بسم الله الرحمن الرحيم
Macam-macam Syirik
Pertama: Syirik dalam Uluhiyah (Ibadah)
Syirik dalam uluhiyah atau ibadah adalah mempersembahkan satu bentuk ibadah kepada selain Allah Ta’ala, baik ibadah yang zhahir maupun ibadah hati (batin).
Inilah kesyirikan yang paling banyak tersebar di masyarakat. Macamnya
pun sangat beragam, sebanyak bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala. Maka
berikut ini kami akan memberikan sebagian contoh dari macam-macam syirik
kepada Allah Ta’ala dalam ibadah.
1. Berdoa kepada selain Allah Ta’ala
Berdoa kepada selain Allah Ta’ala termasuk perbuatan syirik besar yang telah dilarang oleh Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:
وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ
دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِنْ قِطْمِيرٍ إِنْ تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا
دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ وَيَوْمَ
الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ
“Dan orang-orang yang kamu seru (sembah)
selain Allah tidak mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika
kamu seru (berdoa) kepada mereka, maka mereka tidak mendengar seruanmu,
dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan
permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu
dan tidak ada yang memberikan keterangan kepadamu seperti yang diberikan
oleh (Allah) Yang Maha Mengetahui.” (Fathir: 13-14)
Orang yang berdoa kepada selain Allah
Ta’ala juga termasuk dalam golongan orang-orang yang zhalim karena telah
melakukan kezhaliman terbesar (syirik), sebagaimana firman-Nya:
وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ
“Dan janganlah kamu menyembah (berdoa)
kepada apa-apa yang tidak memberi manfa’at dan tidak (pula) memberi
mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian)
itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang
zhalim.” (Yunus: 106)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam Kitab Tauhid menyebutkan ayat di atas pada bab, “Termasuk perbuatan syirik, seorang yang ber- Istighotsah (meminta tolong ketika musibah) atau berdoa kepada selain Allah.” (Kitabut Tauhid, Bab ke-13)
Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumullah berkata, “Dalam ayat ini terdapat nash bahwa berdoa dan istighotsah kepada selain Allah Ta’ala merupakan syirik besar. Oleh karenanya Allah Ta’ala berfirman (pada ayat setelahnya): “Apabila
Allah menimpakan suatu bahaya kepadamu maka tidak ada yang mampu
menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah ingin memberikan kebaikan
kepadamu maka tidak ada yang sanggup menolak keutamaannya”. (Yunus: 107).” (Taysirul ‘Azizil Hamid fi Syarhi Kitabit Tauhid, hal. 237)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumullah berkata, “Dalam ayat ini terdapat penjelasan bahwa setiap yang dipanjatkan doa kepadanya adalah sesembahan (ilah). Sedangkan penyembahan itu hanyalah hak Allah Ta’ala yang tidak boleh dipersembahkan kepada selain-Nya sedikit pun.” (Fathul Majid li Syarhi Kitabit Tauhid, hal. 164)
Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz
bin Muhammad bin Ibrahim bin Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan bin
Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumullah berkata:
“Ayat ini menunjukkan larangan berdoa kepada selain Allah Ta’ala, baik
doa permohonan maupun doa ibadah. Allah Ta’ala telah melarang Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam berdoa kepada selain Allah Ta’ala dengan
larangan yang keras, padahal beliau adalah pemimpin orang-orang yang
bertakwa dan bertauhid.” (At-Tamhid li Syarhi Kitabit Tauhid, hal. 249)
Para Ulama menjelaskan bahwa doa ada dua bentuk:
Pertama: Doa ibadah,
seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain-lain. Karena seorang yang
melakukan ibadah-ibadah tersebut berarti ia memohon rahmat dan ampunan
kepada Allah Ta’ala dengan ibadah yang ia lakukan. Bentuk pertama ini
apabila dipersembahkan kepada selain Allah Ta’ala adalah termasuk
perbuatan syirik besar (secara mutlak).
Kedua: Doa permohonan (tholab),
seperti memohon suatu kemanfaatan atau terhindar dari suatu
kemudharatan. Bentuk yang kedua ini apabila dipersembahkan atau diminta
kepada selain Allah Ta’ala termasuk perbuatan syirik besar jika tidak
terpenuhi padanya tiga syarat:
- Permohonan tersebut mampu dikabulkan oleh orang yang diminta
- Orang tersebut masih hidup
- Orang tersebut hadir dan atau mampu mendengarkan permohonan kepadanya
(lihat Syarh Tsalatsatil Ushul, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah, dicetak dalam Jami’ Syarah Tsalatsatil Ushul, hal. 141-142).
Juga termasuk syirik dalam doa adalah:
- Isti’anah (minta tolang) kepada selain Allah Ta’ala
- Istighotsah (meminta tolong ketika musibah) kepada selain Allah Ta’ala
- Isti’adzah (mohon perlindungan) kepada selain Allah Ta’ala
- Memohon syafa’at kepada selain Allah Ta’ala
Semua dengan perincian sebagaimana dalam doa tholab di atas.
- Berdoa kepada para wali yang sudah meninggal dengan dalih tawassul
Yakni ia menjadikan wali tersebut sebagai perantara untuk berdoa kepada Allah Ta’ala. Tawassul seperti ini bukanlah tawassul yang sesuai dengan sunnah, bahkan ia termasuk syirik menurut kesepakatan (ijma’) Ulama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Barangsiapa menjadikan makhluq sebagai perantara antara
dirinya dengan Allah Ta’ala, sehingga ia berdoa kepada para perantara
tersebut, memohon dan bertawakkal kepada mereka, maka ia kafir
berdasarkan ijma’.” (Al-Mulakhkhosul Fiqhi, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, 2/450)
- Tabarruk (memohon berkah atau mengharapkannya) kepada selain Allah Ta’ala juga termasuk syirik besar
Perbuatan ini termasuk syirik karena
seorang yang melakukannya telah bergantung kepada selain Allah Ta’ala
dalam meraih suatu keberkahan sebagaimana para penyembah berhala memohon
berkah kepada berhala-berhala mereka. Maka seorang yang ber-tabarruk dengan kuburan para wali atau dengan pohon-pohon dan batu-batuan, sama halnya dengan para penyembah berhala yang ber-tabarruk dengan Lata, Uzza dan Manat (lihat Al-Irsyad ila Shahihil I’tiqod, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal. 74-75).
Sahabat yang mulia, Al-Harits bin ‘Auf Abu Waqid Al-Laitsi radhiyallahu’anhu pernah menceritakan:
أن رسول الله صلى الله
عليه وسلم لما خرج إلى غزوة حنين مر بشجرة للمشركين كانوا يعلقون عليها
أسلحتهم يقال لها : ذات أنواط . فقالوا : يا رسول الله اجعل لنا ذات أنواط
كما لهم ذات أنواط فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ” سبحان الله هذا
كما قال قوم موسى ( اجعل لنا إلها كما لهم آلهة ) والذي نفسي بيده لتركبن
سنن من كان قبلكم “
“Bahwa ketika Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam berangkat menuju perang Hunain, beliau
melewati sebuah pohon yang dijadikan tempat menggantungkan
senjata-senjata oleh kaum musyrikin (untuk meminta berkah dari pohon
tersebut). Pohon tersebut dinamakan dzatu amwath, maka kaum muslimin pun berkata, “Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami dzatu amwath
sebagaimana milik mereka”. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda, “Subhanallah, perkataan kalian sama dengan perkataan kaumnya
Musa, “Buatkanlah kami sesembahan sebagaimana sesembahan mereka”, demi
(Allah) yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalian benar-benar akan mengikuti
kebiasaan-kebiasaan kaum sebelum kalian”.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2335, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Al-Misykah, no. 5408)
2. Menyembelih untuk dipersembahkan kepada selain Allah Ta’ala
Menyembelih untuk selain Allah Ta’ala
termasuk perbuatan syirik sebab menyembelih adalah ibadah yang tidak
boleh dipersembahkan kepada selain Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:
قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah: “Sesungguhnya salat, ibadah (sembelihan), hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam”.” (Al-An’am: 162)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini, “Makna ayat ini seperti firman Allah Ta’ala: “Maka dirikanlah shalat dan sembelihlah qurban karena Rabbmu.” (Al-Kautsar: 2), yakni, ikhlaskan shalatmu dan sembelihanmu hanya untuk Allah semata.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/381)
Demikian pula termasuk syirik apabila seorang ber-taqarrub kepada selain Allah Ta’ala dengan mempersembahkan sesajen, apakah bentuk sesajen itu hewan qurban atau selainnya. Dan biasanya mereka lakukan hal tersebut untuk meminta pertolongan kepada jin. Seperti sesajen
yang sering dipersembahkan kepada jin ratu laut selatan adalah termasuk
syirik kepada Allah Ta’ala yang mengeluarkan pelakunya dari Islam.
3. Bernazar untuk selain Allah Ta’ala
Nazar termasuk ibadah, sehingga tidak
boleh dipersembahkan kepada selain Allah Ta’ala. Bahkan Allah Ta’ala
telah memuji orang-orang yang beriman karena nazar yang mereka tunaikan,
sebagaimana firman-Nya:
يُوفُونَ بِالنَّذْرِ
“Mereka menunaikan nazar.” (Al-Insan: 7)
Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah
berkata, “Allah Ta’ala telah memuji orang-orang yang beriman karena
telah menunaikan nazar mereka dan menjadikan hal tersebut sebagai sebab
masuknya mereka ke dalam surga. Dan suatu amalan yang bisa menjadi sebab
masuknya seseorang ke dalam surga adalah ibadah, maka mempersembahkan
ibadah tersebut kepada selain Allah Ta’ala adalah syirik.” (Al-Qoulul Mufid, 1/317)
4. Syirik dalam Cinta
Fenomena syirik dalam cinta telah dijelaskan Allah Ta’ala dalam al-Qur’an:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ
مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ
آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
“Dan di antara manusia ada orang-orang
yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya,
sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman
sangat kuat cintanya kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)
Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Cinta kepada Allah Ta’ala ada empat tingkatan:
Pertama: Seorang mencintai Allah melebihi selain-Nya. Inilah tauhid
Kedua: Seorang mencintai Allah seperti mencintai selain-Nya. Ini adalah syirik
Ketiga: Seorang mencintai selain Allah melebihi cintanya kepada Allah. Ini lebih besar dosa kesyirikannya dari yang sebelumnya
Keempat: Seorang
mencintai selain Allah Ta’ala dan tidak ada sedikit pun kecintaan kepada
Allah dalam hatinya. Ini lebih besar lagi dosa kesyirikannya dan lebih
jelek lagi.” (Al-Qaulul Mufid, 1/200-201)
5. Takut kepada selain Allah Ta’ala
Takut kepada selain Allah Ta’ala terbagi menjadi tiga bentuk:
Pertama: Takut
yang tersembunyi (dalam hati manusia), yakni takut dari suatu kemampuan
khusus yang mereka yakini dimiliki oleh selain Allah Ta’ala, padahal
kemampuan tersebut hanya dimiliki oleh Allah Ta’ala. Seperti keyakinan
para penyembah kubur bahwa wali-wali yang mereka sembah memiliki
kemampuan untuk menimpakan bahaya kepada mereka atau menghilangkannya
dari mereka.
Bahkan mereka berani bersumpah bohong
atas nama Allah, tetapi tidak berani bersumpah bohong atas nama wali
karena takut kepada wali tersebut. Maka takut seperti ini adalah
termasuk perbuatan syirik kepada Allah Ta’ala. Firman Allah Ta’ala:
فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Maka janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Ali Imran: 175)
Kedua: Takut
karena sebab-sebab yang dapat dirasakan atau dilihat oleh panca indera,
seperti takut kepada pencuri atau musuh. Takut seperti ini tidaklah
termasuk syirik, dengan syarat tidak mengantarkan seseorang untuk
meninggalkan perintah Allah Ta’ala.
Ketiga: Takut
yang sifatnya tabiat, seperti takut dari binatang buas, takut terbakar,
takut tenggelam dan lain-lain. Takut seperti ini juga tidak termasuk
bentuk syirik kepada Allah Ta’ala atau maksiat kepada-Nya.
(lihat Syarh Tsalatsatil Ushul, Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, dicetak dalam Jami’ Syarah Tsalatsatil Ushul, hal. 129-130)
6. Harap kepada selain Allah Ta’ala,
yaitu apabila seorang mengharap kepada selain Allah Ta’ala
disertai dengan merendahkan diri dan ketundukan maka termasuk
syirik, sebab hal tersebut termasuk ibadah yang tidak boleh
dipersembahkan kepada selain Allah Ta’ala (lihat Syarh Tsalatsatil Ushul, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah, dicetak dalam Jami’ Syarah Tsalatsatil Ushul, hal. 143)
7. Tawakkal kepada selain Allah Ta’ala
Allah Ta’ala telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk selalu bertawakkal kepada-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُواْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Al-Maidah: 23)
Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah rahimahullah
berkata, “Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa tawakkal kepada Allah
adalah ibadah dan hukumnya wajib, maka mempersembahkannya kepada selain
Allah Ta’ala adalah syirik.” (Taysirul ‘Azizil Hamid, hal. 497)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah
berkata, “Tawakkal kepada Allah, serta benarnya penyandaran dan
ketergantungan hati kepada-Nya adalah puncak pengamalan tauhid.” (Fathul Majid, hal. 60)
8. Taat kepada selain Allah dalam perkara maksiat kepada-Nya
Allah Ta’ala berfirman:
اتخذُواْ أَحْبَـارَهُمْ
وَرُهْبَـانَهُمْ أَرْبَاباً مّن دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ
مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهاً واحِداً لاَّ إله
إِلاَّ هُوَ سُبْحَـانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan ulama dan ahli ibadah
mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al
Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang
Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci
Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (At-Taubah: 31)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,
“Tafsir ayat ini telah jelas, yaitu tentang ketaatan kepada ulama dan
kepada ahli-ahli ibadah dalam perkara maksiat kepada Allah. Jadi,
bukanlah maksud ayat ini mereka berdoa kepada ulama dan kepada ahli-ahli
ibadah tersebut. Dan hal ini sebagaimana yang ditafsirkan oleh
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kepada ‘Adi bin Hatim. “ (Ad-Durarus Saniyyah, 2/70)
Maksud beliau adalah sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kepada ‘Adi bin Hatim radhiyallahu’anhu
(seorang sahabat yang dahulunya beragama Kristen), ketika Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam menjelaskan makna ayat dalam surat
at-taubah ayat 31 di atas, beliau bersabda:
أما إنهم لم يكونوا يعبدونهم، ولكنهم كانوا إذا أحلوا لهم شيئاً استحلوه، وإذا حرموا عليهم شيئاً حرموه
“Sesungguhnya orang-orang Kristen
tidaklah beribadah kepada mereka (ulama dan ahli ibadah), akan tetapi
mereka mentaati mereka dalam menghalalkan apa yang Allah haramkan dan
mengharamkan apa yang Allah halalkan (maka itulah yang dimaksud
beribadah kepada mereka).” (HR. At-Tirmidzi, no. 3095, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah, no. 3293 dan Ghayatul Marom, no. 6)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
menjelaskan, “Mereka yang menjadikan ulama dan ahli ibadah sebagai
tandingan-tandingan selain Allah dengan mentaati mereka dalam
menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang Allah
halalkan, dari dua sisi:
Pertama:
Mereka tahu bahwa ulama dan ahli ibadah mereka telah merubah agama
Allah, lalu mereka ikuti agama yang telah dirubah tersebut. Sehinnga
mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang
Allah halalkan demi mengikuti pemimpin-pemimpin (agama) mereka, padahal
mereka tahu bahwa pemimpin-pemimpin tersebut telah menyelisihi agama
Rasul. Maka ini adalah kekafiran. Allah dan Rasul-Nya telah menjadikan
perbuatan ini termasuk syirik, meskipun mereka tidak shalat dan sujud
kepada ulama dan ahli ibadah mereka.
Maka seorang yang mengikuti orang lain
dalam perkara yang bertentangan dengan agama padahal ia mengetahui bahwa
perkara tersebut bertentangan dengan agama dan ia meyakini kebenaran
perkataannya bukan perkataan Allah dan Rasul-Nya, ia pun musyrik seperti
mereka.
Kedua:
Mereka tetap meyakini dan mengimani bahwa yang diharamkan para ulama
dan ahli ibadah mereka adalah halal dan yang dihalalkannya adalah haram,
namun mereka tetap mentaati para ulama dan ahli ibadah tersebut dalam
perkara maksiat kepada Allah, sebagaimana seorang muslim yang melakukan
maksiat dan ia tetap meyakini bahwa perbuatannya itu adalah maksiat,
maka yang seperti ini hukumnya sama dengan hukum bagi pelaku dosa besar
(tidak sampai kafir).” (Majmu’ al-Fatawa, 7/70)
Bagaimana dengan seorang ulama mujtahid yang ijtihadnya salah dan bagaimana pula hukum orang yang mengikuti ijtihad tersebut?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
menjelaskan, “Kemudian orang yang mengharamkan yang halal dan
menghalalkan yang haram apabila ia seorang mujtahid yang bertujuan untuk
mengikuti Rasul namun ia belum mengetahui kebenaran dalam perkara
tersebut dan ia telah bertakwa kepada Allah sesuai kemampuannya, maka
yang seperti ini tidaklah Allah mengadzabnya karena kesalahannya, bahkan
Allah akan membalas dengan kebaikan atas kesungguhannya dalam mentaati
Rabbnya.
Akan tetapi orang yang mengetahui bahwa
sang ulama mujtahid tersebut telah salah, tidak sesuai dengan petunjuk
Rasul, lalu kemudian ia tetap mengikuti kesalahan tersebut dan berpaling
dari perkataan Rasul, maka orang seperti ini telah melakukan satu
bentuk syirik yang dicela oleh Allah Ta’ala.
Terlebih lagi jika ia mengikuti ulama
mujtahid tersebut hanya karena hawa nafsunya sendiri dan ia mendukung
kesalahan tersebut dengan lisan dan tangannya, padahal ia tahu bahwa hal
itu bertentangan dengan petunjuk Rasul, maka ini termasuk syirik yang
mengharuskan pelakunya dihukum.” (Majmu’ al-Fatawa, 7/71)
9. Syirik dalam Niat: Riya’ dan Sum’ah
Riya’ adalah seorang yang memperlihatkan ibadahnya kepada orang lain demi mendapat pujian. Termasuk juga dalam makna ini adalah sum’ah, yakni seorang memperdengarkan atau menceritakan amalannya kepada orang lain demi mendapat pujian.
Berdasarkan tingkatannya, riya’ terbagi dua:
Pertama: Syirik besar,
apabila seorang beribadah dengan niat semata-mata untuk mempertontonkan
amalannya demi mendapat pujian, tidak ada sedikitpun dalam hatinya niat
karena Allah. Hal ini seperti syiriknya orang-orang munafik yang
disebutkan oleh Allah Ta’ala:
وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
“Dan apabila mereka berdiri untuk shalat
mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di
hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit
sekali.” (An-Nisa’: 142)
Kedua: Syirik kecil,
apabila seorang beribadah karena Allah namun niatnya tercampuri dengan
riya’, maka yang seperti ini termasuk syirik kecil yang menyebabkan
tertolaknya ibadah seseorang. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah
memperingatkan:
إن أخوف ما أخاف عليكم الشرك
الأصغر قالوا وما الشرك الأصغر يا رسول الله قال الرياء يقول الله عز و جل
لهم يوم القيامة إذا جزى الناس بأعمالهم اذهبوا إلى الذين كنتم تراؤون في
الدنيا فانظروا هل تجدون عندهم جزاء
“Sesungguhnya yang paling aku takuti
menimpa kalian adalah syirik kecil”, para sahabat bertanya, “apa yang
dimaksud syirik kecil itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “(Syirik
kecil itu) riya’, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman pada hari kiamat kepada
mereka (orang-orang yang riya’ dalam beramal), yaitu ketika Allah
Ta’ala telah membalas amal-amal manusia, (maka Allah katakan kepada
mereka), “pergilah kalian kepada orang-orang yang dahulu kalian
perlihatkan (riya’) amalan-amalan kalian ketika di dunia, maka lihatlah
apakah kalian akan mendapatkan balasan (kebaikan) dari mereka?!” (HR. Ahmad, dihasankan Asy-Syaikh Syu’aib al-Arnauth, no. 23680 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihut Targhib, no. 32)
Peringatan: Meninggalkan amal karena takut dibilang riya’ juga riya’
Seorang yang meninggalkan suatu amalan
karena takut dibilang riya’ juga termasuk perbuatan riya’, sebab ia
meninggalkan amalan karena manusia bukan karena Allah.
Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata,
“Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’ dan beramal karena
manusia adalah syirik. Sedang ikhlas, jika Allah Ta’ala menyelamatkanmu
dari keduanya.” (Riwayat Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no. 6879)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah
menjelaskan, “Makna perkataan beliau, barangsiapa yang telah bertekad
melakukan suatu amalan, kemudian ia meninggalkan amalan tersebut karena
khawatir dilihat orang, maka ia telah melakukan riya’, sebab ia
meninggalkan amalan karena manusia. Adapun jika ia meninggalkan shalat
sunnah di keramaian untuk kemudian mengerjakannya saat tidak dilihat
orang, maka yang seperti ini disunnahkan. Kecuali shalat wajib, atau
zakat wajib, atau ia seorang ulama yang menjadi panutan, maka lebih
afdhal dikerjakan secara terang-terangan.” (Syarhul Arba’in, Al-Imam An-Nawawi, hal. 11)
Apakah mendapat pujian manusia tanpa menginginkannya termasuk riya’?
Apabila seorang telah berusaha untuk
ikhlas dan senantiasa menjauhi riya’ lalu ia mendapat pujian manusia
atas amal-amal shalih yang ia kerjakan, maka pujian tersebut tidak
termasuk riya’, bahkan ia adalah kabar gembira yang dipercepat bagi
seorang mukmin. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah ditanya
tentang seorang yang melakukan kebaikan kemudian dipuji oleh manusia,
maka beliu bersabda:
تلك عاجل بشرى المؤمن
“Hal tersebut merupakan kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin.” (HR. Muslim, no. 6891)
Akan tetapi, janganlah sampai
pujian-pujian manusia tersebut membawa seseorang kepada sifat ujub
(bangga diri, merasa lebih dari yang lain). Karena hakikat sifat ujub
adalah bentuk lain dari riya’.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Riya’ adalah seorang menyekutukan Allah dengan makhluq,
sedang ujub adalah menyekutukan Allah dangan dirinya sendiri.” (Majmu’ Al-Fatawa, 10/277)
Bahaya sifat ujub telah diperingatkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:
ثلاث مهلكات : شح مطاع وهوى متبع وإعجاب المرء بنفسه
“Tiga perkara yang
membinasakan; kebakhilan yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan
kekaguman seseorang terhadap dirinya (ujub).” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no. 731, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah, no. 1802)
10. Syirik dalam Niat: Beramal karena dunia
Bentuk yang kedua dari syirik dalam niat
adalah seorang yang beribadah karena dunia, seperti karena harta,
pangkat, status sosial, wanita, kehormatan, dan lain-lain.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menyebutkan salah satu bab dalam Kitabut Tauhid, “Termasuk kesyirikan, seorang yang beramal karena dunia”, kemudian beliau menyebutkan firman Allah Ta’ala:
مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَواةَ
الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ
فِيهَا لاَ يُبْخَسُونَ أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِى الآخِرَةِ
إِلاَّ النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ
يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan
dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan
pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak
akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat,
kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka
usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan?” (Hud: 15, 16)
Pengecualian:
Diperkecualikan dalam masalah ini, amalan-amalan tertentu yang
diizinkan oleh Allah Ta’ala untuk seorang berniat karena Allah dan juga
berniat untuk mendapatkan ganjaran dari Allah di dunia. Yakni yang
disebutkan dalam nash tentang amalan tertentu, seperti berjihad
karena Allah dan juga untuk mendapatkan ghanimah, Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
من قتل قتيلا فله سلبه
“Barangsiapa yang membunuh musuh (di medan jihad), maka harta orang tersebut menjadi miliknya.” (HR. Malik dalam Al-Muwattho’, no. 1656, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam tahqiq kitab Al-Ayat Al-Bayyinat karya al-Imam Al-Alusi rahimahullah, hal. 56)
Contoh lain, seorang yang menyambung
silaturrahim karena Allah dan juga untuk mendapatkan keluasan rezeki.
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
من سره أن يبسط له في رزقه وأن ينسأ له في أثره فليصل رحمه
“Barangsiapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung kekerabatan.” (HR. Al-Bukhari, no. 5639)
Hal ini diperkecualikan karena telah disebutkan ganjaran-ganjaran tersebut dalam nash, adapun yang tidak disebutkan dalam nash maka tidak boleh. Namun tentunya, jika niat seseorang ikhlas hanya karena Allah semata dalam beramal, itu yang lebih utama.
Bagaimana membedakan tauhid dengan syirik besar dan syirik kecil dalam niat?
Asy-Syaikh Hafiz al-Hakami rahimahullah berkata, “(Pertama):
Apabila faktor pendorong dalam beramal adalah niat karena Allah dan
kehidupan akhirat (surga Allah), selamat dari riya’ dan sesuai dengan
petunjuk syari’at maka itulah amal shalih yang diterima (tauhid). (Kedua):
Apabila faktor pendorong dalam beramal adalah niat selain karena Allah
maka termasuk kemunafikan besar (syirik besar), sama saja apakah seorang
beramal karena kedudukan, kepemimpinan dan mengejar dunia, maupun
seorang yang beramal demi menjaga keselamatan jiwa dan hartanya, dan
selainnya.” (Ma’arijul Qabul, 2/493)
“(Ketiga):
Apabila faktor pendorong dalam beramal adalah niat karena Allah dan
surga-Nya namun dimasuki oleh riya’ dalam menghiasi dan membaguskannya,
maka inilah yang dinamakan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
dengan syirik kecil.” (Ma’arijul Qabul, 2/494)
Bagaimana dengan orang-orang yang belajar di universitas atau di tempat lainnya untuk meraih ijazah atau gelar?
Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah
menjelaskan, “Termasuk perbuatan syirik jika mereka tidak meniatkannya
untuk meraih tujuan-tujuan yang syar’i. Maka kami katakan kepada mereka,
“Jangan kalian niatkan hal tersebut untuk meraih kedudukan duniawi,
tapi niatkan ijazah-ijazah tersebut sebagai sarana untuk bisa bekerja
dalam bidang-bidang yang bisa memberi manfaat untuk sesama”, karena
untuk bekerja di masa sekarang ini (pada umumnya) dipersyaratkan adanya
ijazah, sedang mereka tidak bisa memberi manfaat kepada yang lainnya
kecuali dengan sarana ini. Maka dengan itu niat menjadi selamat (dari
syirik).” (Al-Qaulul Mufid, 2/91-92)
Bagaimana dengan seorang mujahid yang berperang dan mendapatkan ghanimah atau seorang ustadz yang mengajar dan mendapat gaji?
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah
berkata, “Adapun orang yang beramal hanya karena Allah saja dan
senantiasa menyempurnakan keikhlasannya, akan tetapi ia masih mengambil
upah yang telah ditetapkan atas amalannya, yang dengan upah tersebut ia
bekerja (untuk dunia) dan agama, seperti upah para pekerja sosial, mujahid yang mendapatkan ghanimah
atau rezeki (gaji), pengelola masjid, pengajar sekolah dan berbagai
macam kegiatan agama lainnya. Jika seseorang mengambil upah tersebut
maka tidaklah berdampak pada iman dan tauhidnya, karena ia tidak
bermaksud untuk mencari dunia dalam amalannya. Akan tetapi ia niatkan
untuk agama, dan upah yang ia hasilkan pun diniatkan untuk tegaknya
agama.” (Al-Qoulus Sadid, hal. 133)
Wallahu A’la wa A’lam.
(Insya Allah bersambung pada penjelasan macam-macam syirik dalam Rububiyah dan Asma’ was Shifat).
0 komentar:
Posting Komentar