Kaum muslimin diperintahkan Allah untuk
mengikuti dan mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
seluruh syari’atnya. Demikian pula yang berkaitan dengan penentuan
ibadah besar seperti puasa Ramadhan, Idul Fithri dan haji. Oleh karena
itu Rasulullh secara tegas mengajarkan cara penentuannya dengan rukyat
hilal (melihat hilal) dengan mata dan bila terhalang mendung atau yang
sejenisnya maka dengan cara menyempurnakan bulan sya’ban 30 hari untuk
Ramadhan atau Ramadhan 30 hari untuk Syawal [1].
Demikianlah contoh dan ajaran Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam permasalahan ini,
sehingga hukum berpuasa Ramadhan dan berbuka dari bulan Ramadhan
bergantung kepada rukyah hilal. Tidak berpuasa kecuali dengan melihatnya
dan tidak berbuka dari Ramadhan kecuali dengan melihatnya langsung dan
seandainya melihat dengan alat teropong dan alat-alat yang dapat
memperjelas penglihatan maka itu dianggap sebagai penglihatan dengan
mata [2]
Rukyah (melihat hilal) lah yang menjadi dasar syar’i dalam hukum puasa dan Idul Fithri. Adapun hisab tidak dapat dijadikan sandaran dalam penentuan puasa menurut syari’at.[3]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
Tidak diragukan lagi hal ini telah ditetapkan dengan dasar sunnah yang shahih dan atsar para sahabat, sungguh tidak boleh bersandar kepada hisab. Orang yang bersandar kepada hisab telah menyimpang dari syari’at dan berbuat kebid’ahan dalam agama. Dia
telah salah secara akal dan ilmu hisab sendiri, karena ulama hisab
telah mengetahui bahwa rukyat tidak dapat ditentukan dengan perkara
hisab, karena hilal tersebut berbeda-beda sesuai dengan perbedaan
ketinggian dan kerendahan suatu tempat dan lainnya.[4]
Imam Ibnu Daqiqil Ied berkata:
Menurut pendapat saya, hisab tidak boleh dijadikan sandaraan dalam puasa.[5]
Ketika mengomentari hadits “إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ ”: Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata :‘
Pada mereka (bangsa Arab) ada orang yang
dapat menulis dan mengetahui hisab, (dinamakan umiyun) karena yang
menulis sangat sedikit sekali. Yang dimaksud hisab dalam hadits ini
adalah hisab nujum dan perjalanannya (falak) dan mereka hanya sedikit
yang mengerti hal ini, sehingga hukum berpuasa dan lainnya tergantung
kepada rukyah agar tidak menyulitkan mereka karena sulitnya hisab. Lalu
hukum ini berlaku terus pada puasa walaupun setelahnya banyak orang yang
telah mengetahui hisab. Bahkan dzahir hadits dipahami tidak adanya
hukum puasa dengan hisab. Hal ini dijelaskan dalam hadits-hadits lainnya
yang berbunyi: فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّة
ثَلاَثِيْنَ dan tidak menyatakan: “Tanyalah kepada Ahli Hisab!”.’.
Lalu beliau berkata lagi:
‘Sebagian kaum berpendapat merujuk kepada ahli hisab. Mereka adalah Syiah Rafidhah, dan dinukilkan dari sebagian ahli fiqih bahwa mereka menyetujuinya,
Al Baaji berkata: ‘Ijma’ Salaush Shalih sudah menjadi hujjah atas
mereka’. Dan Ibnu Bazizah berkata: ‘Ini adalah madzhab yang batil, sebab
syari’at telah melarang memperdalam ilmu perbintangan, karena ia
hanyalah persangkaan dan hipotesa semata tidak ada kepastian dan tidak
juga perkiraan yang rajih (zhann rajih). Ditambah lagi seandainya
perkara puasa dihubungkan dengannya. Maka tentulah menyulitkan, karena
yang mengetahuinya sedikit sekali.’.[6]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata:
Tidak wajib berpuasa dengan penentuan hisab, seandainya ulama hisab menetapkan bahwa malam ini termasuk Ramadhan, namun mereka belum melihat hilal maka tidak berpuasa. Karena syari’at menggantung hukum berpuasa ini dengan perkara yang terindera yaitu rukyat hilal.[7]
Jadi jelaslah hisab tidak dapat dijadikan sandaran dalam penentuan awal bulan Ramadhan, Syawal dan Haji.
FAKTA DAN SYUBHAT
Dewasa ini berkembang penggunaan hisab dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal. Banyak orang yang menggunakannya berusaha membela dan mencari dalih-dalih yang menguatkan penggunaan hisab ini serta menyatakan hal itu berdasarkan pada ayat Al Qur’an dan hadits Nabi dan juga ilmu hisab.
Dewasa ini berkembang penggunaan hisab dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal. Banyak orang yang menggunakannya berusaha membela dan mencari dalih-dalih yang menguatkan penggunaan hisab ini serta menyatakan hal itu berdasarkan pada ayat Al Qur’an dan hadits Nabi dan juga ilmu hisab.
Diantara syubhat yang mereka sampaikan adalah.
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Karena itu, barangsiapa di antara kamu
hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, hendaklah dia
berpuasa.” [Al Baqarah : 185]
Jawab.
Dalil ini tidak dapat dipakai untuk membenarkan penggunaan hisab dalam penentuan awal Ramadhan, sebab tidak ada penjelasan cara menentukan awal bulan tersebut. Ayat yang mulia ini tentunya kita fahami dengan penjelasan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menentukannya. Yaitu dengan melihat hilal (rukyat) atau menyempurnakan 30 hari bulan sya’ban bila terhalang melihatnya.
Dalil ini tidak dapat dipakai untuk membenarkan penggunaan hisab dalam penentuan awal Ramadhan, sebab tidak ada penjelasan cara menentukan awal bulan tersebut. Ayat yang mulia ini tentunya kita fahami dengan penjelasan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menentukannya. Yaitu dengan melihat hilal (rukyat) atau menyempurnakan 30 hari bulan sya’ban bila terhalang melihatnya.
2. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَآءً
وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ
وَالْحِسَابَ مَاخَلَقَ اللهُ ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ
اْلأَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar
dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah
(tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui
bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang
demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda
(kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. [Yunus : 5]
Jawab.
Ayat yang mulia ini tidak menunjukkan bahwa syari’at menganggap hisab sebagai sarana dalam penentuan awal bulan. Ayat ini hanya menjelaskan fungsi manzilah-manzilah bulan dalam mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu dan ini dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan melihat hilal.
Ayat yang mulia ini tidak menunjukkan bahwa syari’at menganggap hisab sebagai sarana dalam penentuan awal bulan. Ayat ini hanya menjelaskan fungsi manzilah-manzilah bulan dalam mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu dan ini dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan melihat hilal.
Sedangkan firmanNya: (لِتَعْلَمُوا )
tidak berhubungan dengan sifat matahari dan bulan namun berhubungan
dengan taqdir manaazil (ketentuan manzila bulan).
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berkata:
Firman Allah (لِتَعْلَمُوا) berhubungan dengan firmanNya (َقَدَّرَهُ )
bukan kepada (جَعَلَ ) karena sifat matahari bersinar dan bulan
bercahaya tidak memiliki pengaruh dalam mengenal bilangan tahun dan
hisab. Juga karena Allah tidak menggantung kepada matahari dalam
perhitungan bulan dan tahun dan hanya menetapkannya dengan hilal,
sebagaimana ditunjukkan oleh ayat. Demikian juga karena Allah berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللهِ
اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتَابِ اللهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّماَوَاتِ
وَاْلأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ
Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah
ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan
langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. [at-Taubah :36]
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengkhabarkan
jumlah bulan adalah 12, sehingga diketahui bahwa bulan-bulan tersebut
diketahui dengan hilal [8].
Dengan demikian keumuman ayat ini tidak menunjukkan i’tibar hisab dalam penentuan bulan menurut syari’at.
3. Sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Jika kalian melihat hilal makxa
berpuasalah dan jika melihatnya kembali maka berbukalah (ber hari raya
‘ied), lalu jika kalian terhalangi (tidak dapat melihatnya) maka
perkirakanlah bulan tersebut. [9]
Melihat bentuk kata faqdurulah yang
artinya maka perkirakanlah, adalah bentuk amar (perintah) yang dalam hal
ini juga hadits (sabda Nabi) yang berkedudukan sebagai dalil. Sehingga
menggunakan ilmu hisab, berarti pengamalan terhadap ayat al Qur’an dan
hadits. Jadi penggunaan hisab itu bukanlah rekaan terhadap urusan agama
(bid’ah).
Jawab:
Menurut ahli bahasa Arab, kata faqdurulah berasal dari makna taqdir yaitu tentukanlah bukan perkirakanlah, sebagaimana firman Allah :
Menurut ahli bahasa Arab, kata faqdurulah berasal dari makna taqdir yaitu tentukanlah bukan perkirakanlah, sebagaimana firman Allah :
فَقَدَرْنَا فَنِعْمَ الْقَادِرُونَ
Lalu Kami tentukan (bentuknya), maka Kami-lah sebaik-baik yang menentukan. [al-Mursalat :23] [10]
Kemudian makna ini telah ditafsirkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri melalui perawi hadits
diatas yaitu Ibnu Umar dan yang lainnya bahwa makna faqdurullah tersebut
adalah menyempurnakan bilangan Sya’ban tiga puluh hari [11], sehingga
bila kita mau mengamalkan hadits ini maka harus membawa maknanya kepada
hadits yang lain bukan sekedar mendapatkan sesuatu yang dianggap
mendukung pendapatnya lalu tidak mau berhujah dengan tafsirnya yang juga
berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. sikap yang benar
terhadap hadits-hadits seperti ini adalah dengan membawa sesuatu yang
muthlak kepada penjelasnya, sehingga makna faqdurullah difahami dengan
makna menyempurnakan bulan, barulah kemudian dianggap telah mengamalkan
hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian seandainya kata faqdurullah
dalam hadits ini dimaknai kira-kira dengan ilmu hisab, maka hadits ini
membolehkannya setelah tidak dapat melihat hilal karena mendung dan
sejenisnya, bukan sebelumnya.
Sedangkan mereka yang menjadikan hisab
sebagai standar penentuan awal Ramadhan tidaklah demikian. Tetapi mereka
menentukannya jauh sebelum waktu rukyat dan tidak melihat mendung atau
cerah keadaan langitnya. Ini jelas menyelisihi sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berarti satu perbuatan bid’ah yang
tidak pernah dilakukan kaum muslimin sebelumnya.
Ibnu Taimiyah berkata: Sedangkan
mengikuti hisab pada keadaan cerah atau menentukan perkara syariat umum
yang lain dengan hisab, maka (pendapat seperti ini) tidak pernah
disampaikan oleh seorang muslimpun (ulama mereka, ed). [12]
Ibnu Mulaqin berkata : Kata
faqdurullahbila, bila dimaknai dengan menghitungnya dengan hisab
manaajil (falak) yang digunakan ahli falak, maka ini pendapat yang
sangat lemah sekali. Karena seandainya manusia dibebabkan demikian,
tentu menyusahkan mereka, karena tidak mengetahuinya kecuali segelintir
orang. Padahal syari’at mengenalkan kepada mereka sesuai dengan sesuatu
yang kebanyakan mereka ketahui. Juga karena iklim menurut pendapat
mereka (ahli falak) berbeda-beda, dibenarkan satu iklim melihat (dan)
yang lain tidak, sehingga membuat perbedaan puasa pada kaum muslimin.
Demikian juga seandainya hisab diakui kebenarannya (dalam menentukan
awal bulan Ramadhan), tentulah Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
menjelaskannya kepada manusia, sebagaimana telah menjelaskan waktu-waktu
shalat dan yang lainnya.
Jelas hadits inipun tidak mendukung pendapat bolehnya menggunakan hisab dalam menentukan awal Ramadhan.
4. Dari segi sejarah dapat kita pelajari
uraian kitab Bidayatul Mujtahid. Disebutkan bahwa penggunaan hisab oleh
ulama sejak masa sahabat atau tabi’in. Kalau dalam menetapkan awal bulan
Ramadhan dengan rukyat tidak berhasil karena mendung maka digunakan
hisab. Hal ini dilakukan oleh sebagian ulama salaf dan dipelopori oleh
seorang senior tabi’in yang bernama Mutharif bin Asy Syahr.
Jawab.
Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid menyatakan: ‘Dan diriwayatkan dari sebagian salaf berpendapat bahwa jika hilal tidak terlihat karena mendung, maka merujuk kepada hisab peredaran bulan dan matahari dan ini adalah madzhab Mutharif bin asy Syikhir seorang senior tabi’in’ [14].
Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid menyatakan: ‘Dan diriwayatkan dari sebagian salaf berpendapat bahwa jika hilal tidak terlihat karena mendung, maka merujuk kepada hisab peredaran bulan dan matahari dan ini adalah madzhab Mutharif bin asy Syikhir seorang senior tabi’in’ [14].
Jadi Mutharif bin Abdillah Asy Syikhir
bukan Asy-Syahr. Dan dia bukanlah yang mempelopori. Pernyataan beliau
ini perlu dicermati lagi, karena nisbat pendapat ini kepada Muthorif bin
Abdillah Al Shikhier tidak benar, sebagaimana dinyatakan imam Ibnu
Abdil Barr [15]
Kemudian juga pernyataan para sahabat ada yang menggunakan hisab dibantah oleh hadits Nabi yang berbunyi:
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ
وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا ثَلَاثًا حَتَّى
ذَكَرَ تِسْعًا وَعِشْرِينَ
Kami adalah umat yang ummiy tidak menulis
dan tidak menghisab, bulan itu demikian, demikian dan demikian tiga
kali sampai menyebut dua puluh sembilan. [16].
.
Dengan demikian benarlah pernyataan Ibnu Taimiyah bahwa penggunaan hisab dalam menentukan awal Ramadhan merupakan perkara baru yang terjadi setelah tahun tiga ratusan.[17]
.
Dengan demikian benarlah pernyataan Ibnu Taimiyah bahwa penggunaan hisab dalam menentukan awal Ramadhan merupakan perkara baru yang terjadi setelah tahun tiga ratusan.[17]
5. Kalaulah menentukan awal Ramadhan
dengan rukyat berdasarkan hadits Nabi, bagaimana menentukan awal bulan
Dzulhijah untuk selanjutnya menentukan tanggal 10 Dzulhijjah. Tidak ada
perintah untuk itu dengan rukyat. Bagaimana penentuan waktu-waktu shalat
sekarang, dengan menggunakan jadwal yang didasarkan pada hisab. Padahal
dizaman Nabi dilakukan dengan melihat bayangan benda bagi sholat dzuhur
dan ashar, dengan menggunakan melihat fajar untuk waktu subuh dan
terbenam matahari untuk waktu sholat maghrib dari hilangnya mega merah
untuk sholat isya’. Kesemuannya dapat dikembalikan kepada dalil umum
ayat 5 surat Yunus diatas dengan melakukan isthimbath dan ijtihad, baik
berdasarkan metode bayani dan pendekatan burhani (pendekatan ilmiah
beradasarkan dalil).
Jawab.
Alhamdulillah agama Islam telah menjelaskan seluruh keterangan yang dapat digunakan hamba Allah dalam beribadat kepadanya. Menjadi mustahil bila Islam menetapkan satu ibadah yang berhubungan dengan waktu kemudian tidak menjelaskan waktu tersebut. Demikian pula tuntunan awal Ramadhan ditentukan dengan rukyat berdasarkan hadits Nabi, bahkan juga oleh akal, sehingga Ibnu Taimiyah berkata: “Sesungguhnya hukum-hukum Islam seperti puasa Ramadhan berhubungan langsung dengan hilal. Namun berdasarkan dalil sam’iyah (wahyu) dan akal, cara mengetahui terbitnya hilal adalah rukyat tidak yang lainnya. [18]
Alhamdulillah agama Islam telah menjelaskan seluruh keterangan yang dapat digunakan hamba Allah dalam beribadat kepadanya. Menjadi mustahil bila Islam menetapkan satu ibadah yang berhubungan dengan waktu kemudian tidak menjelaskan waktu tersebut. Demikian pula tuntunan awal Ramadhan ditentukan dengan rukyat berdasarkan hadits Nabi, bahkan juga oleh akal, sehingga Ibnu Taimiyah berkata: “Sesungguhnya hukum-hukum Islam seperti puasa Ramadhan berhubungan langsung dengan hilal. Namun berdasarkan dalil sam’iyah (wahyu) dan akal, cara mengetahui terbitnya hilal adalah rukyat tidak yang lainnya. [18]
Sedangkan penentuan bulan Dzulhijah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَسْئَلُونَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ
مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَن تَأْتُوا
الْبُيُوتَ مِن ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا
الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Mereka bertanya kepadamu tentang hilal.
Katakanlah :”Hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi
ibadat) haji; Dan bukanlah kebaktian memasuki rumah-rumah dari
belakangnya, akan tetapi kebaktian itu ialah kebaktian orang yang
bertaqwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan
bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung. [Al-Baqarah:189]
Sungguh aneh kalau dikatakan tidak ada
perintah untuk itu dengan rukyat. Adapun waktu shalat sudah jelas dan
disepakati Rasululloh telah menjelaskannya dengan sangat jelas sekali
dalam hadits Jabir dan yang lainnya.
Mengapa kita memaksakan semua ini masuk
dalam keumuman ayat 5 surat Yunus yang tidak menjelaskan tentang
penggunaan hisab dalam syari’at Islam, padahal secara jelas ketentuannya
telah terperinci dalam ayat dan hadits-hadits yang shahih. Seperti ini
menunjukkan jalan istimbath yang jauh dari benar.
Ambillah yang sudah jelas dan gamblang dan tinggalkanlah yang masih direka-reka dan dipaksakan.
6. Secara fakta ilmu hisab telah dapat digunakan untuk menghitung waktu yang mendekati kebenaran
Jawab
Kalau benar fakta ini, mengapa tidak menggunakan yang jelas pasti kebenarannya menurut syari’at dan malah menggunakan sesuatu yang hanya mendekati kebenaran dan masih mungkin bisa keliru dan salah?
Kalau benar fakta ini, mengapa tidak menggunakan yang jelas pasti kebenarannya menurut syari’at dan malah menggunakan sesuatu yang hanya mendekati kebenaran dan masih mungkin bisa keliru dan salah?
7. Sebagian orang berkomentar tentang hadist :
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ
وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا ثَلَاثًا حَتَّى
ذَكَرَ تِسْعًا وَعِشْرِينَ
Kami adalah umat yang ummiy tidak menulis
dan tidak menghisab, bulan itu demikian, demikian dan demikian tiga
kali sampai menyebut dua puluh sembilan.
Berdasarkan hadits ini, mereka menyatakan
bahwa ini merupakan penyebab hukum puasa tidak ditetapkan dengan hisab,
sebab Nabi dan para sahabat tidak mampu melakukannya dengan sebab
ummiynya mereka. Sedangkan kami sekarang bisa membaca dan mengetahui
ilmu hisab. Ditambah lagi kami memiliki teropong bintang yang modern.
Sehingga alasan hanya menggunakan rukyat hilal sekarang ini terhapus.
Dalam kaidah dikatakan : Hukum bisa berubah dengan ada atau tidak adanya
illat (alasan hukum).
Jawab.
Pernyataan seperti ini telah dijawab oleh Syaikh Islam Ibnu Taimiyah : ‘Hal ini tidak bisa dibenarkan, karena pada umat yang Nabi diutus kepada mereka terdapat orang yang mampu membaca dan menulis sebagaimana ada pada sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga ada pada mereka yang mampu hisab. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah mengutus untuk melaksanakan kewajiban yang membutuhkan hisab (perhitungan). Telah benar berita bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika petugas (zakat) datang membawa shadaqah Ibnu Al Lutbiyah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghitungnya. Demikian juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki beberapa para juru tulis (Katib) seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Zaid dan Mu’awiyah. Mereka menulis wahyu, perjanjian, risalah Beliau kepada orang banyak dan kepada para raja dan penguasa yang didakwahi serta kepada para petugas dan gubernur serta yang lainnya. Demikian juga Allah berfirman:
Pernyataan seperti ini telah dijawab oleh Syaikh Islam Ibnu Taimiyah : ‘Hal ini tidak bisa dibenarkan, karena pada umat yang Nabi diutus kepada mereka terdapat orang yang mampu membaca dan menulis sebagaimana ada pada sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga ada pada mereka yang mampu hisab. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah mengutus untuk melaksanakan kewajiban yang membutuhkan hisab (perhitungan). Telah benar berita bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika petugas (zakat) datang membawa shadaqah Ibnu Al Lutbiyah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghitungnya. Demikian juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki beberapa para juru tulis (Katib) seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Zaid dan Mu’awiyah. Mereka menulis wahyu, perjanjian, risalah Beliau kepada orang banyak dan kepada para raja dan penguasa yang didakwahi serta kepada para petugas dan gubernur serta yang lainnya. Demikian juga Allah berfirman:
لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ
Dalam dua ayat [19] yang memberitahukan bahwa hal itu ada untuk mengetahui hisab.
Kata Ummiy pada asalnya dinisbatkan
kepada ummah yaitu orang yang tidak memiliki keistimewaan dari yang
lainnya berupa membaca atau menulis sebagaimana dikatakan: ‘aami (orang
awam) untuk orang umum yang tidak memiliki keistimewaan khusus dari ilmu
pengetahuan. Ada juga yang menyatakan bahwa itu dinisbatkan kepada al
um, yang maknanya tetap pada kebiasaan yang dibiasakan ibunya berupa
pengetahuan dan ilmu serta yang sejenisnya. Kemudian keistimewan yang
mengeluarkan dari ummiyah al’ amah (yang umum) kepada al ikhtishosh,
terkadang adalah keutamaan dan kesempurnaan. Misalnya, seperti
keistimewan mereka dapat membaca Al Qur’an dan memamahi kandungannya.
Dan terkadang hanya menjadi sarana mencapai keutamaan dan kesempurnaan.
Misalnya, seperti keistimewan mereka dapat menulis dan membaca tulisan,
sehingga terpuji pada orang yang menggunakannya untuk kebenaran, dan
dicela pada orang yang meninggalkannya atau menggunakannya untuk
kejelekan. Orang yang mencukupkan dengan sesuatu yang lebih bermanfaat
baginya, maka lebih sempurna dan utama.[20]
Dari sini jelaslah, dari beberapa sisi,
maksud umiyah yang terdapat pada hadits tersebut merupakan sifat terpuji
dan sempurna. Yaitu dari sisi mencukupkan dari sisi tulisan dan hisab
dengan yang lebih jelas dan pasti, yaitu hilal. Sisi yang lain, tulisan
dan hisab masih mungkin keliru dan salah. Sehingga dengan demikian
jelaslah kesalahan prasangka diatas.
Seandainya hisab lebih baik dan tepat
digunakan dalam penentuan awal bulan Ramadhan, tentulah Allah akan
menjelaskan atau mengajarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
atau sahabat Beliau, sehingga dapat digunakan mereka untuk memudahkan
penentuan awal bulan Ramadhan.
وَمَاكاَنَ رَبُّكَ نَسِيًّا
Dan tidaklah Rabbmu lupa. [Maryam:64]
Bahkan bila hisab dapat digunakan sama dengan rukyat hilal tentulah akan dijelaskan Allah dan RasulNya.
KESIMPULAN
Semua dalih yang digunakan untuk membenarkan penggunaan hisab sangat lemah. Sehingga, hendaknya kaum muslimin tidak menggunakannya, dan tidak merasa bingung dengan permasalahan ini. Agama Islam telah lengkap, sempurna dan gamblang dalam menjelaskan seluruh syari’atnya.
Semua dalih yang digunakan untuk membenarkan penggunaan hisab sangat lemah. Sehingga, hendaknya kaum muslimin tidak menggunakannya, dan tidak merasa bingung dengan permasalahan ini. Agama Islam telah lengkap, sempurna dan gamblang dalam menjelaskan seluruh syari’atnya.
Demikianlah sedikit penjelasan tentang permasalahan hisab dalam penentuan Ramadhan, mudah-mudahan bermanfaat.
*) Tambahan judul “dan syawal” dari admin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
07/Tahun IX/1425/2004M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197
Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Lihat mabhats Menentukan Ramadhan dalam edisi ini.
[2]. Abdullah bin Abdurrahman Al Basaam, Taudhih Al Ahkam Min Bulughul Maram, cetakan kelima tahun 1423H, maktabah Al Asadi, Makkah, KSA hal. 3/450
[3]. ibid
[4]. Lihat ibid.
[5]. Taqiyuddin Ibnu Daqiqil Ied. Ihkaam Al Ahkam Syarhu Umdat Al Ahkaam, Tahqiqi Ahmad Muhammad Syakir, cetakan kedua tahun 1407H, Dar aalam Al Kutub, Bairut. Hal 2/8.
[6]. Fathul Bari, op.cit. hal 4/127.
[7]. Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Syarhu Al Mumti’ ‘Ala Zaad Al Mustaqni’, Tahqiqi Dr. Sulaiman Aba Khail dan Dr. Khalid Al Musaiqih, cetakan pertama tahun 1416, Muassasah Aasaam, KSA. Hal 6/314.
[8]. Majmu’ Fatawa op.cit hal 25/134-135.
[9]. HR Al Bukhari, dalam Shahihnya, kitab Al Shiyaam, no. 1906 (lihat Fathul Bari op.cit hal.4/119) dan Muslim dalam Shahihnya kitab Al Shaum no 2500. Lihat Al Nawawi, Al Minhaaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, tahqiq Al Syaikh Khalil Ma’mun Syaikha, cetakan ketiga tahun 1417, Dar Al Ma’rifah, Bairut hal. 7/190.
[10]. Lihat Ibnu Al Mulaqqin Al Syafi’i, Al I’laam Bi Fawaa’id Umdat Al Ahkam, tahqiq Abdulaziz Ahmad Al Musyaiqih, cetakan pertama tahun 1417 H, Dar Al ‘Ashimah, KSA. Hal 5/173.
[11]. Lihat rubrik mabhas Menentukan Ramadhan.
[12]. Lihat: Majmu’ al-Fatawa op/cit hal. 25/132)
[13]. Al I’lam Bi Fawaid Umdat AL Ahkam op.cit hal 5/176-177.
[14]. Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayaatul Muqtashid, cetakan kesepuluh tahun 1408, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, bairut. Hal 1/284
[15]. Lihat Fathul Bari op.cit hal 4/122. Ibnu Hajar menukil pernyataan Ibnu Abdilbar, bahwa tidak benar (nisbat pendapat ini) kepada Muthorif . juga lihat imam Muhammad bin Ali Al Saukani, Nailul Author min Ahaadits Sayid Al Akhyar Syarh Muntaqa Al Akhbaar, tahqiq Muhammad saalim Haasyim, cetakan pertama tahun 1415H, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, Bairut. Hal 4/204.
[16]. HR Al Bukhari, dalam Shahihnya Kitab Al Shaum, no 1913, lihat Fathul Bari op.cit hal 4/126 dan juga perhatikan komentar Ibnu Hajar tentang kandungan hadits ini diatas.
[17]. Lihat pernyataan beliau dalam mabhas menentukan Ramadhan.
[18]. Majmu’ Fatawa op.cit hal 25/146.
[19]. Yaitu surat al Isra’ ayat 12 dan Yunus ayat 5
[20]. Majmu’ Fatawa op.cit 25/166-167
_______
Footnote
[1]. Lihat mabhats Menentukan Ramadhan dalam edisi ini.
[2]. Abdullah bin Abdurrahman Al Basaam, Taudhih Al Ahkam Min Bulughul Maram, cetakan kelima tahun 1423H, maktabah Al Asadi, Makkah, KSA hal. 3/450
[3]. ibid
[4]. Lihat ibid.
[5]. Taqiyuddin Ibnu Daqiqil Ied. Ihkaam Al Ahkam Syarhu Umdat Al Ahkaam, Tahqiqi Ahmad Muhammad Syakir, cetakan kedua tahun 1407H, Dar aalam Al Kutub, Bairut. Hal 2/8.
[6]. Fathul Bari, op.cit. hal 4/127.
[7]. Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Syarhu Al Mumti’ ‘Ala Zaad Al Mustaqni’, Tahqiqi Dr. Sulaiman Aba Khail dan Dr. Khalid Al Musaiqih, cetakan pertama tahun 1416, Muassasah Aasaam, KSA. Hal 6/314.
[8]. Majmu’ Fatawa op.cit hal 25/134-135.
[9]. HR Al Bukhari, dalam Shahihnya, kitab Al Shiyaam, no. 1906 (lihat Fathul Bari op.cit hal.4/119) dan Muslim dalam Shahihnya kitab Al Shaum no 2500. Lihat Al Nawawi, Al Minhaaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, tahqiq Al Syaikh Khalil Ma’mun Syaikha, cetakan ketiga tahun 1417, Dar Al Ma’rifah, Bairut hal. 7/190.
[10]. Lihat Ibnu Al Mulaqqin Al Syafi’i, Al I’laam Bi Fawaa’id Umdat Al Ahkam, tahqiq Abdulaziz Ahmad Al Musyaiqih, cetakan pertama tahun 1417 H, Dar Al ‘Ashimah, KSA. Hal 5/173.
[11]. Lihat rubrik mabhas Menentukan Ramadhan.
[12]. Lihat: Majmu’ al-Fatawa op/cit hal. 25/132)
[13]. Al I’lam Bi Fawaid Umdat AL Ahkam op.cit hal 5/176-177.
[14]. Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayaatul Muqtashid, cetakan kesepuluh tahun 1408, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, bairut. Hal 1/284
[15]. Lihat Fathul Bari op.cit hal 4/122. Ibnu Hajar menukil pernyataan Ibnu Abdilbar, bahwa tidak benar (nisbat pendapat ini) kepada Muthorif . juga lihat imam Muhammad bin Ali Al Saukani, Nailul Author min Ahaadits Sayid Al Akhyar Syarh Muntaqa Al Akhbaar, tahqiq Muhammad saalim Haasyim, cetakan pertama tahun 1415H, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, Bairut. Hal 4/204.
[16]. HR Al Bukhari, dalam Shahihnya Kitab Al Shaum, no 1913, lihat Fathul Bari op.cit hal 4/126 dan juga perhatikan komentar Ibnu Hajar tentang kandungan hadits ini diatas.
[17]. Lihat pernyataan beliau dalam mabhas menentukan Ramadhan.
[18]. Majmu’ Fatawa op.cit hal 25/146.
[19]. Yaitu surat al Isra’ ayat 12 dan Yunus ayat 5
[20]. Majmu’ Fatawa op.cit 25/166-167
sumber: www.almanhaj.or.id
Baca juga, MANHAJ DAKWAH MUHAMMADIYAH
0 komentar:
Posting Komentar