Oleh Rimbun Natamarga
Seorang Salafi memiliki cara pandang
sejarah Islam yang berbeda dari orang-orang kebanyakan, bahkan dari
orang-orang muslim sekali pun. Ini, sayangnya, sering kali tidak
disadari oleh orang yang tahu tentang Salafi dan keberadaan mereka.
Tulisan ini akan mengetengahkan sejarah
awal perkembangan Islam dalam kacamata komunitas Salafi. Uraian dalam
tulisan ini, jelas, adalah versi ringkas yang dapat dibawakan di sini.
Seharusnya, tulisan ini dimaksud sebagai sebuah pengantar ringkas saja.
Islam Menurut Salafi
Bagi komunitas Salafi, meski berkembang
dari tengah-tengah masyarakat Arab, hal itu tidak menunjukkan bahwa
Islam adalah Arab. Arab pun tidak berarti Islam. Allah subhana wa ta’ala
menjadikan Jazirah Arab secara umum dan Makkah-Madinah secara khusus
sebagai panggung tempat Islam mengukuhkan diri sebagai agama yang
sempurna dan telah Allah restui.
Selain itu, hanya nilai-nilai yang telah
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan kepada sahabat-sahabatnya
menjadi sesuatu yang baku sebagai acuan bagi para pemeluk yang datang
setelah mereka. Halal dan haram, dalam kacamata seorang Salafi, telah
ditetapkan dan terus berlaku sampai hari Kiamat nanti.
Meski hidup dalam ruang dan waktu yang
berbeda, bagi mereka yang Salafi, seorang pemeluk Islam mesti
menyesuaikan diri untuk mengikuti agama yang telah dipraktekkan oleh
Rasulullah dan para sahabatnya. Penemuan-penemuan, terobosan-terobosan
ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dicapai dan digunakan oleh siapa
pun. Tetapi Islam yang harus dipeluk tetap Islam sebagaimana yang datang
pada Rasulullah dan para sahabatnya.
Menurut seorang Salafi, hal itu
disebabkan oleh kenyataan bahwa Rasulullah dan para sahabatnya adalah
orang-orang yang telah Allah ridhai dan puji dengan pujian yang abadi.
Allah telah menjanjikan mereka dengan balasan yang baik. Baca dan
renungkan ayat ke-100 surat At-Taubah—ayat ini adalah salah satu
landasan pasti bagi seorang Salafi untuk berpegang teguh pada Islam yang
dipraktekkan kaum Salaf.
Islam Sebagai Agama Para Nabi
Sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam diangkat menjadi Nabi, Makkah adalah satu kota kecil yang
terpencil di Jazirah Arab. Pada waktu itu, keadaan politik, sosial,
ekonomi, bahkan budaya setempat banyak dipengaruhi oleh dua kekuatan
besar, Romawi dan Persia. Masyarakat Arab juga biasa memandang
orang-orang Kristen dan Yahudi sebagai pewaris para Nabi. Hal ini
disebabkan oleh kenyataan bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki
kitab-kitab suci atau ahlul kitab.
Meski demikian, sebagian dari mereka pun
menyadari bahwa tradisi yang dibawa oleh Nabi Ibrahim bukan seperti yang
dipraktekkan orang-orang Kristen dan Yahudi itu. Agama Ibrahim adalah
istilah yang dipakai untuk menyebut ajaran yang dibawa oleh Nabi
Ibrahim. Orang-orang Arab percaya bahwa tradisi ini berbeda jauh dengan
agama Kristen yang mengenal lembaga gereja dan trinitas. Mereka juga
percaya bahwa agama Yahudi yang juga menganggap bahwa Uzair adalah anak
Allah bukan agama Ibrahim itu.
Agama Ibrahim adalah agama tauhid yang
lurus atau al-millah al-hanifiyyah. Dalam agama itu, hanya Allah ta’ala
yang berhak untuk disembah. Karena itulah agama Ibrahim adalah agama
monoteis yang masih murni. Akan tetapi, banyak orang menilai bahwa
ajaran monoteisme seperti itu dimulai sejak Nabi Ibrahim menyampaikan
risalahnya. Padahal, penilaian seperti ini tentu saja keliru. Ibrahim
bukan rasul pertama yang menyerukan tauhid.
Dalam perkembangan yang terjadi,
keyakinan seperti itu banyak mendapat tentangan dari pelbagai pihak.
Seiring dengan proses penyebaran agama monoteis yang meluas di muka bumi
ini, bentuk-bentuk penentangan yang muncul tersebut lambat laun berubah
menjadi upaya-upaya penyelarasan dan pencampuran atau sinkretisme
antara ajaran Islam yang datang dari Allah-utusanAllah dan
tradisi-tradisi setempat serta agama-agama yang telah mapan sebelum
Islam datang.
Sejarah Dakwah Muhammad
Meski sepintas sama, sejarah Nabi
Muhammad bagi seorang Salafi berbeda dari sejarah Nabi Muhammad menurut
Muhammad Haikal atau Karen Armstrong. Seorang Salafi memandang Nabi
Muhammad sebagai seorang nabi dan rasul yang patut diteladani, bahkan
difanatiki. Siapa pun dari kalangan manusia, tegas seorang Salafi, bisa
ditinggalkan ucapan dan perbuatannya kecuali ucapan dan perbuatan
Muhammad sang nabi.
Muhammad sendiri dilahirkan pada 570 M.
Ia berasal dari salah satu keluarga terpandang di Makkah. Ayahnya adalah
Abdullah, salah satu putra Abdul Muththalib. Mereka semua masih
termasuk cucu-cucu keturunan Nabi Ismail ‘alaihis salam. Karena itu,
mereka dihormati dan disegani oleh penduduk kota Makkah.
Di Makkah, Muhammad menghabiskan masa
kanak-kanak dan remajanya. Ayahnya meninggal dunia sebelum Muhammad
lahir. Ibunya menyusul pula ketika Muhammad baru berusia enam tahun. Ia
pun kemudian dibesarkan oleh kakeknya. Setelah kakeknya meninggal dunia,
pengasuhannya diambil alih oleh pamannya, Abu Thalib. Pada umur 25
tahun, ia menikah dengan Khadijah, seorang wanita saudagar yang kaya di
Makkah.
Pada umur 40 tahun, Muhammad mendapatkan
wahyu dalam rupa lima ayat pertama surat Al-’Alaq. Lima ayat yang dibawa
Jibril itu menandai pengangkatannya menjadi seorang Nabi. Tidak lama
kemudian, Jibril turun membawa lima ayat lain, lima ayat pertama surat
Al-Muddatstsir, yang menandai pengangkatan Muhammad menjadi seorang
Rasul. Sejak saat itu, Muhammad menerima dan menyampaikan wahyu sampai
kemudian meninggal dunia pada umur 63 tahun.
Proses dakwah yang dijalaninya
berlangsung dalam dua fase. Fase Makkah berlangsung selama tiga belas
tahun, sedangkan fase Madinah berlangsung selama sepuluh tahun. Wahyu
yang turun pun terbagi menjadi ayat-ayat Makkiyah dan ayat-ayat
Madaniyah berdasarkan dua fase dakwah ini. Fase Makkah menekankan
pengokohan dasar-dasar keimanan berupa akidah yang benar, sedangkan fase
Madinah menjabarkan dasar-dasar keislaman berupa praktek-praktek ibadah
dalam Islam secara lengkap.
Dalam fase Makkah, Muhammad bersama
beberapa gelintir pengikutnya menghadapi masa-masa sulit. Dalam waktu
tiga belas tahun itu, mereka mengalami penyiksaan, pengucilan, dan
pengejaran. Mereka tidak leluasa untuk menjalankan shalat dan
mempelajari wahyu-wahyu yang turun. Dalam dua waktu yang berbeda,
Rasulullah sempat mengutus dua delegasi untuk melakukan hijrah ke negeri
Abessinia atau Habasyah, di Afrika.
Para pengikut pertama Muhammad disebut
dengan Assabiqun Al-Awwalun. Kebanyakan mereka terdiri dari orang-orang
lemah, miskin, dan terpinggirkan dari kaum mereka. Hanya sedikit dari
mereka yang berasal dari kaum terpandang, para pembesar masyarakat
Makkah. Dalam keadaan seperti itu, mereka mendapatkan tawaran dari
penduduk Yatsrib untuk hijrah ke sana. Yatsrib kemudian menjadi tempat
tujuan Muhammad sang rasul dan para sahabatnya. Sejak saat itu, Yatsrib
dikenal sebagai Madinah An-Nabi.
Dalam fase Madinah, mereka dapat
menjalankan praktek-praktek ibadah dengan leluasa. Perintah untuk shaum
Ramadhan, zakat, dan berhaji turun di Madinah. Demikian pula dengan
perintah-perintah lain yang mengatur pelbagai hal yang ada dalam hidup
sehari-hari, mulai dari urusan-urusan pidana, aspek-aspek pemerintahan
negara sampai etika buang air besar, diturunkan di sana. Wahyu turun
sampai lengkap pada fase ini.
Inti Dakwah Muhammad
Pada dasarnya, bagi komunitas Salafi,
dakwah yang disebarkan Muhammad adalah dakwah untuk bertauhid. Bertauhid
adalah menjadikan Allah ta’ala sebagai satu-satunya sembahan yang
berhak disembah dan meninggalkan segalam macam sembahan selain Allah.
Karena itu, kalimat La ilaha illallah diartikan sebagai tiada sembahan
yang berhak disembah kecuali Allah, bukan tiada Tuhan selain Allah.
Tauhid itulah pula yang menjadi dasar
dari semua praktek beragama yang diturunkan ke muka bumi ini. Bahkan,
untuk mempertahankan tauhid ini, Allah memerintahkan Muhammad dan para
sahabatnya untuk berperang dengan jiwa dan raga mereka.
Mencermati itu, terbayang bahwa usaha
yang dilakukan oleh Muhammad Rasulullah adalah usaha menghidupkan
kembali ajaran yang hampir punah. Usaha itu dapat dikatakan sebagai
usaha untuk memperbarui akidah yang Allah tetapkan untuk dipegang oleh
umat manusia, dari awal penciptaan sampai akhir zaman kelak.
Akan tetapi, dalam kurun waktu 23 tahun,
Islam menyebar hampir ke seluruh Jazirah Arab. Misi yang Allah embankan
kepadanya telah tercapai dengan sempurna. Dan setiap Salafi mempercayai
ini.
Dengan ajakan untuk bertauhid dan
meninggalkan kesyirikan, Muhammad sang nabi juga mengirimkan surat-surat
ke beberapa penguasa di sekitar Jazirah Arab. Penguasa Romawi, Persia,
Mesir adalah orang-orang yang pernah mendapatkan ajakan itu. Di antara
mereka, ada yang menerima dan ada yang menolaknya.
Sebelum meninggal dunia dalam umur 63
tahun, Muhammad telah meletakkan dasar-dasar penting dalam kehidupan
beragama dan bermasyarakat. Semua dasar-dasar yang dimaksud adalah
penting untuk dipegang oleh siapa pun yang memeluk Islam sampai hari
Kiamat nanti. Kalau kita bertanya kepada seorang Salafi, niscaya mereka
akan mengamini semua itu.
Pamungkas Kata
Sampai di sini, kalau kita perhatikan dan
bandingkan, pandangan sejarah komunitas Salafi hampir tidak ada beda
dengan pandangan sejarah kelompok-kelompok teroris. Anehnya, banyak
orang secara gegabah menyimpulkan bahwa kelompok-kelompok pengebom Bali
I-II, Ritz-Marriot, dan Al-Qaeda adalah Salafi itu sendiri. Padahal,
tidak.
Ada batas-batas tertentu yang memisahkan
mereka dengan komunitas Salafi. Dan itu bisa dibuktikan lewat bukti
pemikiran masing-masing mereka dan sejarah keberadaan mereka. Tulisan
ini, sayangnya, tidak membicarakan pemikiran mereka yang berbeda itu.
International Crisis Group (ICG),
agaknya, adalah lembaga penelitian yang berhasil menemukan perbedaan itu
dan telah menuangkannya ke dalam tulisan ke khalayak publik. Ironisnya,
ketepatan dan kejelian penemuan ICG itu sempat membuat Sidney Jones,
direktur ICG wilayah Asia Tenggara, mendapat ancaman dari
kelompok-kelompok teroris tersebut.
sumber : http://perbatasan2rimbun.blogspot.com/
0 komentar:
Posting Komentar