Sudah beberapa tahun ini, sering kali kaum muslimin di Indonesia tidak
merasakan berhari raya bersama-sama. Mungkin dalam berpuasa boleh
berbarengan, namun untuk berhari raya kadang kaum muslimin berbeda
pendapat. Ada yang manut saja dengan keputusan Departemen Agama RI
(pemerintah). Ada pula yang manut pada organisasi atau kelompok
tertentu. Ada juga yang mengikuti hari raya di Saudi Arabia karena di
sana sudah melihat hilal. Ada pula yang berpegang pada hasil hisab dari
ilmu perbintangan. Ada pula yang semaunya sendiri kapan berpuasa dan
berhari raya, mana yang berhari rayanya paling cepat itulah yang
diikuti. Lalu manakah yang seharusnya diikuti oleh seorang muslim?
Berikut kami bawakan beberapa fatwa Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa
Kerajaan Arab Saudi (Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal
Ifta’).
[Fatwa Pertama - Sekelompok Orang Berhari Raya Sendiri]
Fatawa no. 10973
Soal: Di negeri kami ada sekelompok saudara kami yang berpegang teguh
dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa memelihara
jenggot. Akan tetapi, mereka ini menyelisihi kami dalam beberapa
perkara. Di antaranya adalah dalam berpuasa Ramadhan. Mereka enggan
untuk berpuasa sampai mereka sendiri dengan mata kepala melihat hilal
(bulan sabit tanggal satu kalender Hijriah -pent). Pernah suatu waktu,
kami memulai puasa Ramadhan satu atau dua hari sebelum mereka. Terkadang
pula mereka berhari raya satu atau dua hari setelah kami merayakan Idul
Fitri. Ketika kami bertanya pada mereka tentang puasa pada hari raya,
mereka malah menjawab, “Kami tidak mau berhari raya dan tidak mau
berpuasa sampai kami melihat sendiri hilal dengan mata kepala kami.”
Mereka beralasan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Berpuasalah karena melihat hilal dan berhari rayalah karena
melihatnya“. Akan tetapi, mereka tidaklah menentukan ru’yah dengan alat
tertentu sebagaimana yang kalian ketahui. Mereka juga menyelisihi kami
dalam shalat ‘ied, mereka tidak shalat kecuali satu hari setelah ‘ied
sesuai dengan ru’yah yang mereka lakukan. Semacam ini pula terjadi
ketika Idul Adha, mereka menyelisihi kami dalam memulai menyembelih
hewan kurban dan wukuf di Arofah. Mereka baru merayakan Idul Adha
setelah dua hari kami merayakannya. Mereka tidaklah menyembelih hewan
kurban kecuali setelah seluruh kaum muslimin menyembelih. Mereka juga
shalat di masjid yang ada kuburan lalu mereka mengatakan bahwa tidaklah
diharamkan shalat di masjid yang ada kuburan. Semoga Allah membalas amal
kebaikan kalian.
Jawab: Wajib bagi mereka untuk berpuasa dan
berhari raya sebagaimana manusia pada umumnya. Hendaklah pula mereka
melaksanakan shalat ‘ied bersama dengan kaum muslimin yang lainnya yang
berada di negeri mereka. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ والإِفْطَارُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Awal puasa adalah hari yang kamu semua memulai puasa. Idul fitri
adalah hari yang kamu semua merayakan idul fitri. Idul Adha adalah hari
yang kamu semua merayakan idul adha.” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu
Majah. Dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah
no. 224)
Semoga Allah memberi kita taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’
Anggota: Abdullah bin Ghodyan
Wakil Ketua: Abdur Rozaq ‘Afifi
Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz
[Fatwa Kedua - Menentukan Hari Raya dengan Ilmu Hisab]
Pertanyaan Kedua, Fatawa no. 2036
Soal: Terdapat perselisihan yang cukup sengit di antara ulama kaum
muslimin mengenai penentuan awal puasa Ramadhan dan Idul Fitri. Sebagian
dari mereka beramal dengan hadits, “Berpuasalah karena melihat hilal,
begitu pula berhari rayalah karena melihatnya“. Namun, ulama lainnya
berpegang teguh dengan pendapat ahli falak (ahli ilmu perbintangan).
Para ulama ini mengatakan, “Sesungguhnya ahli falak adalah pakar dalam
ilmu perbintangan yang memungkinkan mereka untuk mengetahui awal bulan
qomariyah (tanggal 1 bulan hijriyah).” Oleh karena itu, para ulama tadi
mengikuti kalender (sesuai dengan ilmu perbintangan).
Jawab: Pertama, pendapat yang kuat yang wajib diamalkan adalah yang sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا العِدَّةَ
“Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena
melihatnya. Apabila kalian tertutup mendung, genapkanlah bulan tersebut”
(HR. Bukhari dengan berbagai lafazh). Hadits ini menunjukkan bahwa awal
dan akhir bulan Ramadhan ditentukan dengan melihat hilal. Dan syariat
Islam yang dibawa oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah umum tetap kekal dan berlaku hingga hari kiamat.
Kedua,
Allah ta’ala tentu mengetahui apa yang telah dan akan terjadi, ini
berarti Allah juga mengetahui nanti akan muncul ilmu falak dan ilmu-ilmu
yang lainnya. Namun, Allah ta’ala berfirman,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan (di negeri
tempat tinggalnya), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.”
(QS. Al Baqarah [2]: 185)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan maksud ayat ini kepada kita,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena melihatnya.” (HR. Bukhari)
Dari penjelasan ini menunjukkan bahwa awal dan akhir puasa Ramadhan
ditentukan dengan melihat hilal dan tidaklah dikaitkan dengan ilmu
hisab/ilmu perbintangan, padahal Allah telah mengetahui nanti ada ilmu
perbintangan semacam ini.
Oleh karena itu, wajib bagi setiap
muslim kembali dan percaya pada syariat Allah yang disampaikan melalui
lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu menentukan awal dan
akhir puasa dengan melihat hilal. Pendapat inilah sebagaimana ijma’
(kesepakatan) dari para ulama. Barangsiapa yang menyelisihi dalam hal
ini dan beralih kepada ilmu hisab, maka perkataannya syadz (pendapat
yang nyleneh) dan pendapat ini tidaklah perlu diperhatikan.
Semoga Allah memberi kita taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’
Anggota: Abdullah bin Ghodyan
Wakil Ketua: Abdur Rozaq ‘Afifi
Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz
[Fatwa Ketiga - Perbedaan Penentuan Hari Raya Hendaknya Dikembalikan pada Keputusan Pemerintah]
Fatawa no. 388
Soal: Bagaimana menurut Islam mengenai perbedaan kaum muslimin dalam
berhari raya Idul Fitri dan Idul Adha? Mengingat jika salah dalam
menentukan hal ini, kita akan berpuasa pada hari yang terlarang (yaitu
hari ‘ied) atau akan berhari raya pada hari yang sebenarnya wajib untuk
berpuasa. Kami mengharapkan jawaban yang memuaskan mengenai masalah yang
krusial ini sehingga bisa jadi hujah (argumen) bagi kami di hadapan
Allah. Apabila dalam penentuan hari raya atau puasa ini terdapat
perselisihan, ini bisa terjadi ada perbedaan dua sampai tiga hari. Jika
agama Islam ini ingin menyelesaikan perselisihan ini, apa jalan keluar
yang tepat untuk menyatukan hari raya kaum muslimin?
Jawab:
Para ulama telah sepakat bahwa terbitnya hilal di setiap tempat itu bisa
berbeda-beda dan hal ini dapat diketahui dengan pasti secara inderawi
dan logika. Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat mengenai
teranggapnya atau tidak hilal di tempat lain dalam menentukan awal dan
akhir Ramadhan. Dalam masalah ini ada dua pendapat. Pendapat pertama
adalah yang menyatakan teranggapnya hilal di tempat lain dalam penentuan
awal dan akhir Ramadhan walaupun berbeda matholi’ (wilayah terbitnya
hilal). Pendapat kedua adalah yang menyatakan tidak teranggapnya hilal
di tempat lain. Masing-masing dari dua kubu ini memiliki dalil dari Al
Kitab, As Sunnah dan Qiyas. Dan terkadang dalil yang digunakan oleh
kedua kubu adalah dalil yang sama. Sebagaimana mereka sama-sama berdalil
dengan firman Allah,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan (di negeri
tempat tinggalnya), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.”
(QS. Al Baqarah [2]: 185)
Begitu juga firman Allah,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ
“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah:
“Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi
ibadat) haji.” (QS. Al Baqarah [2]: 189)
Mereka juga sama-sama berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena melihatnya.” (HR. Bukhari)
Perbedaan pendapat menjadi dua kubu semacam ini sebenarnya terjadi
karena adanya perbedaan dalam memahami dalil. Kesimpulannya bahwa dalam
masalah ini masih ada kelapangan untuk berijtihad. Oleh karena itu, para
pakar fikih terus berselisih pendapat dalam masalah ini dari dahulu
hingga saat ini.
Tidak mengapa jika penduduk suatu negeri yang
tidak melihat hilal pada malam ke-30, mereka mengambil ru’yah negeri
yang berbeda matholi’ (beda wilayah terbitnya hilal). Namun, jika di
negeri tersebut terjadi perselisihan pendapat, maka hendaklah
dikembalikan pada keputusan penguasa muslim di negeri tersebut. Jika
penguasa tersebut memilih suatu pendapat, hilanglah perselisihan yang
ada dan setiap muslim di negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya.
Namun, jika penguasa di negeri tersebut bukanlah muslim, hendaklah dia
mengambil pendapat majelis ulama di negeri tersebut. Hal ini semua
dilakukan dalam rangka menyatukan kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan
dan melaksanakan shalat ‘ied.
Semoga Allah memberi kita taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’
Anggota: Abdullah bin Mani’
Wakil Ketua: Abdullah bin Ghodyan
Ketua: Abdur Rozaq ‘Afifi
Itulah beberapa fatwa mengenai bagaimana sebaiknya kita berhari raya. Kesimpulan dari penjelasan di atas:
Penentuan hari raya bukanlah urusan pribadi atau kelompok, sehingga
keputusan mengenai hal ini dikembalikan kepada pemerintah dan jamaah
kaum muslimin.
Kita diperintahkan untuk melaksanakan puasa dan
hari raya bersama dengan pemerintah dan jamaah kaum muslimin sehingga
syi’ar Islam ini tampak dan tidak tampak perpecahan di tengah-tengah
umat.
Penentuan hari raya tidaklah tepat menggunakan ilmu hisab
karena kita diperintahkan untuk menentukan awal bulan qomariyah dengan
ru’yah.
Hendaklah semua orang memahami bahwa masalah penentuan
hari raya adalah masalah yang sudah terdapat perselisihan sejak dahulu
di kalangan ulama, maka hendaklah perselisihan ini tidak memecah belah
kaum muslimin. Hendaklah semuanya memahami bahwa penyatuan kalimat dan
barisan adalah prinsip penting dalam agama ini.
15 Ramadhan 1429 H
Muhammad Abduh Tuasikal
Yang menginginkan umat ini bersatu di atas kebenaran
***
Penyusun: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Dari artikel Berhari Raya Dengan Siapa? — Muslim.Or.Id by null
Posted in: Penguasa-Ulil amri
0 komentar:
Posting Komentar