Setelah
membaca komentar pembaca blog saya, seperti ini : Perang Jamal adalah
sebuah bukti, ga mungkin dua2nya benar dan ga mungkin dua2nya salah, di
mana 12000 muslim sahid. taukah anda siapa pemimpin kedua pasukan besar
tersebut, Ahluhsunah sesungguhnya adalah syiah, syiah yang benar dan tidak menyimpang sesuai petunjuk para Imam dan rasulnya, seperti nabi dan rosul yang tidak mungkin berbuat salah para imam pun demikian maksum nya, dan hanya imam pilihan Tuhan yang mempunyai stempel dr Tuhan dan hanya dr bangsa Quraisy. lain itu mengaku dirinya maksum dan imam adalah sebuah kedustaan.
Komentar itu dikirimkan oleh orang yang
terpengaruh dengan pemikiran agama syiah, berikut ini adalah jawaban tuk
menjelaskan tentang kisah perang jamal, dan siapa sesungguhnya dalang
dibalik terjadinya peperangan tersebut.
PERANG JAMAL
Di antara fitnah yang terjadi setelah terbunuhnya ‘Utsman Radhiyallahu anhu adalah perang Jamal yang terjadi antara ‘Ali Radhiyallahu anhu di satu pihak dengan ‘Aisyah, Thalhah, dan Zubair Radhiyallahu anhum di pihak lain.
Di antara fitnah yang terjadi setelah terbunuhnya ‘Utsman Radhiyallahu anhu adalah perang Jamal yang terjadi antara ‘Ali Radhiyallahu anhu di satu pihak dengan ‘Aisyah, Thalhah, dan Zubair Radhiyallahu anhum di pihak lain.
Hal itu ketika ‘Utsman terbunuh, orang-orang mendatangi ‘Ali di Madinah, mereka berkata,
“Berikanlah tanganmu agar kami membai’atmu!”
Lalu beliau menjawab,
“Tunggu, sampai orang-orang bermusyawarah.”
Kemudian sebagian dari mereka berkata,
“Seandainya orang-orang kembali ke
negeri-negeri mereka karena terbunuhnya ‘Utsman, sementara tidak ada
seorang pun yang mengisi posisinya, niscaya tidak akan aman dari
pertikaian dan kerusakan umat.”
Lalu mereka terus mendesak ‘Ali
radhiyallahu anhu agar menerima bai’at mereka, akhirnya mereka
membai’atnya. Di antara orang yang membai’at beliau adalah Thalhah, dan
Zubair Radhiyallahu anhuma. Kemudian keduanya pergi ke Makkah untuk
melakukan umrah.
Di sana mereka ditemui oleh ‘Aisyah
Radhiyallahu anhuma. Setelah berbincang-bincang tentang peristiwa
terbunuhnya ‘Utsman, maka mereka pergi ke Bashrah dan meminta kepada
‘Ali agar menyerahkan orang-orang yang telah membunuh ‘Utsman [1], namun
‘Ali tidak menjawab permohonan mereka karena beliau menunggu keluarga
‘Utsman agar mereka meminta putusan hukum darinya. Jika terbukti bahwa
seseorang adalah di antara pembunuh ‘Utsman, maka dia akan
mengqishasnya.
Setelah itu mereka berbeda pendapat tentangnya, dan
orang-orang tertuduh sebagai pelaku pembunuhan -yaitu orang-orang yang
memberontak kepada ‘Utsman- merasa takut jika mereka bersepakat untuk
memerangi mereka, akhirnya mereka mengobarkan api peperangan di antara
dua kelompok ter-sebut (kelompok ‘Ali dan ‘Aisyah).”[2]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mengabarkan kepada ‘Ali bahwasanya akan terjadi perkara antara dia
dengan ‘Aisyah. Dijelaskan dalam sebuah hadits dari Abu Rafi’,
bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada ‘Ali
bin Abi Thalib:
إِنَّهُ سَيَكُونُ بَيْنَكَ وَبَيْنَ
عَائِشَةَ أَمْرٌ، قَالَ: أَنَا يَا رَسُـولَ اللهِ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ:
فَأَنَا أَشْقَاهُمْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: لاَ، وَلَكِنْ إِذَا كَانَ
ذَلِكَ؛ فَارْدُدْهَا إِلَى مَأْمَنِهَا.
“Sesungguhnya akan terjadi perkara di antara engkau dengan ‘Aisyah.” Dia berkata, “Aku, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Betul.” Dia berkata, “Kalau begitu aku mencelakakan mereka wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, “Tidak, akan tetapi jika hal itu terjadi, maka kembalikanlah ia ke tempatnya yang aman.’” [3]
Di antara dalil yang menunjukkan bahwa
‘Aisyah, Thalhah dan az-Zubair tidak pergi untuk melakukan peperangan
akan tetapi untuk melakukan perdamaian di antara kaum muslimin adalah
apa yang diriwayatkan oleh al-Hakim dari jalan Qais bin Abi Hazim, dia
berkata:
لَمَّا بَلَغَتْ عَـائِشَةُ رَضِيَ اللهُ
عَنْهَا دِيَـارَ بَنِيْ عَامِرٍ، نَبَحَتْ عَلَيْهَا الْكِلاَبُ،
فَقَالَتْ: أَيُّ مَـاءٍ هَذَا؟ قَالُوْا: الْحَوْأَبُ. قَالَتْ: مَا
أَظُنُّنِيْ إِلاَّ رَاجِعَةً. قَالَ لَهَا الزُّبَيْـرُ: لاَ بَعْدُ،
تَقَدَّمِيْ، فَيَرَاكِ النَّاسُ، فَيُصْلِحُ اللهُ ذَاتَ بَيْنِهِمْ.
فَقَالَتْ: مَا أَظُنُّنِيْ إِلاَّ رَاجِعَةً، سَمِعْتُ رَسُـوْلَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: كَيْفَ بِإِحْدَاكُنَّ إِذَا
نَبَحَتْهَا كِلاَبُ الْحَوْأَبِ.
“Sesampainya ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma di perkampungan Bani ‘Amir, anjing-anjing menggonggong, lalu dia berkata, “Air apakah ini?” [4] Mereka berkata, “Al-Hau-ab.” Beliau berkata, “Aku kira aku harus kembali.” Az-Zubair berkata kepadanya, “Tidak nanti saja, teruslah maju, lalu orang-orang akan melihatmu sehingga Allah mendamaikan di antara mereka.” Beliau berkata,
“Aku kira aku harus kembali, aku mendengar Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Apa yang terjadi pada salah seorang di
antara kalian ketika anjing-anjing al-Hau-ab menggonggongnya?’”[5]
Sementara dalam riwayat al-Bazzar dari
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata kepada isteri-isterinya:
أَيَّتُكُنَّ صَاحِبَةُ الْجَمَلِ
اْلأَدْبَبِ، تَخْرُجُ حَتَّى تَنْبَحَهَا كِلاَبُ الْحَوْأَبِ، يُقْتَلُ
عَنْ يَمِيْنِهَا وَعَنْ شِمَالِهَا قَتْلَى كَثِيْرَةٌ، وَتَنْجُو مِنْ
بَعْدِ مَاكَادَتْ.
“Siapakah di antara kalian yang memiliki
unta dengan banyak bulu di mukanya, dia pergi sehingga anjing-anjing
al-Hau-ab menggonggong, di sebelah kanannya dan sebelah kirinya banyak
(orang) yang terbunuh, dan dia selamat padahal sebelumnya hampir saja
(dia pun terbunuh).” [6]
Ibnu Taimiyyah berkata, “Sesungguhnya ‘Aisyah tidak pergi untuk melakukan perang,
beliau pergi hanya untuk melakukan perdamaian di antara kaum muslimin,
dan beliau mengira bahwa kepergiannya itu mengandung kemaslahatan bagi
kaum muslimin, kemudian setelah itu beliau
sadar bahwa tidak keluar lebih utama, maka jika beliau mengingat
kepergiannya itu, beliau menangis sehingga kerudungnya basah, dan
demikianlah kebanyakan Salaf, mereka merasa menyesal atas peperangan
yang mereka lakukan. Maka Thal-hah, az-Zubair dan ‘Ali pun merasa menyesal Radhiyallahu anhum.”
Pada peristiwa perang Jamal sama sekali
tidak ada niat dari mereka untuk melakukan peperangan, akan tetapi
terjadinya peperangan bukan atas pilihan mereka. Karena ketika ‘Ali,
Thalhah dan az-Zubair saling berkirim surat, mereka bermaksud untuk
mengadakan kesepakatan damai.
Jika mungkin, mereka akan meminta kepada para penebar fitnah untuk menyerahkan orang-orang yang telah membunuh ‘Utsman.
‘Ali sama sekali tidak ridha terhadap
orang yang telah membunuh ‘Utsman, dia juga bukan orang yang membantu
pembunuhan tersebut, sebagaimana ia bersumpah, “Demi Allah aku tidak membunuh ‘Utsman dan tidak mendukung pembunuhannya.”
Sedangkan dia adalah orang yang berkata benar lagi jujur dalam sumpahnya. Kemudian
para pembunuh takut jika ‘Ali bersepakat dengan mereka untuk menahan
orang-orang yang telah membunuh ‘Utsman, lalu mereka membawa pasukan
untuk menyerang Thalhah dan az-Zubair, sehingga Thalhah dan az-Zubair
menyangka bahwa ‘Ali telah menyerangnya. Kemudian mereka membawa
pasukan untuk melakukan pertahanan sehingga ‘Ali menyangka bahwa mereka
telah menyerangnya, sehingga beliau pun melakukan pertahanan.
Akhirnya terjadilah fitnah (peperangan) bukan atas keinginan mereka. Sedangkan ‘Aisyah hanya menunggangi unta dan tidak ikut dalam peperangan, juga tidak memerintah untuk melakukan peperangan. Demikianlah yang diungkapkan oleh lebih dari satu orang ulama dan ahli khabar.[7]
[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah,
Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan
Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah
Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Abu Bakar Ibnul ‘Arabi dalam kitabnya al-‘Awaashim minal Qawaashim berpendapat, “Sesungguh-nya mereka berangkat ke Bashrah untuk mengadakan perdamaian di antara kaum muslimin.” Beliau berkata, “Inilah yang benar, dan bukan untuk tujuan selain itu, dan hal ini didukung oleh berbagai kabar shahih yang menjelaskannya.”
Lihat al-‘Awaashim (hal. 151).
[2]. Lihat penjelasan rincinya dalam kitab Fat-hul Baari (XIII/54-59).
[3]. Musnad Imam Ahmad (VI/393, dengan catatan pinggir Muntakhab Kanzul ‘Ummal).
Hadits ini hasan. Lihat Fat-hul Baari (XIII/55).
[4]. الْحَوْأَب sebuah tempat dekat Bashrah. Tempat itu di antara sumber air pada zaman Jahiliyyah, dan merupakan jalan yang ditempuh oleh orang yang datang dari Makkah menuju Bashrah. Dinamakan al-Hau-ab dinisbatkan kepada Abu Bakar bin Kilab al-Hau-ab, atau nisbat kepada al-Hau-ab binti Kalb bin Wabrah al-Qudha’iyyah.
Lihat Mu’jamul Buldaan (II/314), dan catatan pinggir Muhibbuddin al-Khatib atas kitab al-‘Awaa-shiim minal Qawaashim (hal. 148).
[5]. Mustadrak al-Hakim (III/120).
Ibnu Hajar berkata, “Sanadnya berdasarkan syarat ash-Shahiih.” Lihat Fat-hul Baari (XIII/55).
Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Ya’la, al-Bazzar, dan perawi Ahmad adalah perawi ash-Shahiih.” (Majma’uz Zawaa-id VII/237).
Hadits ini terdapat dalam Musnad Imam Ahmad (VI/52, dengan catatan pinggir Muntakhab Kanzul ‘Ummal).
[6]. Fat-hul Baari (XIII/55), Ibnu Hajar berkata, “Para perawinya tsiqah.”
Al-Imam Abu Bakar Ibnul ‘Arabi mengingkari hadits al-Hau-ab dalam kitabnya al-‘Awaashim minal Qawaashim (hal. 161), pendapat itu diikuti oleh Syaikh Muhibbuddin al-Khatib dalam ta’liqnya terhadap kitab al-‘Awashim, dan beliau menyebutkan bahwa hadits tersebut sama sekali tidak ter-maktub di dalam kitab-kitab Islam yang diakui.
Akan tetapi hadits tersebut shahih, hadits tersebut dishahihkan oleh al-Haitsami dan Ibnu Hajar sebagaimana dijelaskan terdahulu. Al-Hafizh dalam kitab Fat-hul Baari (XIII/55) pada pembahasannya terhadap hadits al-Hau-ab berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Ya’la, al-Bazzar, di-shahihkan oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, dan sanadnya berdasarkan syarat al-Bukhari.”
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah, dan beliau membantah orang yang membatalkan keshahihan hadits ini. Beliau menjelaskan bahwa yang me-riwayatkannya adalah di antara para Imam. Lihat as-Silsilah (jilid 1, juz 4-5/223-233) (no. 475).
[7]. Minhaajus Sunnah (II/185).
_______
Footnote
[1]. Abu Bakar Ibnul ‘Arabi dalam kitabnya al-‘Awaashim minal Qawaashim berpendapat, “Sesungguh-nya mereka berangkat ke Bashrah untuk mengadakan perdamaian di antara kaum muslimin.” Beliau berkata, “Inilah yang benar, dan bukan untuk tujuan selain itu, dan hal ini didukung oleh berbagai kabar shahih yang menjelaskannya.”
Lihat al-‘Awaashim (hal. 151).
[2]. Lihat penjelasan rincinya dalam kitab Fat-hul Baari (XIII/54-59).
[3]. Musnad Imam Ahmad (VI/393, dengan catatan pinggir Muntakhab Kanzul ‘Ummal).
Hadits ini hasan. Lihat Fat-hul Baari (XIII/55).
[4]. الْحَوْأَب sebuah tempat dekat Bashrah. Tempat itu di antara sumber air pada zaman Jahiliyyah, dan merupakan jalan yang ditempuh oleh orang yang datang dari Makkah menuju Bashrah. Dinamakan al-Hau-ab dinisbatkan kepada Abu Bakar bin Kilab al-Hau-ab, atau nisbat kepada al-Hau-ab binti Kalb bin Wabrah al-Qudha’iyyah.
Lihat Mu’jamul Buldaan (II/314), dan catatan pinggir Muhibbuddin al-Khatib atas kitab al-‘Awaa-shiim minal Qawaashim (hal. 148).
[5]. Mustadrak al-Hakim (III/120).
Ibnu Hajar berkata, “Sanadnya berdasarkan syarat ash-Shahiih.” Lihat Fat-hul Baari (XIII/55).
Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Ya’la, al-Bazzar, dan perawi Ahmad adalah perawi ash-Shahiih.” (Majma’uz Zawaa-id VII/237).
Hadits ini terdapat dalam Musnad Imam Ahmad (VI/52, dengan catatan pinggir Muntakhab Kanzul ‘Ummal).
[6]. Fat-hul Baari (XIII/55), Ibnu Hajar berkata, “Para perawinya tsiqah.”
Al-Imam Abu Bakar Ibnul ‘Arabi mengingkari hadits al-Hau-ab dalam kitabnya al-‘Awaashim minal Qawaashim (hal. 161), pendapat itu diikuti oleh Syaikh Muhibbuddin al-Khatib dalam ta’liqnya terhadap kitab al-‘Awashim, dan beliau menyebutkan bahwa hadits tersebut sama sekali tidak ter-maktub di dalam kitab-kitab Islam yang diakui.
Akan tetapi hadits tersebut shahih, hadits tersebut dishahihkan oleh al-Haitsami dan Ibnu Hajar sebagaimana dijelaskan terdahulu. Al-Hafizh dalam kitab Fat-hul Baari (XIII/55) pada pembahasannya terhadap hadits al-Hau-ab berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Ya’la, al-Bazzar, di-shahihkan oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, dan sanadnya berdasarkan syarat al-Bukhari.”
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah, dan beliau membantah orang yang membatalkan keshahihan hadits ini. Beliau menjelaskan bahwa yang me-riwayatkannya adalah di antara para Imam. Lihat as-Silsilah (jilid 1, juz 4-5/223-233) (no. 475).
[7]. Minhaajus Sunnah (II/185).
sumber: http://almanhaj.or.id/content/3206/slash/0
0 komentar:
Posting Komentar