-->

15 Agustus 2012

Prinsip-Prinsip Imam Asy-Syafi’i Dalam Beragama : Melarang Fanatik dan Takqlid Buta



 Fanatik atau dalam bahasa arabnya disebut dengan “Ta’ashub” adalah anggapan yang diiringi sikap yang paling benar dan membelanya dengan membabi buta. Benar dan salahnya, wala’ (loyalitas) dan bara’ (benci)-nya diukur dan didasarkan keperpihakan pada golongan. Fanatik ini bisa terjadi antar kelompok, organisasi, dan madzhab, individu, negara dan sebagainya.

Adapun taklid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dasar dalil atau hujjahnya.[1] Allah telah mencela sikap taklid dalam banyak ayatNya, di antaranya:

إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ اْلأَسْبَابُ

(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. (QS. Al-Baqarah: 166).

Nah, sekarang bagaimana sikap Imam Syafi’i terhadap taklid dan fanatisme?! Ikutilah penjelasan berikut:

Imam Syafi’i Melarang Taklid
Para ulama sepakat untuk mengingkari taklid buta dan mereka melarang manusia dari sikap taklid kepada pribadi mereka[2]. Dan di antara para Imam yang paling keras melarang taklid adalah Imam Syafi’i, karena beliau komitmen kuat dengan hadits Nabi dan beliau berlepas diri dari sikap taklid, beliau mengulang-ngulang wasiat tersebut berkali-kali dan menganjurkan untuk mengikuti dalil Al-Qur’an dan hadits Nabi, sehingga wasiat emas ini membawa manfaat yang sangat banyak sekali.[3]

Imam Ibnul Qoyyim mengatakan: “Para imam empat melarang dari sikap taklid kepada mereka dan mereka mencela untuk mengambil ucapan mereka tanpa dalil”.[4]

Nukilan-nukilan dari mereka tentang masalah ini banyak sekali[5], terutama dari Imam Syafi’i[6], kami akan sebutkan di antaranya saja sebagai pelajaran bagi kita:

Imam Syafi’i berkata:
كُلُّ مَا قُلْتُهُ فَكَانَ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم خِلاَفُ قَوْلِيْ مِمَّا صَحَّ، فَهُوَ أَوْلَى، وَلاَ تُقَلِّدُوْنِيْ

“Setiap apa yang aku katakan lalu ada hadits shahih dari Rasulullah yang menyelisihi ucapanku maka hadits lebih utama untuk diikuti dan janganlah kalian taklid kepadaku”.[7]

Imam Syafi’i berkata:
إِذَا وَجَدْتُمْ فِيْ كِتَابِيْ خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَقُوْلُوْا بِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَدَعُوْا مَا قُلْتُ. وَفِيْ رِوَايَةٍ : فَااتَّبِعُوْهَا وَلاَ تَلْتَفِتُوْا إِلَى قَوْلِ أَحَدٍ

“Apabila kalian mendapati sunnah Rasulullah maka ikutilah sunnah Rasulullah dan janganlah menoleh ucapan seorangpun”.[8]

Imam Syafi’i berkata:
إِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَخُذُوْا بِهِ وَدَعُوْا قَوْلِيْ

“Apabila telah shahih hadits dari Rasulullah maka ambilah dan tinggalkan pendapatku”.[9]

Imam Syafi’i berkata:
إِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِيْ ، وَإِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ، فَاضْرِبُوْا بِقَوْلِي الْحَائِطَ

“Apabila ada hadits shahih maka itulah madzhabku dan apabila ada hadits shohih maka lemparlah ucapanku ke tembok”.[10]

Imam Syafi’i berkata:
ِكُلُّ مَسْأَلَةٍ صَحَّ الْخَبَرُ فِيْهَا عَنِ النَّبِيِّ عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلاَفِ مَا قُلْتُ فَأَنَا رَاجِعٌ عَنْهَا فِيْ حَيَاتِيْ وَبَعْدَ مَمَاتِيْ

“Setiap masalah yang ternyata ada hadits shohih dari Nabi yang menyelisihi ucapanku maka saya meralatnya baik di saat hidupku atau sesudah matiku”.[11]

Demikianlah saudaraku, ucapan-ucapan emas nan berharga dari Imam Syafi’i. Berkat ucapan beliau ini, maka para muridnya dan pengikut madzhabnya yang sejati mengikuti wasiat emas beliau sekalipun harus menyelisihi pendapat Syafi’i. Imam Nawawi berkata: “Para sahabat kami telah mengamalkan wasiat ini dalam masalah tatswib dan persyaratan tahallul pada ihram karena sakit dan masalah-masalah lainnya yang termuat dalam kitab-kitab fiqih”.[12]

Berikut beberapa contoh praktek nyata para muridnya dalam merealisasikan wasiat ini:

Imam Al-Muzani (salah seorang murid senior Imam Syafi’i) berkata di awal kitabnya Mukhtashor Fi Fiqih Syafi’i: “Kitab ini saya intisarikan dari ilmu Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i dan dari makna yang pernah beliau ucapkan. Hal itu aku lakukan untuk memudahkan siapa saja yang ingin mengetahui ilmu-ilmu beliau dengan catatan bahwa Imam Syafi’i sendiri telah melarang dari sikap taklid kepadanya atau kepada selainnya”.[13]

Abu Bakar al-Atsrom berkata: Aku pernah duduk bersama Imam Al-Buwaithi (salah seorang murid senior Syafi’i) aku menyebutkan padanya hadits Ammar tentang masalah tayammum, maka beliau mengambil sebilah pisau dan ia mengupas sedikit dari bagian kitabnya, kemudian ia pukulkan kitabnya itu satu pukulan dengan pisauanya seraya berkata: “Begitulah guru kami (Imam Syafi’i) berwasiat kepada kami. Apabila telah shahih sebuah hadits menurut kalian maka itulah pendapatku”.

Imam Abu Syamah berkomentar: “Apa yang dilakukan oleh al-Buwaithi ini merupakan tindakan yang bagus dan sesuai dengan tuntunan sunnah Rasulullah dan sesuai dengan perintah Imam Syafi’i. Adapun mereka yang menampakkan fanatik kepada pendapat-pendapat Imam Syafi’i dalam keadaan bagaimanapun juga sekalipun menyelisihi sunnah, maka pada hakekatnya mereka bukanlah orang-orang yang mengikuti Imam Syafi’i. Hal itu karena mereka tidak melaksanakan perintah beliau”.[14]

Imam Syafi’i mengingkari Fanatisme
Fanatisme madzhab dan golongan hukumnya haram.

Imam Syafi’i telah mengingkari keras sikap fanatisme madzhab dan golongan. Imam Al-Baihaqi menceritakan bahwa Imam Syafi’i menyatakan kepada seorang yang mempertentangkan hadits Rasulullah dengan perkataan ulama:

أَنَا أَقُوْلُ لَكَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ وَأَنْتَ تَقُوْلُ : قَالَ عَطَاءُ وَطَاوُوْسُ وَمَنْصُوْرٌ وَإِبْرَاهِيْمُ وَهَؤُلاَءِ لاَ يَرَوْنَ ذَلِكَ. هَلْ لأَحَدٍ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ حُجَّةٌ؟

“Aku berkata kepadamu bahwa Rasulullah telah bersabda demikian tetapi kemudian kamu justru berkata Atho’, Thowus, Manshur, Ibrahim tidak berpedapat demikian. Apakah ada ucapan seorang yang bisa dipertentangakan dengan Rasulullah?!”.[15]

Sekalipun demikian wasiat dan pengingkaran Imam Syafi’i, tapi lihatlah apa yang terjadi pada tubuh para pengikutnya. Perseteruan antara Syafi’iyyah dan Hanafiyyah adalah sesuatu yang sangat populer sejak dahulu.

--------------------------------------------------------------------------------

[1] Mudzakkiroh Ushul Fiqih hlm. 490 oleh asy-Syinqithi.

[2] Lihat masalah ini secara bagus dalam Iqodh Himam Ulil Abshor oleh al-Fullani dan Al-Muqollidun wal Aimmah Arbaah oleh Abu Abdirrahman Said Mi’syasyah.

[3] Al-Ihkam fii Ushul Ahkam 2/1091 oleh Ibnu Hazm.

[4] I’lamul Muwaqqi’in 2/200.

[5] Lihat Muqoddimah Shifat Sholat Nabi hlm. 45-55 oleh al-Albani dan At-Ta’dhim wal Minnah fil Intishor lis Sunnah hlm. 19-29 oleh Syaikh Salim al-Hilali.

[6] Lihat buku “Wasiat dan Prinsip Imam Syafi’i Tentang Taklid Buta dan Fanatisme Madzhab” oleh akhuna Al-Ustadz Ibnu Saini. Kami telah mengambil manfaat dari beberapa nukilannya.

[7] Hilyatul Auliya 9/106-107 oleh Abu Nu’aim.

[8] Dzammul Kalam 3/47 oleh Al-Harowi dan dishahihkan alAlbani dalam Shifat Sholat Nabi hlm. 50.

[9] Al-Bidayah wa Nihayah 5/276 oleh Ibnu Katsir.

[10] Siyar A’lam Nubala 5/35 oleh Adz-Dzahabi dan Al-Majmu’ 1/63 oleh an-Nawawi.

[11] Tawali Ta’sis hlm. 108 oleh Ibnu Hajar.

[12] Al-Majmu’ 1/63.

[13] Mukhtashor Al-Muzani hlm. 1.

[14] Mukhtashor Al-Muammal Fir Raddi Ila Amril Awwal hlm. 59 dan dinukil oleh as-Subki dalam Makna Qouilil Imam Al-Muthollibi hlm. 81.

[15] Manaqib Syafi’i 1/214-215.

http://keluarga-madinah.blogspot.com/2011/05/prinsip-prinsip-imam-asy-syafii-dalam.html

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.