Oleh : Ustadz Abdullah bin Taslim, Lc. & Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Pertanyaan : Assalamu ‘alaikum, ustadz. Alhamdulillah, Allohuma sholi ‘ala muhammad wa ‘ala aliihi wa shohbihi ajma’in. Ana mau tanya tentang Pemilu, sebenarnya bagaimana kita mensikapinya? Apa hukumnya? Jazakallohu khoir. Wassalamu ‘alaikum.
Ustadz Kholid Menjawab: Untuk menjawab pertanyaan
ini dan semisalnya, kami bawakan saja fatwa Syaikh Abdulmalik Ramadhani
dalam wawancara beliau dengan al-Akh Abdullah Taslim berikut ini:
Tanya (Abdullah bin Taslim): Sehubungan dengan
Pemilu untuk memilih presiden yang sebentar lagi akan diadakan di
Indonesia, dimana Majelis Ulama Indonesia mewajibkan masyarakat
Indonesia untuk memilih dan mengharamkan golput, bagaimana sikap kaum
muslimin dalam menghadapi masalah ini?
Syaikh Abdul Malik: Segala puji bagi Allah, serta
salawat, salam dan keberkahan semoga senantiasa Allah limpahkan kepada
Nabi kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga kepada
keluarga dan para sahabatnya, serta orang-orang yang setia mengikuti
jalannya, amma ba’du:
Saat ini mayoritas negara-negara Islam menghadapi cobaan (berat)
dalam memilih pemimpin (kepala negara) mereka melalui cara pemilihan
umum, yang ini merupakan (penerapan) sistem demokrasi yang sudah
dikenal. Padahal terdapat perbedaan yang sangat jauh antara sistem
demokrasi dan (syariat) Islam (dalam memilih pemimpin), yang ini
dijelaskan oleh banyak ulama (ahlus sunnah wal jama’ah). Untuk
penjelasan masalah ini, saudara-saudaraku (sesama ahlus sunnah) bisa
merujuk kepada sebuah kitab ringkas yang ditulis oleh seorang ulama
besar dan mulia, yaitu kitab “al-’Adlu fil Islaam wa laisa fi
dimokratiyyah al maz’uumah” (Keadilan yang hakiki ada pada syariat Islam
dan bukan pada sistem demokrasi yang dielu-elukan), tulisan guru kami
syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al-’Abbaad al-Badr –semoga Allah menjaga
beliau dan memanjangkan umur beliau dalam ketaatan kepada-Nya –. ‘Ala
kulli hal, pemilihan umum dalam sistem demokrasi telah
diketahui, yaitu dilakukan dengan cara seorang muslim atau kafir memilih
seseorang atau beberapa orang tertentu (sebagai calon presiden). Semua
perempuan dan laki-laki juga ikut memilih, tanpa
mempertimbangkan/membedakan orang yang banyak berbuat maksiat atau orang
shaleh yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Semua ini (jelas) merupakan pelanggaran terhadap (syariat) Islam.
Sesungguhnya para sahabat yang membai’at (memilih) Abu Bakr ash-Shiddiq
radhiallahu ‘anhu (sebagai khalifah/pemimpin kaum muslimin sepeninggal
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) di saqiifah (ruangan besar
beratap tempat pertemuan) milik (suku) Bani Saa’idah, tidak ada seorang perempuan pun yang ikut serta dalam pemilihan tersebut.
Karena urusan siyasah (politik) tidak sesuai dengan tabiat (fitrah)
kaum perempuan, sehingga mereka tidak boleh ikut berkecimpung di
dalamnya. Dan ini termasuk pelanggaran (syariat Islam), padahal Allah
Ta’ala berfirman:
وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَى
“Dan laki-laki tidaklah seperti perempuan.” (Qs. Ali ‘Imraan: 36)
Maka bagaimana kalian (wahai para penganut sistem demorasi) menyamakan
antara laki-laki dan perempuan, padahal Allah yang menciptakan dua jenis
manusia ini membedakan antara keduanya?! Allah Ta’ala berfirman:
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَة ُ
“Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya, sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka.” (Qs. al-Qashash: 68)
Di sisi lain Allah Ta’ala berfirman:
أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ
“Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan
orang-orang yang berdosa (orang kafir). Mengapa kamu (berbuat demikian);
bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (Qs. al-Qalam: 35 – 36)
Sementara kalian (wahai para penganut sistem demokrasi) menyamakan antara orang muslim dan orang kafir?! Maka ini tidak mungkin untuk…(kalimat yang kurang jelas). Masalah ini (butuh) penjelasan yang panjang lebar.
Akan tetapi (bersamaan dengan itu), sebagian dari para ulama zaman
sekarang berpendapat bolehnya ikut serta dalam pemilihan umum dalam
rangka untuk memperkecil kerusakan (dalam keadaan terpaksa). Meskipun
mereka mengatakan bahwa (hukum) asal (ikut dalam pemilihan umum) adalah
tidak boleh (haram). Mereka mengatakan: Kalau seandainya semua orang
diharuskan ikut serta dalam pemilu, maka apakah anda ikut memilih atau
tidak? Mereka berkata: anda ikut memilih dan pilihlah orang yang paling
sedikit keburukannya di antara mereka (para kandidat yang ada). Karena
umumnya mereka yang akan dipilih adalah orang-orang yang memasukkkan
(mencalonkan) diri mereka dalam pemilihan tersebut. Padahal Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Abdurrahman bin
Samurah radhiallahu ‘anhu: “Janganlah engkau (berambisi) mencari
kepemimpinan, karena sesungguhnya hal itu adalah kehinaan dan penyesalan
pada hari kiamat nanti.” (Gabungan dua hadits shahih riwayat imam
al-Bukhari (no. 6248) dan Muslim (no. 1652), dan riwayat Muslim (no.
1825)) Maka orang yang terpilih dalam pemilu adalah orang yang
(berambisi) mencari kepemimpinan, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang (berambisi) mencari kepemimpinan
maka dia akan diserahkan kepada dirinya sendiri (tidak ditolong oleh
Allah dalam menjalankan kepemimpinannya).” (HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah
dan lain-lain, dinyatakan lemah oleh syaikh al-Albani dalam
“adh-Dha’iifah” (no. 1154). Lafazh hadits yang shahih Riwayat al-Bukhari
dan Muslim: “Jika engkau menjadi pemimpin karena (berambisi) mencarinya
maka engkau akan diserahkan kepadanya (tidak akan ditolong oleh
Allah).” Allah akan meninggalkannya (tidak menolongnya), dan barangsiapa
yang diserahkan kepada dirinya sendiri maka berarti dia telah
diserahkan kepada kelemahan, ketidakmampuan dan kesia-siaan, sebagaimana
yang dinyatakan oleh salah seorang ulama salaf – semoga Allah meridhai
mereka–. ‘Ala kulli hal, mereka berpendapat seperti ini dalam rangka
menghindari atau memperkecil kerusakan (yang lebih besar). Ini kalau
keadaannya memaksa kita terjeremus ke dalam dua keburukan (jika kita
tidak memilih). Adapun jika ada dua orang calon (pemimpin yang baik),
maka kita memilih yang paling berhak di antara keduanya.
Akan tetapi jika seseorang tidak mengatahui siapa yang lebih baik
(agamanya) di antara para kandidat yang ada, maka bagaimana mungkin kita
mewajibkan dia untuk memilih, padahal dia sendiri mengatakan: aku tidak
mengetahui siapa yang paling baik (agamanya) di antara mereka. Karena
Allah Ta’ala berfirman:
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.” (Qs. al-Israa’: 36)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang
menipu/mengkhianati kami maka dia bukan termasuk golongan kami.” (HSR
Muslim (no. 101)). Jika anda memilih orang yang anda tidak ketahui keadaannya maka ini adalah penipuan/pengkhianatan.
Demikian pula, jika ada seorang yang tidak merasa puas dengan kondisi
pemilu (tidak memandang bolehnya ikut serta dalam pemilu) secara
mutlak, baik dalam keadaan terpaksa maupun tidak, maka bagaimana
mungkin kita mewajibkan dia melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan
oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam?!
Maka ‘ala kulli hal, kita meyakini bahwa Allah Ta’ala Dialah yang
memilih untuk umat ini pemimpin-pemimpin mereka. Kalau umat ini baik
maka Allah akan memilih untuk mereka pemimpin-pemimpin yang baik pula,
(sabaliknya) kalau mereka buruk maka Allah akan memilih untuk mereka
pemimpin-pemimpin yang buruk pula. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضاً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zhalim itu
menjadi pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka
usahakan.” (Qs. al-An’aam: 129)
Maka orang yang zhalim akan menjadi pemimpin bagi masyarakat yang
zhalim, demikianlah keadaannya. Kalau demikian, upayakanlah untuk
menghilangkan kezhaliman dari umat ini, dengan mendidik mereka
mengamalkan ajaran Islam (yang benar), agar Allah memberikan untuk
kalian pemimpin yang kalian idam-idamkan, yaitu seorang pemimpin yang
shaleh. Karena Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِم ْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga
mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Dalam ayat
ini) Allah tidak mengatakan “…sehingga mereka merubah keadaan yang ada
pada pemimpin-pemimpin mereka”, akan tetapi (yang Allah katakan):
“…sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
Aku telah menulis sebuah kitab tentang masalah ini, yang sebenarnya
kitab ini khusus untuk para juru dakwah, yang mengajak (manusia) ke
jalan Allah Ta’ala, yang aku beri judul “Kamaa takuunuu yuwallaa
‘alaikum” (sebagaimana keadaanmu maka begitupulalah keadaan orang yang
menjadi pemimpinmu). Aku jelaskan dalam kitab ini bahwa
watak para penguasa selalu berasal dari watak masyarakatnya, maka jika
masyarakatnya (berwatak) baik penguasanya pun akan (berwatak) baik, dan
sebaliknya. Maka orang-orang yang menyangka bahwa (yang terpenting
dalam) masalah ini adalah bersegera untuk merebut kekuasaan, sungguh
mereka telah melakukan kesalahan yang fatal dalam hal ini, dan mereka
tidak mungkin mencapai hasil apapun (dengan cara-cara seperti ini).
Allah Ta’ala ketika melihat kerusakan pada Bani Israil disebabkan
(perbuatan) Fir’aun, maka Allah membinasakan Fir’aun dan memberikan
kepada Bani Israil apa yang mereka inginkan, dengan Allah menjadikan
Nabi Musa ‘alaihissalam sebagai pemimpin mereka. (Akan tetapi) bersamaan
dengan itu, kondisi (akhlak dan perbuatan) mereka tidak menjadi baik,
sebagaimana yang Allah kisahkan dalam al-Qur’an. Mereka tidak
menjadi baik meskipun pemimpin mereka adalah kaliimullah (orang yang
langsung berbicara dengan Allah Ta’ala), yaitu Nabi Musa ‘alaihissalam,
sebagaimana yang sudah kita ketahui. Bahkan sewaktu Allah berfirman (menghukum) sebagian dari Bani Israil:
كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِين َ
“Jadilah kamu kera yang hina.” (Qs. al-Baqarah: 65)
Kejadian ini bukanlah di zaman kekuasaan Fir’aun. Akan tetapi hukuman
Allah ini (menimpa) sebagian mereka (karena mereka melanggar perintah
Allah) ketika mereka di bawah kepemimpinan Nabi Musa ‘alaihissalam dan
para Nabi Bani Israil ‘alaihimussalam sepeninggal Nabi Musa
‘alaihissalam, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam: “Sesungguhnya Bani Israil selalu dipimpin oleh para Nabi
‘alaihimussalam, setiap seorang Nabi wafat maka akan digantikan oleh
Nabi berikutnya.” (HSR al-Bukhari dan Muslim) Dan hanya Allah-lah yang
mampu memberikan taufik (kepada manusia).
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Madinah Nabawiyyah, 15 Rabi’ul awal 1430 H / 11 Maret 2009 M
Sumber : http://ustadzkholid.com/tanya-ustadz/tentang-pemilu/
20 Agustus 2012
Hukum PEMILU dan Bagaimana Menyikapinya? (PENTING)
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar