Semua pelaku bid’ah mengaku berniat baik dalam melakukan bid’ahnya
Sungguh telah benar apa yang telah dikabarkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam,
بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ غَرِيْبًا كَمَا بَدَأَ
((Islam ini muncul dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana awal kemunculannya)).
Bid’ah telah tersebar dan merajalela di mana-mana bahkan telah mengakar dalam kehidupan kaum muslimin hingga
orang awam menganggapnya merupakan syari’at Islam yang tegak dan apa
saja yang menyelisihinya adalah kebatilan. Adapun orang yang berpegang
teguh dengan sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam maka akan dianggap
oleh mereka telah keluar dari sunnah dan telah membawa bid’ah (perkara yang baru).
Pembahasan bid’ah merupakan pembahasan yang sangat penting karena
semua penyimpangan dan kesesatan yang bermunculan dalam
kelompok-kelompok sesat asal muasalnya adalah karena bid’ah yang telah
mereka lakukan yang menyelisihi apa yang telah dijalani oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, baik penyimpangan tersebut dalam masalah aqidah (keyakinan) maupun dalam perkara amalan.
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي
فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ
الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ تَمَسَّكُوْا بِهَا
وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ
فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
((…karena seseungguhnya barang siapa diantara kalian yang hidup sepeninggalku maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnah-sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah-sunnah tersebut dengan geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru karena setiap bid’ah adalah kesesatan)) (HR
Abu Dawud 4/200 no 4607 dan adalah lafal Abu dawud, Al-Hakim 1/174 dan
beliau berkata, “Ini adalah hadits yang shahih yang tidak ada
‘illahnya”, Ibnu Hibban 1/180).
Cukuplah kenyataan yang kita saksikan sekarang ini dalam dunia Islam menjadi bukti besarnya bahaya bid’ah. Betapa banyak kelompok sesat yang ada di dunia Islam. Ada Al-Qur’aniun (kelompok yang menolak seluruh hadits-hadits Nabi), Ahmadiah (golongan yang mengaku ada Nabi baru), Mu’tazilah (yang menolak hadits-hadits ahad, bahkan menolak hadits-hadits mutawatir seperti hadits-hadits yang menerangkan tentang adanya adzab qubur), Jema’ah-jema’ah takfir yang jumlahnya sangat banyak
(yaitu jema’ah-jema’ah yang mengkafirkan orang-orang yang berada diluar
golongannya karena tidak berbai’at kepada imam mereka), kelompok tharekat-tharekat sufiah yang sesat yang jumlahnyapun sangat banyak (yang beribadah atau berdzikir dengan cara-cara yang khusus, setiap tharekat caranya berbeda dengan taharekat yang lain), kelompok yang menganggap diri mereka telah sampai pada derajat hakekat sehingga boleh meninggalkan syari’at sehingga tidak perlu sholat lagi, Syi’ah yang menghalalkan nikah kontrak (walaupun hanya satu jam saja pernikahannya setelah itu langsung cerai yang tidak lain ini adalah perzinahan) dan mengkafirkan sebagian besar para sahabat (termasuk Abu Bakar Umar yang telah dijamin masuk surga), Wihdatul wujuud (yang
menyakini bahwa Allah menitis pada makhluknya), Jahmiyyah (yang
meyakini bahwa Allah tidak memiliki sifat) dan masih banyak sekali
kelompok-kelompok yang lain.
Yang anehnya setiap kelompok merasa diri merekalah yang paling benar. Tidaklah kesesatan mereka timbul kecuali karena bid’ah yang mereka ada-adakan. Setiap kelompok punya bid’ah khusus
yang tidak terdapat pada kelompok yang lain. Dan kelompok-kelompok
tersebut jika ditanya tentang niat mereka dalam melakukan bid’ah maka semuanya akan menyatakan niat mereka adalah baik dalam rangka untuk membenahi cara beragama kaum muslimin.
- Jika Jahmiyyah ditanya : Kenapa kalian menyatakan bahwa Allah tidak memiliki sifat, Allah tidak berilmu, Allah tidak maha mendengar?, maka mereka akan menjawab : Niat
kami baik, kami ingin mensucikan Allah dari sifat-sifat makhluk, karena
melihat, berilmu, dan mendengar merupakan sifat-sifat makhluk.
- Jika mu’tazilah ditanya : Kenapa kalian juga menolak sifat, bahkan kalian mengatakan bahwa Allah tidak bisa dilihat baik di dunia maupun di akhirat?, maka mereka akan berkata : Niat
kami baik, karena kami ingin mensucikan Allah dari sifat jismiyah,
karena sesuatu yang bisa dilihat pasti dilihat dari suatu arah, dan
sesuatu yang ada di suatu arah pasti berjism
- Jika Asyaa’iroh mutaakhirin ditanya : Kenapa kalian menyatakan bahwa Allah tidak di atas dan tidak di bawah, tidak di dalam alam dan tidak di luar alam?, maka mereka akan menjawab : Niat
kami baik, karena kami ingin mensucikan Allah dari sifat-sifat makhluk,
karena yang berada di atas adalah makhluk yang berjism, demikian juga
yang di bawah.
- Jika Syi’ah ditanya : Kenapa kalian menyayat tubuh kalian hingga berdarah tatkala memperingati hari Asyuuroo?, maka mereka akan menjawab : Niat
kami baik untuk ikut merasakan kesedihan dan kepedihan yang dirasakan
oleh Imam Al-Husain yang terbunuh tatkala hari asyuuroo.
Seluruh pelaku bid’ah berniat baik tatkala melakukan bid’ahnya.Namun perkaranya sebagaimana perkataan Ibnu Mas’uud radhiallahu ‘anhu :
وَكَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيْبَهُ
“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan akan tetapi tidak meraihnya”
Niat baik??, tidak cukup!!!
Suatu amalan tidak bisa dikatakan bahwa
amalan tersebut merupakan amalan yang sholeh dan diterima oleh Allah
kecuali jika memanuhi dua persyaratan. Harus dibangun diatas niat yang
ikhlas dan harus sesuai dengan syari’at Rasulullah. Jika salah satu dari
dua perkara ini tidak ada maka amalan tersebut tidak akan diterima di
sisi Allah walaupun nampaknya seperti amalan sholeh.
Ibadah membutuhkan keikhlasan (pemurnian
niat) karena sesungguhnya ibadah hanyalah ditujukan kepada Allah.
Barangsiapa yang beribadah kepada Allah dan juga beribadah kepada selain
Allah berarti dia tidak memurnikan niatnya. Demikian juga ibadah
membutuhkan pemurnian dalam mencontohi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam. Tidaklah ada satu ibadahpun kecuali harus sesuai dengan contoh
yang diberikan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa
yang ibadahnya tidak berdasarkan contoh yang diberikan Rasulullah
berarti ia tidak memurnikan teladan kepada Rasulullah. Inilah
konsekuensi dari syahadatain yang merupakan pondasi setiap muslim.
Syahadat yang pertama “Aku bersaksi bahwa
tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah”,
konsekuensinya tidak boleh kita menyembah (menyerahkan ibadah kita)
kepada selain Allah.
Allah berfirman:
﴿وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ﴾ (البينة: من الآية5)
“Padahal mereka tidak disuruh, kecuali
supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus”
Syahadat yang kedua “Dan aku bersaksi
bahwa Muhammad adalah utusan Allah”, konsekuensinya tidak boleh kita
mengambil syariat kecuali dari syari’at Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam. Barangsiapa yang membuat syari’at baru yang tidak dicontohkan
oleh Rasulullah maka berarti dia tidak memurnikan syahadatnya kepada
Rasulullah dan syari’at barunya itu tertolak dan tidak diterima oleh
Allah meskipun niatnya baik, bahkan ia berhak mendapatkan dosa. Oleh
karena itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam agama maka akan tertolak” (HR Al-Bukhari no 2697 dan Muslim no 1718)
“Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam agama maka akan tertolak” (HR Al-Bukhari no 2697 dan Muslim no 1718)
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak diperintahkan oleh kami maka amalan tersebut tertolak” (HR Muslim no 1718)
Berikut ini beberapa bukti bahwa niat yang baik saja tidak cukup
untuk menjadikan suatu amalan adalah amalan sholeh yang diterima di sisi
Allah.Contoh yang pertama
عَنِ الْبَرَاء بْنِ عَازِبٍ قَالَ :
خَطَبَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ
النَّحْرِ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَقَالَ : مَنْ صَلَّى صَلاَتَنَا وَنَسَكَ
نُسُكَنَا فَقَدْ أَصَابَ النُّسُكَ وَمَنْ نَسَكَ قَبْلَ الصَّلاَةِ
فَتِلْكَ شَاةُ لَحْمٍ (وفي رواية:فَلْيَذْبَحْ أُخرى مَكَانَهَا).
فقام أبو بردة بن نِيَارٍ فقال : يا رسولَ
الله واللهِ لَقَدْ نَسَكْتُ قبلَ أنْ أَخْرُجَ إلى الصَّلاةِ وَعَرَفْتُ
أن اليومَ يومُ أكلٍ وشُرْبٍ فَتَعَجَّلْتُ وأكلتُ وأطعمتُ أهْلِي
وَجِيْرَانِي، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : تِلْكَ شَاةُ لَحْمٍ
Dari Al-Baro’ bin ‘Azib, ia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah kepada kami pada
waktu hari ‘iedul adha, lalu ia berkata, “Barangsiapa yang sholat ‘ied
kemudian menyembelih hewan kurban maka dia telah benar dan barangsiapa
yang menyembelih sebelum sholat ‘ied maka sembelihannya hanyalah
sembelihan biasa (bukan sembelihan kurban) (Dalam riwayat yang lain (HR
Al-Bukhari no 985) “Maka hendaknya ia menyembelih sembelihan yang lain
sebagai gantinya!)”. Abu Burdah bin Niyaar berdiri dan berkata, “Ya
Rasulullah, demi Allah aku telah menyembelih sembelihanku sebelum aku
keluar untuk shalat ‘Ied, dan aku mengetahui bahwasanya hari ini adalah
hari makan minum maka akupun bersegera (menyembelihnya) lalu memakannya
dan aku memberi makanan kepada keluargaku dan para tetanggaku”. Maka
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Daging sembelihanmu
itu hanyalah daging biasa (bukan daging kurban)”( HR Al-Bukhari no 983)
Dalam riwayat yang lain Abu Burdah berkata, وَ أَحببْتُ أن تَكون شَاتِي أولَ مَا يُذْبَح فِي بيتِي “Aku ingin agar kambingku adalah kambing yang pertama kali disembelih di rumahku” (HR Al-Bukhari no 955)
Dalam riwayat yang lain (HR Muslim
3/1552) Abu Burdah berkata, وَإنِّي عَجَّلْتُ نَسِيْكَتِي لِأُطْعِمَ
أهلي وجيراني وأهلَ دَاري “Ya Rasulullah, aku bersegera memotong sembelihanku untuk memberi makan keluargaku, para tetanggaku, dan para familiku!”
Berkata Ibnu Hajar, “Syaikh Abu Muhammad bin Abi Hamzah berkata, “Hadits ini menunjukan bahwa suatu amalan meskipun dibangun di atas niat yang baik namun jika tidak sesuai dengan syari’at maka tidak sah”” (Fathul Bari 10/22, syarh hadits no 5557)
Berkata Ibnu Hajar, “Syaikh Abu Muhammad bin Abi Hamzah berkata, “Hadits ini menunjukan bahwa suatu amalan meskipun dibangun di atas niat yang baik namun jika tidak sesuai dengan syari’at maka tidak sah”” (Fathul Bari 10/22, syarh hadits no 5557)
Lihatlah bagaimana niat baik Abu Burdah
tidak menjadikan sembelihan kurbannya diterima padahal ia melakukannya
bukan karena sengaja melanggar syari’at Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam, namun ia melakukannya karena tidak tahu akan hal itu. Padahal
kalau kita renungkan bisa jadi ide Abu Burdah tersebut merupakan ide
yang sangat cemerlang, apalagi di zaman kita sekarang ini yang terkadang
sholat ‘iednya lama, kalau para jama’ah pulang dari sholat dalam
keadaan lapar dan hewan sembelihan kurban telah siap dihidangkan (karena
telah disembelih sebelum sholat ‘ied) maka sungguh baik. Namun ide yang
cemerlang ini melanggar syari’at Nabi dan meskipun disertai dengan niat
yang baik tidak bisa menjadikan amalan tersebut diterima.
Contoh yang kedua
عن أنس قال : لَمْ يَكُنْ شَخْصٌ أَحَبّ
إِليهم مِنْ رسولِ الله صَلَّى اللهُ عليه وَسَلَّم قال وَكَانُوا إِذَا
رَأَوْهُ لَمْ يَقُوْمُوا لِمَا يَعْلَمُوْنَ مِنْ كَرَاهِيَتِهِ لَذَلِكَ
Anas bin Malik berkata, “Tidak
seorangpun di dunia ini yang lebih mereka (para sahabat) cintai melebihi
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, namun jika mereka melihat
Rasulullah mereka tidak berdiri karena mengetahui bahwa Rasulullah
membenci akan hal itu” (HR At-Thirmidzi no 2763, Ibnu Abi Syaibah
dalam musonnafnya (5/234), dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam
As-Shahihah (1/698))
Berkata Imam An-Nawawi, “…Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam khawatir akan menimpa para sahabat fitnah
jika mereka terlalu berlebih-lebihan dalam mengagungkan dirinya, maka
beliau membenci jika para sahabat berdiri dikarenakan akan hal ini
sebagaimana sabda beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam : لا
تُطْرُوْنِي “Janganlah kalian terlalu berlebih-lebihan kepadaku…”
(Fathul Bari 11/64, syarh hdits no 6262)
Setiap kita mengetahui bahwa sifat dasar
manusia adalah ingin dihargai dan dihormati. Oleh karena itu banyak
orang yang senang jika tatkala ia masuk dalam ruangan kemudian para
hadirin yang tadinya dudukpun berdiri menghormatinya. Bahkan hal ini
dipraktekan dalam lembaga-lembaga perkantoran, hingga dilingkungan
pendidikan. Bahkan tak jarang seorang guru marah jika ia masuk ke dalam
kelas kemudian murid-muridnya tidak berdiri menghormatinya. Oleh karena
itu merupakan ide yang cemerlang jika datang seseorang yang terhormat
lantas kita berdiri untuk menghormatinya, tentunya ia akan merasa
senang. Demikian juga hal ini terlintas di benak para sahabat untuk
berdiri menghormati Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam jika ia
datang. Namun ide yang cemerlang ini mereka timbang dengan sunnah Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata sunnah Nabi menunjukan bahwa
Nabi tidak suka akan hal itu, maka para sahabatpun tidak
mempraktekannya.
Contoh yang ketiga
جاء ثلاثة رهط إلى بيوت أزواج النبي صلى
الله عليه وسلم يسألون (وفي رواية: سألوا أزواج النبي صلى الله عليه
وسلم عن عمله في السر) عن عبادة النبي صلى الله عليه وسلم فلما أخبروا
كأنهم تُقَالُّوْهَا فقالوا وأين نحن من النبي صلى الله عليه وسلم قد غفر
الله له ما تقدم من ذنبه وما تأخر قال أحدهم أمَّا أنا فإني أصلي الليل
أبدا وقال آخر انا أصوم الدهر ولا أفطر وقال آخر أنا أعتزل النساء فلا
أتزوج أبدا فجاء رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال أنتم الذين قلتم كذا
وكذا أمَا والله إني لأخشاكم لله وأتقاكم له لكني أصوم وأفطر وأصلي وأرقد
وأتزوج النساء فمن رغب عن سنتي فليس مني
Dari Anas bin Malik, Ia berkata, :Datang
tiga orang ke rumah istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,
mereka bertanya tentang ibadah Nabi (Dalam riwayat Muslim: “Mereka
bertanya kepada istri-istri Nabi tentang amalan Nabi yang tidak
terang-terangan). Tatkala mereka diberitahu tentang ibadah Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam seakan-akan mereka merasa bahwa ibadah
tersebut sedikit, maka mereka berkata, “Dimanakah kita jika dibanding
dengan Nabi?, ia telah dimaafkan dosa-dosanya oleh Allah baik yang telah
lalu maupun yang akan datang”. Seorang diantara mereka berkata, “Adapun
aku maka aku akan sholat malam selama-lamanya (tidak tidur malam)”,
yang lainnya berkata, “Saya akan puasa dahar dan aku tidak akan pernah
buka”, dan berkata yang lainnya, “Aku akan menjauhi para wanita, dan aku
tidak akan menikah selama-lamanya”. Lalu datanglah Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Apakah kalian yang telah
berkata demikian dan demikian?, ketahuilah, demi Allah sesungguhnya aku
adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah
daripada kalian, namun aku berpuasa dan berbuka, aku sholat (yaitu
sholat malam) dan tidur, dan aku menikahi para wanita. Barangsiapa yang
benci terhadap sunnahku maka dia bukan termasuk dariku” (HR Al-Bukhari no 5063, dalam riwayat Muslim (2/1020) وقال بعضهم لا آكل اللحم وقال بعضهم لا أنام على فراش “Berkata
salah seorang dari mereka, “Aku tidak akan memakan daging”, berkata
yang lain, “Aku tidak akan tidur di atas tempat tidur” )
Ibnu Hajar berkata “Dan dalam riwayat
yang mursal dari Sa’id ibnul Musayyib sebagaimana dikeluarkan oleh
Abdurrozaq dalam musonnafnya (6/167) bahwasanya tiga orang tersbut
adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash dan Utsman bin
Madz’un” (Fathul Bari 9/132)
Kalau kita perhatikan mereka tiga orang
tersebut menghendaki kebaikan, bahkan sama sekali mereka tidak
menghendaki keburukan. Apakah perkataan salah seorang dari mereka “Saya
akan menjauhi para wanita” karena ia lemah syahwat??, tentu tidak, namun
tidak lain adalah untuk beribadah kepada Allah. Perkataan salah seorang
dari mereka “Saya akan sholat malam selama-lamanya” menunjukan ia akan
sungguh-sungguh bermujahadah melawan hawa nafsunya demi beribadah sujud
kepada Allah. Mereka memandang bahwa kehidupan dunia ini fana lalu
merekapun mengedepankan hak Allah dari pada kesenangan kehidupan
duniawi. Tatkala mereka mengetahui ibadah Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam yang telah dimaafkan dosa-dosa beliau baik yang telah lampau
maupun yang akan datang, maka mereka berkesimpulan bahwa ibadah mereka
harus lebih banyak dari apa yang telah diamalkan oleh Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam karena tidak ada jaminan ampunan dosa-dosa mereka yang
telah lampau apalagi dosa-dosa yang akan datang. Mereka beranggapan
bahwa barangsiapa yang tidak dijamin ampunan dosa-dosanya maka harus
berlebih-lebihan dalam beribadah dengan harapan memperoleh ampunan Allah
dengan ibadah yang berlebih-lebihan tersebut. (Lihat penjelasan Ibnu
Hajar dalam Al-Fath 9/132). Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam membantah
persangkaan mereka dengan berkata إني لأخشاكم لله وأتقاكم له
“Sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa
kepada Allah dibanding kalian” untuk menjelaskan bahwa bukan merupakan
suatu kelaziman bahwa orang yang lebih takut kepada Allah (karena belum
jelas jaminan ampunan dosa) harus berlebih-lebihan dalam beribadah,
karena bagaimanapun juga Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam (walaupun
telah diampunkan dosa-dosa) beliaulah yang lebih takut kepada Allah
dibandingkan mereka, namun beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak
berlebih-lebihan dalam beribadah. (Lihat Fathul Bari 9/132) Nabi tidak
berkata kepada mereka “Bersungguh-sungguhlah, teruskan niat baik kalian
semoga Allah memberi taufik kepada kalian dan memudahkan kesungguhan
kalian dalam beribadah kepada Allah”, namun Nabi sama sekali tidak
memberi kesempatan kepada mereka. Nabi tidak memandang niat baik mereka,
karena amal yang hendak mereka lakukan tidak sebagaimana yang
dicontohkan Nabi. Bahkan Nabi membantah perkataan mereka satu persatu,
beliau berkata “aku berpuasa dan berbuka” untuk membantah perkataan
orang yang pertama, “aku sholat (yaitu sholat malam) dan tidur” untuk
membantah perkataan orang yang kedua, “dan aku menikahi para wanita”
untuk membantah perkataan orang yang ketiga, kemudian Nabi mengakhiri
bantahannya dengan perkataannya yang keras “Barangsiapa yang membenci
sunnahku maka ia tidak termasuk dariku”
Contoh yang keempat
أَخْبَرَنَا الْحَكَمُ بْنُ الْمُبَارَكِ
أَنْبَأَنَا عَمْرُو بْنُ يَحْيَى قَالَ سَمِعْتُ أَبِى يُحَدِّثُ عَنْ
أَبِيهِ قَالَ : كُنَّا نَجْلِسُ عَلَى بَابِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
مَسْعُودٍ قَبْلَ صَلاَةِ الْغَدَاةِ ، فَإِذَا خَرَجَ مَشَيْنَا مَعَهُ
إِلَى الْمَسْجِدِ ، فَجَاءَنَا أَبُو مُوسَى الأَشْعَرِىُّ فَقَالَ :
أَخَرَجَ إِلَيْكُمْ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ بَعْدُ؟ قُلْنَا : لاَ ،
فَجَلَسَ مَعَنَا حَتَّى خَرَجَ ، فَلَمَّا خَرَجَ قُمْنَا إِلَيْهِ
جَمِيعاً ، فَقَالَ لَهُ أَبُو مُوسَى : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ
إِنِّى رَأَيْتُ فِى الْمَسْجِدِ آنِفاً أَمْراً أَنْكَرْتُهُ ، وَلَمْ
أَرَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ إِلاَّ خَيْراً. قَالَ : فَمَا هُوَ؟ فَقَالَ :
إِنْ عِشْتَ فَسَتَرَاهُ – قَالَ – رَأَيْتُ فِى الْمَسْجِدِ قَوْماً
حِلَقاً جُلُوساً يَنْتَظِرُونَ الصَّلاَةَ ، فِى كُلِّ حَلْقَةٍ رَجُلٌ ،
وَفِى أَيْدِيهِمْ حَصًى فَيَقُولُ : كَبِّرُوا مِائَةً ، فَيُكَبِّرُونَ
مِائَةً ، فَيَقُولُ : هَلِّلُوا مِائَةً ، فَيُهَلِّلُونَ مِائَةً ،
وَيَقُولُ : سَبِّحُوا مِائَةً فَيُسَبِّحُونَ مِائَةً. قَالَ : فَمَاذَا
قُلْتَ لَهُمْ؟ قَالَ : مَا قُلْتُ لَهُمْ شَيْئاً انْتِظَارَ رَأْيِكَ
أَوِ انْتِظَارَ أَمْرِكَ. قَالَ : أَفَلاَ أَمَرْتَهُمْ أَنْ يَعُدُّوا
سَيِّئَاتِهِمْ وَضَمِنْتَ لَهُمْ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِهِمْ.
ثُمَّ مَضَى وَمَضَيْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَى حَلْقَةً مِنْ تِلْكَ
الْحِلَقِ ، فَوَقَفَ عَلَيْهِمْ فَقَالَ : مَا هَذَا الَّذِى أَرَاكُمْ
تَصْنَعُونَ؟ قَالُوا : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَصًى نَعُدُّ بِهِ
التَّكْبِيرَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّسْبِيحَ. قَالَ : فَعُدُّوا
سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ
شَىْءٌ ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ ،
هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- مُتَوَافِرُونَ
وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ ، وَالَّذِى
نَفْسِى فِى يَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِىَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ
مُحَمَّدٍ ، أَوْ مُفْتَتِحوا بَابِ ضَلاَلَةٍ. قَالُوا : وَاللَّهِ يَا
أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ
مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ ، إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- حَدَّثَنَا أَنَّ قَوْماً يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ
يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ ، وَايْمُ اللَّهِ مَا أَدْرِى لَعَلَّ
أَكْثَرَهُمْ مِنْكُمْ. ثُمَّ تَوَلَّى عَنْهُمْ ، فَقَالَ عَمْرُو بْنُ
سَلِمَةَ : رَأَيْنَا عَامَّةَ أُولَئِكَ الْحِلَقِ يُطَاعِنُونَا يَوْمَ
النَّهْرَوَانِ مَعَ الْخَوَارِجِ
Berkata Imam Ad-Darimi dalam sunannya,
“Telah mengabarkan kepada kami Al-Hakam bin Al-Mubarok, ia berkata,
“Telah mengabarkan kepada kami Umar bin Yahya”, ia berkata, “Aku
mendengar ayahku menyampaikan hadits dari ayahnya”, ia berkata, “Kami
duduk di depan pintu rumah Abdullah bin Mas’ud sebelum sholat subuh,
jika ia keluar dari rumahnya maka kamipun berjalan bersamanya menuju
mesjid. Lalu datang Abu Musa Al-As’ari dan berkata, “Apakah Abu
Abdirrohman (yaitu Abdullah bin Mas’ud) telah keluar menemui kalian?”,
kami katakan, “Belum”, maka iapun duduk bersama kami hingga keluar
Abdullah bin Mas’ud. Tatkala Abdullah bin Mas’ud keluar dari pintunya
kamipun semua berdiri menuju kepadanya, lalu Abu Musa berkata kepada
Abdullah bin Mas’ud, “Ya Abu Abdirrahman, aku baru saja melihat suatu
perkara yang aku ingkari di mesjid, namun menurutku –alhamdulillah-
adalah perkara yang baik”. Abdullah berkata, “Perkara apakah itu?”, Abu
Musa berkata, “Jika engkau panjang umur maka engkau akan melihatnya, aku
telah melihat di mesjid sekelompok manusia yang duduk
berhalaqoh-halaqoh menunggu sholat. Di setiap halaqoh ada seorang (yang
memimpin mereka) dan ditangan mereka ada kerikil-kerikil. Maka orang ini
berkata, “Bertakbirlah seratus kali!” maka merekapun bertakbir seratus
kali. Ia berkata, “Bertahlillah seratus kali!” maka merekapun bertahlil
seratus kali. Ia berkata, “Bertasbihlah seratus kali!” maka merekapun
bertasbih seratus kali.”. Abdullah berkata, “Apa yang kau katakan kepada
mereka?”, Abu Musa berkata, “Aku tidak mengatakan sesuatupun karena
menanti pendapatmu atau perintahmu”. Berkata Abdullah, “Kenapa engkau
tidak memerintahkan mereka untuk menghitung-hitung kesalahan-kesalahan
mereka dan engkau menjamin bahwa kebaikan-kebaikan mereka tidak akan
hilang!”. Kemudian berjalanlah Abdullah bin Mas’ud dan kamipun berjalan
bersamanya hingga ia mendatangi salah satu dari halaqoh-halaqoh tersebut
dan iapun berdiri di hadapan mereka dan berkata, “Apa ini yang sedang
kalian lakukan?”, mereka berkata, “Ini adalah kerikil-kerikil yang kami
gunakan untuk menghitung takbir, tahlil, dan tasbih”. Abdullahpun
berkata, “Hitung saja kesalahan-kesalahan (dosa-dosa) kalian maka aku
akan menjamin bahwa tidak ada sedikitpun kebaikan kalian yang hilang.
Wahai umat Muhammad sungguh cepat kebinasaan kalian. Para sahabat Nabi
kalian masih banyak tersebar, pakaian Nabi kalian masih belum usang dan
tempayan-tempayan beliau masih belum pecah. Demi Dzat Yang
jiwaku berada di tanganNya, sesungguhnya kalian sedang berada pada suatu
agama yang lebih baik daripada agamanya Muhammad atau kalian adalah
pembuka pintu kesesatan”. Mereka berkata, “Ya Abu Abdirrahman, sesungguhnya yang kami inginkan adalah kebaikan”. Abdullah berkata, “Dan betapa banyak orang yang menghendaki kebaikan namun ia tidak meraihnya. Sesungguhnya
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan kepada kami
bahwa akan ada suatu kaum yang mereka membaca Al-Qur’an namun tidak
melewati kerongkongan mereka (yaitu hanya di mulut dan tidak sampai ke
hati-pen), demi Allah aku khawatir kabanyakan mereka adalah kalian”,
kemudian Abdullahpun berpaling dari mereka. Berkata ‘Amr bin Salamah,
“Saya melihat bahwa kebanyakan mereka yang mengadakan halaqoh-halaqoh
tersebut telah membela khowarij melawan kami tatkala perang An-Nahrowan”
(HR AD-Darimi 1/69, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah
5/11)
Perhatikanlah bagaimana kisah ini. Kalau
sekilas diperhatikan apa yang mereka lakukan adalah hal yang baik,
mereka menunggu sholat sambil berdzikir kepada Allah. Bisa saja
seseorang berkata, “Jika seseorang berdzikir sendirian sambil menunggu
sholat bisa jadi dia ngantuk, berbeda jika berdzikir dilakukan secara
berjamaah dengan satu suara, tentunya menimbulkan semangat dan
menghilangkan kebosanan, jadi apa yang mereka lakukan adalah ide yang
sangat baik dan cemerlang”. Sebagaiamana perkataan mereka menjelaskan
niat mereka melakukan hal ini “Ya Abu Abdirrahman, sesungguhnya yang
kami inginkan adalah kebaikan”. Namun ide cemerlang ini tatkala tidak
sesuai dengan sunnah maka bukan merupakan syari’at Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam, Kalau ia merupaka syari’at Rasulullah tentunya
Rasulullah telah menyampaikannya kepada umatnya, karena merupakan
kewajiban bagi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk
menyampaikan semua perkara syari’at, semua kebaikan yang bisa
mendekatkan umatnya ke surga dan mengingatkan umatnya dari semua perkara
yang bisa mengantarkan mereka ke neraka. Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda :
إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبْيٌّ قَبْلِي إِلاَّ
كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا
يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرُهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ
((Sesungguhnya tidak seorang nabipun
sebelumku kecuali wajib baginya untuk menunjukan umatnya kepada kebaikan
yang ia ketahui bagi mereka dan mengingatkan umatnya dari kejelakan
yang ia ketahui)) (HR Muslim 3/1472 no 1844)
Seluruh kebaikan yang diketahui Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam maka wajib baginya untuk menyampaikannya
kepada umatnya. Oleh karena itu jika seseorang menganggap bid’ah itu
baik maka ia telah menuduh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah
berkhianat kepada Allah karena berarti ada syari’at yang diketahui oleh
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak ia sampaikan kepada
umatnya.
Berkata Imam Malik:
مَنْ أَحْدَثَ فِي هَذِهِ الأُمَّةِ
الْيَوْمَ شَيْئًا لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ سَلَفُهَا فَقَدْ زَعَمَ أَنَّ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَانَ الرِّسَالَةَ
لِأَنَّ اللهَ تَعَالىَ يَقُوْلُ ﴿ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْأِسْلامَ دِيناً﴾
(المائدة:3) فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا لاَ يَكُوْنُ الْيَوْمَ
دِيْنًا
“Barangsiapa yang mengada-adakan perkara
yang baru di umat ini yang tidak pernah dilakukan oleh orang-orang
terdahulu maka dia telah menuduh bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
telah mengkhianati risalah Allah karena Allah telah berfirman :
﴿ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْأِسْلامَ دِيناً﴾ (المائدة:3)
“Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu”(QS. 5:3)
Maka perkara apa saja yang pada hari itu (pada masa Rasulullah) bukan merupakan perkara agama maka pada hari ini juga bukan merupakan perkara agama.” (Al-Ihkam, karya Ibnu Hazm 6/255)
Maka perkara apa saja yang pada hari itu (pada masa Rasulullah) bukan merupakan perkara agama maka pada hari ini juga bukan merupakan perkara agama.” (Al-Ihkam, karya Ibnu Hazm 6/255)
Kalau hal itu merupakan kebaikan tentu
Rasulullah telah mengajarkannya kepada umatnya. Jika hal yang paling
sepele saja (seperti adab makan, adab minum, sampai adab buang air)
Rasulullah mengajarkannya apalagi hal-hal yang berkaitan dengan ibadah
yang sangat agung yaitu berdzikir kepada Allah, tentunya Rasulullah
lebih memperhatikannya untuk mengajarkannya kepada ummatnya. Oleh karena
itu Abdullah bin Mas’ud mengatakan kepada mereka “Demi Dzat Yang jiwaku
berada di tanganNya, sesungguhnya kalian sedang berada pada suatu
agama yang lebih baik daripada agamanya Muhammad atau kalian adalah
pembuka pintu kesesatan”. Karena perbuatan mereka dengan mengadakan
dzikir dengan cara yang khusus (yang tidak pernah dicontohkan oleh
Rasulullah) secara tidak langsung menunjukan bahwa apa yang dicontohkan
oleh Rasulullah kurang bagus sehingga mereka perlu mengadakan model baru
dalam beribadah.
Allah berfirman:
وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لِلَّذِيْنَ آمَنُوْا لَوْ كَانَ خَيْرًا مَا سَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
Artinya: “Dan orang-orang kafir berkata
kepada orang-orang yang beriman (yaitu para sahabat Nabi): “Kalau
sekiranya dia (Al-Quran) adalah suatu kebaikan, tentulah mereka
(orang-orang beriman) tiada mendahului kami (untuk beriman) kepadanya”.
(Al-Ahqof: 11)
Berkata Ibnu Katsir (tafsir surat
Al-Ahqof ayat 11) menafsirkan ayat ini: “Adapun Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
maka mereka mengomentari setiap perbuatan dan perkataan yang tidak
datang dari para sahabat (bahwa perbuatan dan perkataan tersebut) adalah
bid’ah, karena kalau seandainya perkataan dan perbuatan tersebut baik
tentunya mereka (para sahabat) telah mendahului kita untuk melakukannya
sebab mereka tidaklah meninggalkan satupun kebaikan kecuali mereka
bersegera untuk melakukannya”
Renungan…
Kita ketahui bersama bahwa sholat berjama’ah adalah perkara yang baik dan dianjurkan. Kita juga tahu bahwa sholat tahiyyatul masjid adalah perkara yang baik dan dianjurkan. Seandainya
sekarang sekelompok orang setiap masuk masjid mereka melaksanakan
sholat tahiyyatul masjid secara berjamaah apakah merupakan perkara yang
baik??, tentu akan ada banyak orang yang mengingkari perbuatan mereka, karena perbuatan mereka itu sama sekali tidak pernah dilakukan oleh siapapun sebelum mereka, dan mereka telah terjatuh dalam bid’ah (walaupun mereka memandang apa yang mereka lakukan itu merupakan kebaikan).
Seandainya
ada orang yang melaksanakan umroh kemudian mereka setiap sekali putaran
thowaf ia sholat, apakah perbuatannya itu baik?? Tentu tidak, ia akan diingkari oleh semua orang karena perbuatannya itu tidak ada contohnya (walaupun sholat adalah perkara yang baik). Tidak
ada jalan lain bagi kita untuk melarangnya kecuali kita mengatakan
bahwa Rasulullah tidak pernah mencontohkan tata cara demikian.
Demikian
juga seandainya jika seeorang yang sa’i antara sofa dan marwah kemudian
setiap ia sampai di safa atau di marwa ia sholat sunnah karena bersyukur
kepada Allah, apakah perbuatannya itu baik?? Tidak
ada jalan lain bagi kita untuk melarangnya kecuali kita katakan
kepadanya bahwa Rasulullah tidak pernah melakukan tata cara demikian.
Atau jika
ada seseorang yang setiap mau keluar dari mesjid ia berhenti sebentar
dipintu mesjid untuk membaca ayat kursi, surat Al-Falaq dan An-Naas
dengat niat meminta perlindungan kepada Allah dari gangguan syaitan
karena banyak syaithon berkeliaran di luar mesjid. Maka jelas ini adalah perbuatan bid’ah walaupun sepintas apa yang di lakukannya itu sangat baik.
Dan kita tidak bisa mengingkarinya karena ia akan berdalil dengan
dalil-dalil yang menjelaskan fadilah dan keutamaan membaca ayat kursi,
surat Al-Falaq dan surat An-Naas. Kita tidak bisa mengingkarinya kecuali
dengan mengatakan bahwa apa yang engkau lakukan tidak pernah
dicontohkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
عن سعيد بن المسيب أَنَّهُ رَأَى رَجُلاً
يُصَلِّي بَعْدَ طُلُوْعِ الْفَجْرِ أَكْثَرَ مِنْ رَكْعَتَيْنِ يُكْثِرُ
فِيْهَا الرُّكُوْعَ وَالسُّجُوْدَ فَنَهَاهُ فَقَالَ : ياَ أَبَا
مُحَمَّدٍ يُعَذِّبُنِي اللهُ عَلَى الصَّلاَةِ؟ قَالَ : لاَ وَلَكِنْ
يُعَذِّبُكَ عَلَى خِلاَفِ السُّنَّةِ
Dari Sa’id bin Al-Musayyib (yang
merupakan seorang tabi’in -generasi setelah generasi sahabat- yang
tersohor dengan ketakwaan dan kefaqihannya dalam perkara-perkara
agama-pen) dia melihat seseorang setelah terbit fajar (setelah adzan
subuh) sholat lebih dari dua rakaat, ia memperbanyak rukuk dan sujud
dalam sholatnya tersebut. Maka Said bin Al-Musayyibpun melarangnya, orang itu berkata kepada Sa’id bin Al-Musayyib, “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan mengadzabku karena aku sholat?”, Sa’id menjawab, “Tidak, tetapi Allah mengadzabmu karena engkau menyelisihi sunnah” (Dirwiayatkan oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro (2/466) dan Abdurrozaq dalam musonnaf beliau (3/52))
Larangan Sa’id bin Al-Musayyib kepada orang itu karena tidak dikenal ada sholat sunnah antara adzan subuh dan iqomat kecuali dua rakaat sebelum sholat subuh. Oleh karena itu jika ada seseorang sholat dengan rakaat yang banyak sekali sebelum sholat subuh maka ia telah melanggar sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam bis sowab.
Madinah, 20 Dzul Hijjah 1431 / 26 November 2010Abu ‘Abdilmuhsin Firanda Andirja
Artikel: www.firanda.com
0 komentar:
Posting Komentar