahkan. Dalil yang menerangkan bahwa as-Sunnah
an-Nabawiyyah termasuk wahyu:
وَأَنزَلَ اللّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ
Dan (juga karena) Alloh telah menurunkan Kitab dan Hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui… (QS. an-Nisa‘ [4]: 113)
Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir berkata: “Al-Hikmah ialah Sunnah.” (Tafsir Ibnu Katsir 1/555, Tafsir ath-Thobari 3/274)
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
Dan tiadalah yang diucapkannya (Nabi
Muhammad shollallohu alaihi wa sallam) itu menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya). (QS. an-Najm [53]: 3-4)
AL-QUR’AN MENGAGUNGKAN AS-SUNNAH
Perlu kami sampaikan dalil dari ayat
al-Qur‘an tentang wajibnya mengagungkan dan mengamalkan as-Sunnah. Orang
yang berpegang kepada al-Qur’an harus berpegang kepada ayat yang
menjelaskan keharusan berpegang kepada as-Sunnah pula. Jika tidak
demikian, tidaklah benar pengakuan mereka berpegang kepada ayat
al-Qur’an. Inilah dalilnya:
1. Alloh subhanahu wa ta’ala memerintahkan supaya menaati Nabi shollallohu alaihi wa sallam.
وَأَطِيعُواْ اللّهَ وَالرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan taatilah Alloh dan Rosul, supaya kamu diberi rohmat. (QS. Ali lmron[3]:132)
2. Alloh subhanahu wa ta’ala. menyifati
seseorang sebagai mu’min bila taat kepada Nabi shollallohu alaihi wa
sallam. (Lihat QS. al-Anfal [8]: 1, an-Nisa’ [4]: 63)
3. Alloh subhanahu wa ta’ala. menjelaskan
bahwa di antara batalnya amal ialah karena tidak taat kepada Nabi
shollallohu alaihi wa sallam. (Lihat QS. Muhammad [47]: 33)
4. Orang yang tersesat ialah orang yang durhaka kepada Rosul-Nya. (Lihat QS. al-Ah-zab [33]: 36)
5. Orang yang tidak taat kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallam masuk neraka. (Lihat QS. al-Jin [72]: 32)
6. Alloh subhanahu wa ta’ala menjadikan Nabi shollallohu alaihi wa sallam sebagai uswatun hasanah. (Lihat QS. al-Ahzab [33]: 21)
7. Al-Qur”an menerangkan wajibnya kita berpegang kepada sunnah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam.
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
…. Apa yang diberikan Rosul kepadamu maka
terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah….
(QS. al-Hasyr[59] :7)
8. Al-Qur’an mewajibkan berhukum dengan as-Sunnah. (Lihat QS. an-Nur [24]: 48, 51)
Qur’aniyyun hendaknya menerima ketetapan
ayat di atas, dan harus berpegang kepada as-Sunnah. Jika tidak, jawablah
pertanyaan Alloh subhanahu wa ta’ala di bawah ini:
فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَهُ يُؤْمِنُونَ
Maka kepada perkataan apakah selain al-Qur’an ini mereka akan beriman? (QS. al-Mursalat [77]: 50)
Dalil dari Sunnah Nabawiyyah yang
mewajibkan kita berpegang dan mengamalkan sunnah beliau shollallohu
alaihi wa sallam banyak sekali. Di antaranya:
1. Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
“Adapun sesudahnya, maka sebaik-baik
perkataan adalah kitab Alloh dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
Muhammad shollallohu alaihi wa sallam.” (HR. Muslim: 1435)
2. Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
“Demi Dzat yang diriku ada di
tangan-Nya! Tidaklah salah satu di antara kamu beriman sehingga aku
lebih disenanginya melebihi orangtua dan anaknya.” (HR. Bukhori: 13)
4. Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
“Demi Alloh, saya tidak menjumpai
salah satu di antara kamu ada di ternpat tidurnya, lantas datang
kepadanya perintahku atau laranganku, lalu dia berkata: ‘Saya tidak
tahu, yang kami jumpai dari al-Qur’an itulah yang kami amalkan.’” (HR. Ibnu Majah: 13, dishohihkan oleh al-Albani 1/14, bersumber dari Rofi’
Abu Bakar rodhiyallohu anhu berkata:
“Tidaklah yang diamalkan oleh Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam
melainkan aku mengamalkannya. Sungguh aku takut apabila meninggalkan
sebagian perintahnya, aku menjadi orang yang berpaling dari sunnahnya.”
(al-Ibanah 1/246)
FAIDAH BERPEGANG KEPADA AS-SUNNAH
Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata: Di antara faedah berpegang kepada as-Sunnah dan atsar yang terpuji ialah sebagai berikut:
- Orang yang bepegang kepada as-Sunnah menjadi imam dan panutan yang baik, jauh dari kesalahan. Berbeda halnya dengan orang yang taklid kepada salah seorang pemimpin, jelas banyak kesalahannya. Jika kamu ditanya: “Mana dalilmu?” Jawablah: “Ini adalah sunnah Rosululloh atau sabda Nabi shollallohu alaihi wa sallam.”
- Berakhlak seperti akhlak Nabi shollallohu alaihi wa sallam, karena beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia dan beliau ditakdirkan berakhlak mulia.
- Berpegang kepada as-Sunnah menjadikan seseorang bersifat tengah-tengah, umat pun menjadi baik, tidak berlebih-lebihan dalam menyenangi Nabi shollallohu alaihi wa sallam dan tidak menghina atau meremehkan beliau, karena Dinulloh (agama Alloh) itu dinul wasath atau tengah-tengah….
- Orang yang berpegang kepada as-Sunnah menyeru manusia dengan penuh rohmat, lembut, dan kasih sayang lagi ramah….
(Diringkas dari at-Tamassuk bi Sunnah an-Nabawiyyah wa Atsaruhu oleh Ibnu Utsaimin: 17-20)
Kami tambahkan, berpegang kepada
as-Sunnah memperkecil perselisihan serta mempererat persaudaraan dan
persatuan, karena ulama berbeda-beda di dalam keilmuan dan pemahaman,
seperti yang dijelaskan oleh Alloh subhanahu wa ta’ala:
وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ
…. Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada Dzat yang Maha Mengetahui. (QS. Yusuf [12]: 76)
Bagi orang awam, apabila tidak paham
hendaknya merujuk dan menanyakan kepada ahlinya, yaitu Nabi shollallohu
alaihi wa sallam dan orang yang berpegang kepada sunnah beliau,
sebagaimana dijelaskan di dalam QS. an-Nahl [16]: 43.
SIKAP ULAMA TERHADAP “INGKARUS SUNNAH”
1. Dilarang bergaul dan mengambil ilmu mereka
Ibnu Mas’ud rodhiyallohu anhu berkata:
”Kalian akan menjumpai suatu kaum, mereka mengaku mengajak kamu kepada
kitab Alloh, padahal mereka membuang al-Qur’an ke balik punggung
mereka. Maka kalian wajib berpegang kepada ilmu, jauhkan dirimu dari
perkara bid’ah, jauhkan dirimu dari mendalami perkara (berlebihan) , dan
kamu wajib berpegang kepada Sunnah.” (Sunan ad-Darimi 1/66)
Umar bin Khoththob rodhiyallohu anhu
berkata: “Janganlah kamu bergaul dengan orang yang mengandalkan
pendapatnya. Sesungguhnya mereka musuh Sunnah. Mereka menolak hadits
yang mereka hafal, (lantas) berpegang kepada pendapatnya. Mereka sesat
dan menyesatkan (lihat al-Lalikai 1/123)
2. Wajib mendakwahi mereka agar kembali kepada Sunnah dan menjelaskan bahayanya sesuai dengan keterangan di atas
Ibnu Abbas rodhiyallohu anhuma berkata:
“Hampir saja diturunkan kepada kalian hujan batu dari langit, (ketika)
saya berkata ‘Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda’
sedangkan kamu (membantah) berkata ‘Abu Bakar dan Umar berkata
demikian’.” (Syarh Kitab Tauhid 1/482)
3. Mereka penyesat umat
Abu Qilabah rohimahulloh berkata: “Jika
kamu menyampaikan as-Sunnah kepada seseorang lalu dia berkata
‘Tinggalkan as-Sunnah, mana dalil al-Qur’an?’ Ketahuilah, dia sesat”.
(Thobaqot Ibnu Sa’ad 7/I84)
4. Mereka itu Abu Jahal pada zaman sekarang.
Imam adz-Dzahabi rohimahulloh berkata:
“Apabila kamu melihat ahli kalam dan orang ahli bid’ah berkata
‘Tinggalkan al-Qur’an dan hadits ahad, bawakan akal’. Ketahuilah, dia
Abu Jahal…” (Siyar A’lamin Nubala’ 4/472)
5. Mereka di ambang pintu kehancuran
Imam Ahmad rohimahulloh berkata:
“Barangsiapa menolak hadits Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam maka
dia di ambang pintu kehancuran.” (Thobaqotul Hanabilah 2/15, al-Ibanah
1/260)
6. Mereka penyembah hawa nafsu
Imam al-Barbahari rohimahulloh berkata:
“Jika kamu mendengar seseorang mencela atsar atau menolak atsar atau
ingin selain atsar, curigailah keislamannya. Tidak diragukan, dialah
penyembah hawa nafsu, ahli bid’ah.” (Syarhus Sunnah: 51)
Abul Qosim al-Ashbahani rohimahulloh
berkata: “Ahli Sunnah dari ulama salaf berkata: ‘Apabila ada orang yang
mencela atsar maka harus dicurigai keislamannya” (al-Hujjah fi Bayanil
Mahajjah 2/428)
7. Tidak diajak bicara, bila hal itu ada maslahatnya.
Ibnu Sirin rohimahulloh pernah
menceritakan hadits Nabi shollallohu alaihi wa sallam kepada seseorang,
lalu orang itu berkata: “Akan tetapi, fulan berkata demikian
demikian.” Lalu Ibnu Sirin rohimahulloh menjawab: “Aku menceritakan
hadits dari Nabi shollallohu alaihi wa sallam lantas kamu berkata ‘Fulan
bicara demikian’, tak perlu saya bicara denganmu selamanya.” (Sunan
ad-Darimi: 442)
Umar bin Khoththob rodhiyallohu anhu
tidak mengajak bicara anaknya yang bernama Bilal ketika melarang wanita
masuk masjid padahal Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam
membolehkannya (lihat Shohih Muslim: 672).
Jika menolak satu hadits saja disikapi demikian, bagaimanakah terhadap pengingkarnya.
8. Boleh dicurigai keislamannya
Imam Muhammad bin Abdul Wahhab
rohimahulloh berkata: “Barangsiapa membenci sebagian dari apa yang
didatangkan oleh Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam walaupun dia
mengamalkan, maka dia kafir.” Lalu beliau menukil QS. Muhammad [47]: 9
(lihat Nawaqidhul Islam).
BAHAYA INGKARUS SUNNAH
Orang yang menolak Sunnah hendaknya
waspada, boleh jadi adzab Alloh subhanahu wa ta’ala bukan hanya menimpa
mereka pada hari kiamat, tetapi juga di dunia.
Al-Akwa’ rodhiyallohu anhu pernah
bercerita kepada anaknya yang bernama Salamah: ‘Ada seseorang makan
dengan tangan kiri, lalu Nabi shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
‘Makanlah dengan tangan kanan!’ Dia berkata: ‘Saya tidak bisa’ Padahal
dia mampu, tetapi (ucapan itu keluar) karena sombong. Lalu tangannya
benar-benar lumpuh, tidak bisa mengangkat ke mulutnya.” (HR. Muslim:
3766)
Dari Ibnu Abbas rodhiyallohu anhu, Nabi
shollallohu alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kamu datang ke rumah
istrimu pada malam hari dengan tiba-tiba.” Lalu Rosululloh shollallohu
alaihi wa sallam datang kembali, tiba-tiba ada dua orang laki-laki
berjalan menemui istrinya pada malam hari, masing-masing menjumpai
istrinya bersama orang laki-laki. (HR. ad-Darimi: 444, dishohihkan oleh
al-Albani; lihat Jami’ush Shoghir 1/1332, Silsilah ash-Shohihah 8/92)
Sa’id bin Musayyib rohimahulloh berkata:
“Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda: Tidaklah orang yang
keluar dari masjid ketika mendengar adzan melainkan dia orang munafik,
kecuali apabila keluar karena ada keperluan lalu kembali ke masjid
lagi.” Lantas ada orang yang berkata: “Temanku di Harroh.” Lalu dia
keluar setelah adzan dikumandangkan. Sa’id menegurnya: “Jangan keluar!”
Akan tetapi, dia tetap keluar. Lalu Sa’id diberi tahu bahwa orang itu
jatuh dari kendaraannya dan patah tulang pahanya. (HR. ad-Darimi: 447,
al-Albani berkata: “Sanadnya hasan”, lihat ats-Tsimar al-Mustathob
1/145)
Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il
at-Taimi rohimahulloh berkata: “Saya pernah membaca sebuah cerita,
bahwa sebagian ahli bid’ah ketika mendengar hadits Nabi shollallohu
alaihi wa sallam ‘Apabila salah satu di antara kamu bangun dari tidur
maka janganlah mencelupkan tangannya ke bejana sehingga membasuhnya,
karena dia tidak tahu tempat bermalam tangannya’, lalu ahli bid’ah itu
berkata: ‘Saya tahu di mana tanganku bermalam’ Tiba-tiba pada pagi
harinya tangannya masuk dalam duburnya sampai hasta.” At-Taimi berkata:
“Waspadalah! Jangan meremehkan Sunnah, lihat bagaimana akibatnya.”
(Lihat Bustanul Arifin oleh Imam Nawawi: 94)
BAHAYA MENAFSIRKAN AL-QUR’AN TANPA AS-SUNNAH
Orang yang mengamalkan al-Qur’an namun
menolak as-Sunnah tentu akan mengartikan ayat secara ngawur mengikuti
hawa nafsunya. Bukanlah dia pengamal al-Qur’an, namun justru perusak
al-Qur’an. Bagaimana tidak, al-Qur’an diturunkan bukan di lubuk hati
tiap-tiap manusia, tetapi lewat Nabi shollallohu alaihi wa sallam.
Umar bin Abdul Aziz rohimahulloh berkata:
“Tak seorang pun boleh berpegang pada pendapatnya bila menjumpai sunnah
Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam.” (I’lamul Muwaqqi’in 2/282)
Imam Syafi’i rohimahulloh berkata: “Ulama
Sunnah bersepakat, barangsiapa yang sudah jelas baginya sunnah
Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam maka tidak halal meninggalkannya
lantaran berpegang kepada pendapat seseorang.” (I’lamul Muwaqqi’in
2/282)
Ali bin Sulthon al-Qori’ rohimahulloh
berkata: “Barangsiapa menerangkan al-Qur‘an dengan pendapatnya, sungguh
ia kufur; maka bagaimanakah membicarakan Dzatulloh dan sifat-Nya
ber-dasarkan hawa nafsunya.” (ar-Roddu ‘ala Wihdatil Wujud 1/46)
Ibnu Abil Izzi rohimahulloh berkata:
“As-Sunnah datang untuk menjelaskan dan menetapkan apa yang ada di dalam
al-Qur’an. Tidaklah Alloh membutuhkan pendapat si fulan atau perasaan
si fulan untuk urusan agama ini.” (Syarh ath-Thohawiyyah 1/89)
Bahaya lain, dia sesat dan menyesatkan
umat serta menjadi penyembah hawa nafsu, sebagaimana disebutkan dalam
QS. al-Jatsiyah [45]: 23.
MUSTAHIL MENGAMALKAN AL-QUR’AN TANPA AS-SUNNAH
Mustahil Quraniyyun bisa mengamalkan al-Qur’an dengan benar dan jujur tanpa bantuan as-Sunnah shohihah, mengapa?
- Alloh menurunkan al-Qur’an bukan kepada setiap manusia, tetapi kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallam dengan perantara Jibril alaihissalam. Lantas, bagaimana akal bisa memahami al-Qur’an tanpa as-Sunnah?
- Jika akal saja cukup untuk memahami al-Qur’an, tentu sia-sialah Alloh mengutus utusan-Nya untuk menjelaskan makna al-Qur’an. Yang demikian itu tidak bisa diterima oleh akal yang waras
- Mereka harus mengingkari sebagian ayat yang mengharuskan berpegang kepada Sunnah, termasuk ayat yang jadi pembahasan di atas.
- Akan meninggalkan sebagian amal ibadah yang di dalam al-Qur’an masih bersifat umum -belum jelas kaifiyyahnya- , atau beribadah dengan cara yang tidak benar.
- Mereka akan merusak makna ayat yang sebenarnya, sebagaimana perilaku kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL), ahli bid’ah, pemuja ilmu kalam, dan lainnya.
Adapun contoh sebagian ayat yang membutuhkan keterangan dari as-Sunnah:
1. Surat al-Ma’idah [5]: 38 yang
menjelaskan bahwa pencuri harus dipotong tangannya. Akan tetapi dalam
ayat tersebut tidak dijelaskan kadar barang yang dicuri, melainkan kita
jumpai kadarnya lewat hadits yang shohih. Rosululloh shollallohu alaihi
wa sallam bersabda:
“Tangan pencuri dipotong bila mencuri seperempat dinar ke atas. ” (HR. Bukhori: 6291 kitab al-Hudud, bersumber dari Aisyah rodhiyallohu anha)
2. Surat al-An’am [6]: 82 yang
menjelaskan bahwa orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan
zhulm (kezholiman) , mereka akan mendapat keamanan dan petunjuk. Para
sahabat rodhiyallohu anhum merasa keberatan, lantaran adakah manusia
yang tidak berbuat zholim kepada dirinya? Nabi shollallohu alaihi wa
sallam menjawab: “Bukan seperti yang kamu maksudkan, belumkah kamu
mendengar perkataan Luqman kepada anaknya: Sesungguhnya syirik adalah
kezholiman yang sangat besar (QS. Luqman [31]: 13).” (HR. Bukhori: 3100)
3. Surat al-Ma‘idah [5]: 3 menjelaskan
haromnya bangkai, tetapi di dalam hadits disebutkan ada bangkai yang
halal. Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
“Dihalalkan bagi kita dua bangkai, ikan dan belalang.”
(HR. Ibnu Majah: 3209, bersumber dari Ab-dulloh bin Umar rodhiyallohu
anhu; dishohihkan oleh al-Albani dalam al-Misykah: 4132 dan
ash-Shohihah: 1148)
4. Ada orang yang berpendapat bahwa
sutera tidak harom bagi kaum pria karena keumuman QS. al-A’rof [7]: 32.
Akan tetapi, bila merujuk kepada hadits yang shohih, kita menjumpai
keharoman sutera bagi kaum pria. Ali bin Abu Tholib rodhiyallohu anhu
berkata: Sesungguhnya Nabi shollallohu alaihi wa sallam mengambil kain
sutera dengan tangan kanannya dan mengambil emas dengan tangan kirinya,
lalu berkata:
“Sesungguhnya dua benda ini harom untuk umatku yang laki-laki. ” (HR. Abu Dawud: 3535, dishohihkan oleh al-Albani; lihat ash-Shohihah 1/661, Shohih at-Targhib wa Tarhib 2/224)
INGKAR SUNNAH = INGKAR SYAHADAT KERASULAN NABI MUHAMMAD shollallohu alaihi wa sallam
Barangsiapa mengingkari as-Sunnah berarti
mengingkari persaksiannya “Muhammad adalah utusan Alloh”. Mengapa?
Karena makna syahadat yang kedua ini adalah bersaksi untuk menyanggupi
beribadah kepada Alloh subhanahu wa ta’ala dengan cara yang dicontohkan
oleh Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam. Juga karena beliau adalah
suri teladan yang baik dalam semua urusan. (Lihat QS. al-Ahzab [33]: 21)
Syaikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin
Muhammad Alu Syaikh hafidhohulloh Mufti Kerajaan Saudi Arabia- berkata:
Hakikat makna syahadat “Muhammad adalah utusan Alloh” ialah sebagai
berikut:
- Beriman bahwa beliau shollallohu alaihi wa sallam utusan Alloh subhanahu wa ta’ala, seperti yang dijelaskan dalam QS. al-Fath [48]: 29.
- Beriman bahwa risalah beliau berlaku umum untuk semua manusia, bahkan termasuk jin; lihat QS. al-A’rof [7]: 185 dan al-Ahqof [46]: 29.
- Beriman bahwa beliau hamba -tidak boleh disembah- dan utusan -tidak berdusta dan tidak boleh didustakan- (lihat QS. Fushshilat [41]: 6).
- Beriman bahwa beliau adalah penutup para nabi dan rosul (lihat QS. al-Ahzab [33]: 40).
- Menaati perintahnya, membenarkan beritanya, dan memenuhi panggilannya (lihat QS. an-Nisa’ [4]: 80).
- Mencintai, membela, dan mengagungkannya semasa beliau hidup, serta membela sunnahnya sepeninggal beliau; sebagaimana keterangan hadits shohih, lihat pula QS. at-Taubah [9]: 24.
- Ridho dengan hukumnya dan berpegang kepada syari’atnya (lihat QS. an-Nur [24]: 51).
- Meniru dan mengikuti sunnahnya serta mengembalikan semua perselisihan kepada sunnahnya (lihat QS. al-Ahzab [33]: 21 dan al-Hasyr [59]: 7) (Diringkas dari kitab Haqiqotu Syahadah “Wa Anna Muhamadan Rosululloh”, hal. 60-75)
Semoga dengan keterangan ini kita dapat
menerima al-Qur‘an dan as-Sunnah sebagai sumber asli untuk mengetahui
hukum-hukum Islam yang sebenarnya. []
Penulis: al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron –hafidzohulloh-
***
Sumber : Majalah Al-FurQon Edisi 06 Tahun IV // Muharom 1428 [Februari 2007]
http://ibnuramadan.wordpress.com/2011/05/24/ingkarus-sunnah-perusak-al-quran/
0 komentar:
Posting Komentar