Musthafa Mahmud Adam Al Buthani
Di antara fitnah yang sangat berbahaya terhadap dakwah salafiyah adalah
seruan pada persatuan antara Ahli Sunnah dengan ahli bid’ah dengan
alasan bahwa mereka masih memiliki banyak kebaikan, masih memberikan
banyak saham terhadap Islam, demi keadilan, dan alasan-alasan lain yang
tidak dapat diterima oleh akal yang sehat lebih-lebih secara naql (nash
atau dalil, ed.).
Namun aneh, mereka yang mempunyai pemahaman
seperti ini berani menyalahkan ulama Ahli Sunnah ketika para ulama
tersebut mengkritik ahli bid’ah sementara mereka sendiri memperalat para
ulama Ahli Sunnah dalam hal tazkiyah (pemberian rekomendasi) terhadap
ulama mereka.
Mungkin kita sempat tertarik dengan manhaj mereka
ini karena kita menganggapnya baik. Akan tetapi kalau kita menelaah
kitab para ulama Ahli Sunnah barulah kita mengetahui kebathilan manhaj
mereka karena tidak ada seorang ulama pun dari para ulama Ahli Sunnah
mempunyai pemahaman seperti itu. Bahkan mereka sangat keras terhadap
kebid’ahan dan ahli bid’ah. Di antara pendapat-pendapat mereka tentang
ahli bid’ah yaitu :
1. Abu Fadhl Al Hamadzani berkata : “Ahli
bid’ah serta orang-orang yang memalsukan hadits lebih berbahaya daripada
orang-orang kafir yang secara terang-terangan menentang Islam.
Orang-orang kafir bermaksud menghancurkan Islam dari luar sedangkan ahli
bid’ah bermaksud menghancurkan Islam dari dalam. Mereka seperti
penduduk suatu kampung yang ingin menghancurkan keadaan kampung tersebut
sedangkan kaum kuffar bagaikan musuh yang sedang menunggu di luar
benteng sampai pintu benteng tersebut dibuka oleh ahli bid’ah. Sehingga
ahli bid’ah lebih jelek akibatnya terhadap Islam dibanding orang yang
menentang secara terang-terangan.” (Al Maudlu’at Ibnul Jauzi lihat kitab
Naqdur Rijal halaman 128)
2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
dalam kitabnya As Siyasah Asy Syar’iyyah halaman 123 mengatakan :
“Sekelompok dari kalangan pengikut Imam Syafi’i, Ahmad, dan selainnya
memperbolehkan membunuh orang yang berdakwah pada kebid’ahan yang
menyelisihi Al Qur’an. Demikian pula pengikut Imam Malik, mereka
mengatakan bahwa Imam Malik membolehkan membunuh Qadariyah bukan karena
mereka murtad (keluar dari Islam) tetapi karena mereka menyebarkan
kerusakan di muka bumi.” (Naqdur Rijal halaman 127)
3. Ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma berkata tentang tafsir ayat :
“Hari yang pada waktu itu putih wajah-wajah.”
Yaitu Ahli Sunnah Wal Jamaah dan ayat :
“Dan hitam wajah-wajah.”
Yaitu ahli furqah dan ahli bid’ah. Kita katakan kepada ahli bid’ah:
“Apakah kalian berani kembali pada kekafiran setelah kalian beriman?”
[ Lihat kitab Ma Ana ‘Alaihi wa Ashhabi oleh Syaikh Ahmad Salam halaman
187 dan Tafsir Ibnu Katsir tafsir surat Ali Imran ayat 106 ]
4. Allah berfirman :
“Dan apabila kamu melihat orang-orang yang memperolok-olok ayat Kami
maka tinggalkanlah mereka sampai mereka membicarakan pembicaraan yang
lain. Dan jika syaithan menjadikan kamu lupa maka janganlah kamu duduk
bersama orang-orang dhalim itu sesudah teringat.” (Al An’am : 68)
Ketika menafsirkan ayat ini, Imam Thabari menyebutkan dari Abu Ja’far
Muhammad bin Ali radliyallahu 'anhu bahwasanya ia berkata :
“Janganlah kalian duduk dengan orang yang suka berdebat karena mereka itulah orang yang memperolok-olok ayat-ayat Allah.”
5. Fudhail bin ‘Iyadl berkata : “Barangsiapa mencintai ahli bid’ah
niscaya Allah akan menggugurkan amalnya dan mengeluarkan cahaya Islam
dari hatinya. Barangsiapa menikahkan anak perempuannya dengan ahli
bid’ah maka dia telah memutuskan silaturahminya. Barangsiapa duduk
dengan ahli bid’ah maka dia tidak akan diberi hikmah. Dan kalau Allah
telah mengetahui bahwa seseorang telah memiliki rasa benci kepada ahli
bid’ah maka saya berharap semoga Allah mengampuni dosa-dosanya.”
6. Sebagian ahli bid’ah berkata kepada Abi ‘Imran An Nakha’i :
“Dengarlah dariku satu kata!” Lalu Abu ‘Imran berpaling darinya seraya
berkata : “Saya tidak mau mendengar sekalipun setengah kata.” (Lihat Al
Jami’ li Ahkamil Qur’an oleh Imam Al Qurthubi jilid 7 halaman 11)
7. Yahya bin Abi Katsir berkata : “Jika engkau bertemu dengan ahli
bid’ah di satu jalan maka carilah jalan lain.” (Asy Syari’ah Al Ajurri.
Lihat pula kitab Ilmu Ushulil Bida’ oleh Syaikh Ali Hasan halaman 298)
8. Pernah suatu ketika ada seorang laki-laki yang dilaporkan kepada Al
Auza’i bahwa dia berkata : “Saya duduk bersama Ahli Sunnah dan suatu
ketika juga saya duduk dengan ahli bid’ah.” Maka Al Auza’i berkata :
“Orang ini ingin menyamakan antara yang haq dengan yang bathil.” (Ilmu
Ushulil Bida’ oleh Syaikh Ali Hasan halaman 300)
9. Sebagian
ahli bid’ah datang kepada Ibnu Taimiyah dengan niat ingin memperindah
dan menghiasi bid’ah mereka di hadapan beliau. Mereka berkata : “Ya
Syaikh, betapa banyak orang yang bertaubat karena dakwah kami!” Ibnu
Taimiyah berkata : “Mereka taubat dari perbuatan apa?” Kata mereka :
“Mereka taubat dari mencuri, merampok, dan lain-lainnya.” Lalu Ibnu
Taimiyah menjawab : “Keadaan mereka sebelum bertaubat (karena dakwah
kalian, ed.) lebih baik daripada keadaan mereka sekarang, karena
sesungguhnya mereka dahulu dalam keadaan fasiq dan meyakini keharaman
apa yang mereka kerjakan sehingga mereka selalu mengharap rahmat dari
Allah dan mereka ingin bertaubat. Adapun sekarang mereka menjadi sesat
dan musyrik akibat dakwah kalian bahkan mereka keluar dari Islam dan
mencintai apa yang dibenci Allah dan membenci apa yang disukai Allah …
.” Kemudian Ibnu Taimiyah menjelaskan kepada mereka bahwa bid’ah yang
mereka kerjakan lebih jelek daripada kemaksiatan lainnya. (Lihat pula
kitab Ilmu Ushulil Bida’ halaman 220)
Demikianlah beberapa
pendapat ulama Ahli Sunnah tentang hukum bershahabat dengan ahli bid’ah.
Dari sini jelaslah bagi kita tentang kebathilan manhaj yang
diistilahkan dengan manhaj al inshaf (sururiyah) terhadap ahli bid’ah
karena kita lihat begitu keras sikap para ulama Ahli Sunnah terhadap
ahli bid’ah. Demikian pula sikap mereka terhadap kitab-kitab ahli bid’ah
sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa ahli bid’ah itu lebih berbahaya
daripada orang-orang kafir yang jelas-jelas menentang Islam. Maka
marilah kita menyelamatkan diri kita dari ‘kalajengking-kalajengking’
yang menyembunyikan kepala dan tangan mereka di dalam tanah dan
mengeluarkan ekornya, kapan saja mereka mempunyai kesempatan maka mereka
langsung menyengat[1] sedangkan kita tidak menyadarinya. Demikianlah
perumpamaan ahli bid’ah yang sangat halus caranya untuk menipu umat
kepada kebid’ahannya. Tidak ada jalan bagi kita untuk menelaah buku-buku
mereka sekarang karena masih tipis ilmu yang kita miliki dan begitu
halus politik dan tipu daya mereka.
Kita baru mengetahui
politik-politik ahli bid’ah tersebut kalau kita sudah menelaah
kitab-kitab mereka yang telah dibantah oleh para ulama Ahli Sunnah.
Contoh Pertama : Seperti seorang sufi yang bernama Hasan Al Banna
ketika memberikan muhadlarah (kuliah) di Mesir, dia mengatakan : [ Di
sini saya tegaskan bahwa permusuhan kita dengan Yahudi bukanlah karena
agama karena Al Qur’an telah menganjurkan kepada kita untuk berkasih
sayang dan berteman dengan mereka. Al Qur’an juga telah membuat
kesepakatan antara kita dengan mereka. Sebagaimana firman Allah :
“Dan janganlah kalian berdebat dengan ahli kitab kecuali dengan cara yang terbaik … .” (Al Ankabut : 46)
Juga ketika Al Qur’an menyinggung Yahudi selalu dalam rangka penetapan hukum sebagaimana firman Allah :
“Maka disebabkan kedhaliman orang-orang yahudi Kami haramkan atas
mereka (memakan makanan yang baik-baik) yang dahulu dihalalkan bagi
mereka … .” (An Nisa’ : 160) ]
Lihat betapa bahaya perkataan
semacam ini. Kita harus memahami bahwa jika yang dimaksud oleh Hasan Al
Banna di atas ialah permusuhan antara kelompoknya (Ikhwanul Muslimin
(IM), ed.) dengan orang yahudi maka benar perkataan di atas (permusuhan
IM dengan orang yahudi bukan karena agama, ed.). Akan tetapi jika yang
ia maksud ialah seluruh kaum Muslimin, maka hal ini menunjukkan
kesesatan yang jelas. Allah Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya
engkau dapati orang yang paling keras permusuhannya dengan orang-orang
yang beriman ialah orang-orang yahudi dan orang-orang musyrik.” (Al
Maidah : 82)
“Orang-orang yahudi dan nashrani tidak akan senang kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (Al Baqarah : 120)
Dua ayat di atas menunjukkan bahwa permusuhan antara kita dengan orang
yahudi ialah karena agama. Di samping itu juga perlu kita ketahui bahwa
orang yahudi adalah kufar sekalipun Hasan Al Banna tidak mengakuinya.
(Lihat Da’watul Ikhwanil Muslimin fi Mizanil Islam halaman 153-154)
Contoh Kedua : Seorang mu’tazili yang bernama Yusuf Qardlawi. Kita
lihat keberaniannya menolak hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam hanya karena tidak cocok dengan perasaan dan pemikirannya seperti
dia menolak hadits :
“Orang yang mengubur anak perempuannya
hidup-hidup dan yang dikubur hidup-hidup tempatnya di neraka.” (HR. Imam
Ahmad dari Abi Salamah dan haditsnya shahih. Lihat Kaifa Nata’malu
Ma’as Sunnah halaman 96. Lihat pula Da’watul Ikhwanil Muslimin fi
Mizanil Islam halaman 186-187[2])
Karena tidak cocok dengan
perasaannya dia mengatakan : “Ketika saya membaca hadits ini maka dada
saya merasa sempit/goncang, kemudian saya mengatakan : ‘Mungkin hadits
ini lemah’.”
Hadits lain yang diingkarinya yaitu riwayat Bukhari Muslim :
Dari Ibnu Umar radliyallahu 'anhuma ia berkata : Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Jika penduduk Surga telah menempati Surga
dan penduduk neraka telah menempati neraka maka maut pun didatangkan di
antara Surga dan neraka kemudian disembelih. Kemudian tukang panggil
mengumumkan : ‘Wahai penduduk Surga sesungguhnya tidak ada lagi
kematian. Wahai penduduk neraka sesungguhnya tidak ada lagi kematian’.
Sehingga penghuni Surga pun bertambah senang dan penghuni neraka pun
bertambah sedih.” (HR. Bukhari Muslim)
Qardlawi mengomentari :
“Bagaimana mungkin maut disembelih? Apakah mungkin maut mati?” Kemudian
dia mengatakan : “Pantas saja Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
mengatakan demikian kepada para shahabatnya yang memang akal mereka
kemampuannya rendah. Sedangkan sekarang, khurafat semacam ini tidak
pantas lagi diceritakan karena tidak dapat diterima oleh akal orang
sekarang (moderen).” (Da’watul Ikhwanil Muslimin fi Mizanil Islam
halaman 196)
Masih banyak lagi perkataan Yusuf Qardlawi yang
sangat menyimpang dari kebenaran, seperti terjadinya ikhtilat di
madrasah-madrasah Qathr dan lain-lainnya yang juga akibat dari fatwanya.
(Lihat Da’watul Ikhwanil Muslimin fi Mizanil Islam)
Contoh
Ketiga : Yaitu seorang rafidli (syiah ekstrim) yang mutasattir
(berpura-pura) dengan sunnah yang bernama Abul A’la Al Maududi yang
tidak hanya mencerca shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
bahkan para Nabi dan Rasul pun dicercanya sebagaimana dalam kitabnya Al
Khilafah wal Mulk. Di antaranya dia menyatakan dalam kitabnya Qur’an
Kaifa Jara Baina Yadai Istilahain halaman 156 : “Sesungguhnya Allah
Subhanahu wa Ta'ala memerintah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
agar meminta ampun karena kekurangannya dalam menyampaikan risalah
Nubuwah[3].”
Dia juga menjelek-jelekkan Abu Bakar, Umar,
Utsman, Muawiyah, dan ‘Aisyah radliyallahu 'anhuma ajma’in (sebagaimana
dalam kitabnya Al Khilafah wal Mulk). Untuk lebih lengkapnya lihat kitab
Da’watul Ikhwanil Muslimin fi Mizanil Islam oleh Farid bin Ahmad bin
Manshur Alul Bait halaman 84.
Setelah kita melihat
perkataan-perkataan di atas timbul pertanyaan di benak kita : “Senangkah
kita jika agama dan Nabi kita dihina seperti ini?” Tentu kita tidak
senang, bahkan kita harus membelanya dari pelecehan-pelecehan seperti
itu. Sekarang timbul pertanyaan lagi setelah itu : “Maukah kita diajak
bekerjasama atau menutup mata dari pelecehan semacam itu dengan alasan
‘ala kulli hal (secara umum, ed.) mereka juga masih banyak kebaikan
terhadap Islam? Atau dengan alasan karena mereka juga mujtahid? Atau
dengan alasan inshaf dan adil?” Tentu akal sehat akan menjawab sebagai
berikut :
1. “ … sesungguhnya mereka itulah musuh! Maka waspadalah terhadap mereka.” (Al Munafiqun : 4)
2. “ … maka siapakah yang lebih dhalim daripada orang-orang yang
membuat kedustaan atas Allah untuk menyesatkan manusia tanpa ilmu? … .”
(Al An’am : 144)
3. “Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Mereka tidak mengatakan sesuatu kecuali dusta.” (Al Kahfi : 5)
Atau paling tidak kita menjawab dengan jawaban yang pernah dilontarkan para ulama Ahli Sunah Wal Jamaah seperti :
1. Ucapan Asy Syathibi : “Ahlul bid’ah ialah musuh dan penghancur
syariat.” (Al I’tisham jilid 1 halaman 65 tahqiq Salim Al Hilali)
2. Ucapan Umar bin Khaththab radliyallahu 'anhu : “Hati-hatilah kalian
dari ashhabir ra’yi (kaum yang menilai kebenaran dengan akalnya) karena
sesungguhnya mereka itu adalah musuh-musuh sunnah. Mereka merasa sulit
untuk menghapal hadits sehingga mereka berkata dengan akalnya dan
akhirnya mereka sesat dan menyesatkan.” (Sunan Ad Daruquthni, Al Washaya
4/146, Jami’ Bayanil Ilmi 2/123, dan Al Lalika’i 1/123. Lihat kitab
Muqaddimat fil Ahwa’ wal Bida’ oleh Nasir bin Abdul Karim Al ‘Aql
halaman 61)
3. Ucapan Said bin Jubair radliyallahu 'anhu :
“Kalau seandainya anakku berteman dengan perampok yang sunni maka lebih
aku sukai daripada dia berteman dengan ahli ibadah yang mubtadi’ (ahli
bid’ah).” (Lihat kitab Ilmu Ushulil Bida’ halaman 218)
4.
Perkataan Ibnu Taimiyah : “Sesunguhnya ahli bid’ah itu lebih jelek
daripada ahli maksiat yang berupa syahwat. Karena dosa ahli maksiat
karena mengerjakan larangan seperti mencuri, zina, minum khamr, atau
memakan harta secara bathil. Sedangkan dosa ahli bid’ah yaitu karena
meninggalkan perintah untuk mengikuti sunah dan ijma’ kaum Mukminin.”
(Ilmu Ushulil Bida’ halaman 219)
Inilah jawaban yang seharusnya
kita ucapkan terhadap orang yang mengajak kita untuk berbasa-basi
terhadap ahli bid’ah. (Lihat Dakwah Ikhwanul Muslimin halaman 68)
Demikianlah beberapa bahaya ahli bid’ah yang telah menjalar ke dalam
tubuh umat ini serta beberapa sikap tegas para ulama dalam rangka
menutup pintu bagi bahaya tersebut. Bimbingan para ulama adalah cahaya
bagi kita semua. Semoga Allah senantiasa memelihara umat ini dari
rongrongan bid’ah dan ahli bid’ah. Amin.
Wallahu A’lam Bis Shawab.
Maraji’ :
1. Al Jami’ li Ahkamil Qur’an. Imam Al Qurthubi.
2. Al I’tisham. Imam Asy Syathibi.
3. Ilmu Ushulil Bida’. Syaikh Ali Hasan.
4. Manhaj Ahli Sunnah wal Jamaah fi Naqdir Rijal wal Kutub wath Thawaif. Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali.
5. Da’watul Ikhwanil Muslimin fi Mizanil Islam. Farid bin Ahmad bin Manshur Alul Bait.
6. Muqaddimah fil Ahwa’ wal Bida’. DR. Nashir bin Abdil Karim Al ‘Aql.
7. Ma Ana ‘Alaihi wa Ashhabi. Syaikh Ahmad Salam.
-------------------------------------------------------------------------
[1] Perumpamaan ini ialah perumpamaan bagi ahli bid’ah. Mereka seperti
kalajengking maksudnya mereka bergaul dengan orang banyak dengan mencari
kesempatan kapan saja untuk menyampaikan apa yang mereka inginkan
(kebid’ahannya, ed.). (Lihat Ilmu Ushulil Bida’ halaman 291)
[2] Kalaupun seandainya hadits ini dlaif, penilaian Yusuf Qardlawi
seperti itu tetap tidak dapat diterima karena para ulama menilai hadits
dengan ilmu Musthalahul Hadits, bukan dengan perasaan (seperti caranya
Qardlawi, ed.). Maksud hadits tersebut sebenarnya berlaku khusus bagi
Mulaikah dan orang yang dikuburnya hidup-hidup sebagaimana pada lafadh
seterusnya dalam hadits di atas.
[3] Padahal maksudnya ialah :
“Mintalah ampun kepada Allah dengan senantiasa berdzikir kepada-Nya.”
(Lihat Al Jami’ li Ahkamil Qur’an jilid 20 oleh Al Qurthubi)
(Oleh Ustadz Musthafa Mahmud Adam Al Buthani, sekarang belajar di Yaman,
red. [Dinukil dari majalah SALAFY XXIV/1418/1998/NASEHATI])
Posted in: Bid'ah
0 komentar:
Posting Komentar