-->

02 September 2012

Bangga men­jadi Ibu Rumah Tangga, Profesi Yang Mulia…



Hebat rasanya ketika men­dengar ada seorang wanita lulusan sebuah univer­sitas ter­nama telah bekerja di sebuah per­usahaan bonafit dengan gaji jutaan rupiah per bulan. Belum lagi per­usahaan sering menugaskan wanita ter­sebut ter­bang ke luar negeri untuk menyelesaikan urusan per­usahaan. Ter­gam­bar seolah kesuk­sesan telah dia raih. Benar seperti itukah?
Kebanyakan orang akan ber­ang­gapan demikian. Sesuatu dikatakan suk­ses lebih dinilai dari segi materi sehingga jika ada sesuatu yang tidak mem­beri nilai materi akan diang­gap remeh. Cara pan­dang yang demikian mem­buat banyak dari wanita mus­limah ber­geser dari fitroh­nya. Ber­pan­dangan bahwa sekarang sudah saat­nya wanita tidak hanya ting­gal di rumah men­jadi ibu, tapi sekarang saat­nya wanita menun­jukkan eksis­tensi diri di luar. Meng­gam­barkan seolah-olah ting­gal di rumah men­jadi seorang ibu adalah hal yang rendah.
Kita bisa dapati ketika seorang ibu rumah tangga ditanya teman lama “Sekarang kerja dimana?” rasanya ter­asa berat untuk men­jawab, ber­usaha meng­alihkan pem­bicaraan atau men­jawab dengan suara lirih sam­bil ter­tun­duk “Saya adalah ibu rumah tangga”. Rasanya malu! Apalagi jika teman lama yang menanyakan itu “suk­ses” ber­karir di sebuah per­usahaan besar. Atau kita bisa dapati ketika ada seorang mus­limah lulusan univer­sitas ter­nama dengan pres­tasi bagus atau bahkan ber­p­redikat cum­laude hen­dak ber­khidmat di rumah men­jadi seorang istri dan ibu bagi anak-anak, dia harus ber­hadapan dengan “nasehat” dari bapak ter­cin­tanya: “Putriku! Kamu kan sudah sar­jana, cum­laude lagi! Sayang kalau cuma di rumah saja ngurus suami dan anak.” Padahal, putri ter­cin­tanya hen­dak ber­khidmat dengan sesuatu yang mulia, yaitu sesuatu yang memang men­jadi tang­gung jawabnya. Disana ia ingin men­cari surga.
Ibu Seba­gai Seorang Pendidik
Syaikh Muham­mad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah meng­atakan bahwa per­baikan masyarakat bisa dilakukan dengan dua cara: Per­tama, per­baikan secara lahiriah, yaitu per­baikan yang ber­lang­sung di pasar, masjid, dan ber­ba­gai urusan lahiriah lain­nya. Hal ini banyak didominasi kaum lelaki, karena merekalah yang sering nam­pak dan keluar rumah. Kedua, per­baikan masyarakat di balik layar, yaitu per­baikan yang dilakukan di dalam rumah. Sebagian besar peran ini diserahkan pada kaum wanita sebab wanita merupakan pengurus rumah. Hal ini seba­gaimana difir­mankan Allah subhanahu wa ta’ala yang artinya:

وَقَرنَ فى بُيوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجنَ تَبَرُّجَ الجٰهِلِيَّةِ الأولىٰ ۖ وَأَقِمنَ الصَّلوٰةَ وَءاتينَ الزَّكوٰةَ وَأَطِعنَ اللَّهَ وَرَسولَهُ ۚ إِنَّما يُريدُ اللَّهُ لِيُذهِبَ عَنكُمُ الرِّجسَ أَهلَ البَيتِ وَيُطَهِّرَكُم تَطهيرًا

Dan hen­daklah kamu tetap di rumahmu [1] dan janganlah kamu ber­hias dan ber­ting­kah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu [2]dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesung­guh­nya Allah ber­mak­sud hen­dak meng­hilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait [3]dan mem­ber­sihkan kamu sebersih-bersihnya. (QS. Al-Ahzab : 33)
Per­tum­buhan generasi suatu bangsa adalah per­tama kali ber­ada di buaian para ibu. Ini ber­arti seorang ibu telah meng­am­bil jatah yang besar dalam pem­ben­tukan pribadi sebuah generasi. Ini adalah tugas yang besar! Meng­ajari mereka kalimat Laa Ilaaha Illallah, menan­capkan tauhid ke dada-dada mereka, menanamkan kecin­taan pada Al Quran dan As Sunah seba­gai pedoman hidup, kecin­taan pada ilmu, kecin­taan pada Al Haq, meng­ajari mereka bagaimana ber­ibadah pada Allah yang telah men­cip­takan mereka, meng­ajari mereka akhlak-akhlak mulia, meng­ajari mereka bagaimana men­jadi pem­berani tapi tidak som­bong, meng­ajari mereka untuk ber­syukur, meng­ajari ber­sabar, meng­ajari mereka arti disiplin, tang­gung jawab, meng­ajari mereka rasa empati, meng­har­gai orang lain, memaafkan, dan masih banyak lagi. Ter­masuk di dalam­nya hal yang menurut banyak orang diang­gap seba­gai sesuatu yang kecil dan remeh, seperti meng­ajarkan pada anak adab ke kamar mandi. Bukan hanya sekedar supaya anak tau bahwa masuk kamar mandi itu dengan kaki kiri, tapi bagaimana supaya hal semacam itu bisa men­jadi kebiasaan yang lekat padanya. Butuh ketelatenan dan kesabaran untuk membiasakannya.
Sebuah Tang­gung Jawab
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يٰأَيُّهَا الَّذينَ ءامَنوا قوا أَنفُسَكُم وَأَهليكُم نارًا وَقودُهَا النّاسُ وَالحِجارَةُ عَلَيها مَلٰئِكَةٌ غِلاظٌ شِدادٌ لا يَعصونَ اللَّهَ ما أَمَرَهُم وَيَفعَلونَ ما يُؤمَرونَ

“Hai orang-orang yang ber­iman, peliharalah dirimu dan keluar­gamu dari api neraka yang bahan bakar­nya manusia dan batu, pen­jaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak men­dur­hakai Allah ter­hadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu meng­er­jakan apa yang diperin­tahkan.” (QS. At Tahrim: 6)
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya: “Peliharalah dirimu dan keluar­gamu!” di atas meng­gunakan Fi’il Amr (kata kerja per­in­tah) yang menun­jukkan bahwa hukum­nya wajib. Oleh karena itu semua kaum mus­limin yang mem­punyai keluarga wajib menyelamatkan diri dan keluarga dari bahaya api neraka.
Ten­tang Surat At Tahrim ayat ke-6 ini, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ber­kata, “Ajarkan kebaikan kepada dirimu dan keluar­gamu.” (Diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Mus­tadrak–nya (IV/494), dan ia meng­atakan hadist ini shahih ber­dasarkan syarat Bukhari dan Mus­lim, sekalipun keduanya tidak mengeluarkannya)
Muqatil meng­atakan bahwa mak­sud ayat ter­sebut adalah, setiap mus­lim harus men­didik diri dan keluar­ganya dengan cara memerin­tahkan mereka untuk meng­er­jakan kebaikan dan melarang mereka dari per­buatan maksiat.
Ibnu Qoyyim men­jelaskan bahwa beberapa ulama meng­atakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan meminta per­tang­gungjawaban setiap orang tua ten­tang anak­nya pada hari kiamat sebelum si anak sen­diri meminta per­tang­gungjawaban orang tuanya. Seba­gaimana seorang ayah itu mem­punyai hak atas anak­nya, maka anak pun mem­punyai hak atas ayah­nya. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala ber­firman, “Kami wajibkan kepada manusia agar ber­buat baik kepada kedua orang tuanya.” (QS. Al Ankabut: 7), maka disam­ping itu Allah juga ber­firman, “Peliharalah dirimu dan keluar­gamu dari api neraka yang ber­bahan bakar manusia dan batu.” (QS. At Tahrim: 6)
Ibnu Qoyyim selan­jut­nya men­jelaskan bahwa barang siapa yang meng­abaikan pen­didikan anak­nya dalam hal-hal yang ber­man­faat baginya, lalu ia mem­biarkan begitu saja, ber­arti telah melakukan kesalahan besar. Mayoritas penyebab kerusakan anak adalah akibat orang tua yang acuh tak acuh ter­hadap anak mereka, tidak mau meng­ajarkan kewajiban dan sun­nah agama. Mereka menyia-nyiakan anak ketika masih kecil sehingga mereka tidak bisa meng­am­bil keun­tungan dari anak mereka ketika dewasa, sang anak pun tidak bisa men­jadi anak yang ber­man­faat bagi ayahnya.
Adapun dalil yang lain dian­taranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala yang artinya:
“dan ber­ilah per­ingatan kepada kerabatmu yang dekat.” (QS asy Syu’ara’: 214)
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma meng­atakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ber­sabda (yang artinya), “Kaum lelaki adalah pemim­pin bagi keluar­ganya di rumah, dia ber­tang­gung jawab atas keluar­ganya. Wanita pun pemim­pin yang meng­urusi rumah suami dan anak-anaknya. Dia pun ber­tang­gung jawab atas diri mereka. Budak seorang pria pun jadi pemim­pin meng­urusi harta tuan­nya, dia pun ber­tang­gung jawab atas kepengurusan­nya. Kalian semua adalah pemim­pin dan ber­tang­gung jawab atas kepemim­pinan­nya.” (HR. Bukhari 2/91)
Dari keterangan di atas, nam­pak jelas bahwa setiap insan yang ada hubungan keluarga dan kerabat hen­dak­nya saling bekerja sama, saling menasehati dan turut men­didik keluarga. Utamanya orang tua kepada anak, karena mereka sangat mem­butuhkan bim­bingan­nya. Orang tua hen­dak­nya memelihara fitrah anak agar tidak kena noda syirik dan dosa-dosa lain­nya. Ini adalah tang­gung jawab yang besar yang kita akan dimin­tai per­tang­gungjawaban tentangnya.
Siapa Menanam, Dia akan Menuai Benih
Bagaimana hati seorang ibu melihat anak-anaknya tum­buh? Ketika tabungan anak kita yang usia 5 tahun mulai menum­puk, “Mau untuk apa nak, tabungan­nya?” Mata rasanya haru ketika seketika anak men­jawab “Mau buat beli CD murotal, Mi!” padahal anak-anak lain kebanyakan akan men­jawab “Mau buat beli PS!” Atau ketika ditanya ten­tang cita-cita, “Adek pengen jadi ulama!” Haru! men­dengar jawaban ini dari seorang anak tat­kala ana-anak seusianya ber­mimpi “pengen jadi Superman!”
Jiwa seperti ini bagaimana mem­ben­tuk­nya? Butuh seorang pen­didik yang ulet dan telaten. Bersungguh-sungguh, dengan tekad yang kuat. Seorang yang sabar untuk setiap hari menempa dengan dibekali ilmu yang kuat. Penuh dengan tawakal dan ber­gan­tung pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lalu… jika seperti ini, bisakah kita begitu saja menitip­kan­nya pada pem­bantu atau mem­biarkan anak tum­buh begitu saja?? Kita sama-sama tau ling­kungan kita bagaimana (TV, media, masyarakat,…) Siapa lagi kalau bukan kita, wahai para ibu –atau calon ibu-?
Setelah kita memahami besar­nya peran dan tang­gung jawab seorang ibu seba­gai seorang pen­didik, melihat realita yang ada sekarang seper­tinya keadaan­nya menyedihkan! Tidak semua memang, tapi banyak dari para ibu yang mereka sibuk bekerja dan tidak mem­per­hatikan bagaimana pen­didikan anak mereka. Tidak mem­per­hatikan bagaimana aqidah mereka, apakah ter­kotori dengan syirik atau tidak. Bagaimana ibadah mereka, apakah sholat mereka telah benar atau tidak, atau bahkan malah tidak meng­er­jakan­nya… Bagaimana mung­kin peker­jaan menan­capkan tauhid di dada-dada generasi mus­lim bisa diban­dingkan dengan gaji jutaan rupiah di per­usahaan bonafit? Sung­guh! sangat jauh perbandingannya.
Aneh­nya lagi, banyak ibu-ibu yang sebenar­nya ting­gal di rumah namun tidak juga mereka mem­per­hatikan pen­didikan anak­nya, bagaimana kep­ribadian anak mereka diben­tuk. Penulis sem­pat seben­tar ting­gal di daerah yang sebagian besar ibu-ibu nya menetap di rumah tapi sangat acuh dengan pen­didikan anak-anak mereka. Mem­besarkan anak seolah hanya sekedar mem­berinya makan. Sedih!
Padahal anak adalah inves­tasi bagi orang tua di dunia dan akhirat! Setiap upaya yang kita lakukan demi men­didik­nya dengan ikh­las adalah suatu kebajikan. Setiap kebajikan akan men­dapat balasan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ingin­kah hari kita ter­isi dengan­nya? Atau memang yang kita inginkan adalah kesuk­sesan karir anak kita, meraih hidup yang ber­kecukupan, cukup untuk mem­beli rumah mewah, cukup untuk mem­beli mobil men­tereng, cukup untuk mem­bayar 10 pem­bantu, mem­punyai keluarga yang bahagia, ber­akhir pekan di villa. Tanpa mem­per­hatikan bagaimana aqidah, bagaimana ibadah, asal tidak ber­teng­kar dan bisa senyum dan ter­tawa ria di rumah, disebut­lah itu dengan bahagia.
Ketika usia senja, mata mulai rabun, tulang mulai rapuh, atau bahkan tubuh ini hanya mampu ber­baring dan tak bisa bang­kit dari ran­jang untuk sekedar ber­jalan. Siapa yang mau meng­urus kita kalau kita tidak per­nah men­didik anak-anak kita? Bukan­kah mereka sedang sibuk dengan karir mereka yang dulu per­nah kita bang­gakan, atau mung­kin sedang asik dengan istri dan anak-anak mereka?
Ketika malaikat maut telah datang, ketika jasad telah dimasukkan ke kubur, ketika diri sangat mem­butuhkan doa padahal pada hari itu diri ini sudah tidak mampu ber­buat banyak karena pintu amal telah ditutup, siapakah yang men­doakan kita kalau kita tidak per­nah meng­ajari anak-anak kita?
Lalu…
Masih­kah kita meng­atakan jabatan ibu rumah tangga dengan kata ‘cuma’Ooo, Emm? dengan ter­tun­duk dan suara lirih karena malu?
Wallahu a’lam
Pemateri: Ustadz Abu Nida

[1] Mak­sud­nya: isteri-isteri Rasul agar tetap di rumah dan ke luar rumah bila ada keper­luan yang dibenarkan oleh syara’. per­in­tah ini juga meliputi segenap mukminat.
[2] Yang dimak­sud Jahiliyah yang dahulu ialah Jahiliah kekafiran yang ter­dapat sebelum Nabi Muham­mad s.a.w. dan yang dimak­sud Jahiliyah sekarang ialah Jahiliyah kemak­siatan, yang ter­jadi sesudah datang­nya Islam.
[3] Ahlul bait di sini, Yaitu keluarga rumah tangga Rasulullah Sholallahu alaihi wa sallam ‘alaihi wa sallam
sumber : www.hang106.or.id

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.