Oleh: Abu Ashim Muhtar Arifin Lc
Ada sebuah dialog antara seorang muslim yang aktif dalam berdakwah di jalan Allah ta’ala dengan seorang laki-laki kafir. Seorang da’i tersebut memiliki jenggot yang lebat, karena dia adalah orang yang komitmen dalam mengamalkan sunnah Nabi -shollallahu alaihi wa sallam- yang mulia. Ketika orang kafir itu melihat jenggotnya yang panjang, maka ia ingin merendahkan, mengejek dan memperolok-oloknya. Orang kafir itu bertanya untuk mengejek jenggotnya : ”Mana yang lebih utama, jenggot ini ataukah ekor anjing?”
Da’i yang bijak dan sabar tersebut menjawab: ”Apabila jenggot ini akan berada di surga, maka ia lebih baik daripada ekor seekor anjing. Akan tetapi apabila jenggot ini akan berada di neraka, maka ekor seekor anjing lebih utama dari jenggot ini.”
Orang kafir itu pun segera mengatakan: ”Asyhadu alla ilâha illallah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullâh (Saya bersaksi bahwa tiada ilâh yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah).”
Segala puji bagi Allah, akhirnya ia memeluk agama Islam dan termasuk orang-orang yang komitmen dalam menjalankannya. Semoga Allah memberi kita semua ketegaran dan istiqamah dalam memegang satu-satunya agama yang haq dan mulia ini.
[2] Tidak Sombong Meskipun Kepada Seekor Anjing
Sombong terhadap orang lain adalah termasuk perkara yang dibenci Syari’at. Banyak ayat dan hadits yang memerintahkan manusia agar menjauhi sikap yang tercela ini.
Salah satu sifat rendah diri seorang imam yang pantas dicontoh adalah apa yang dilakukan oleh tokoh pembesar madzhab syafi’i Abu Ishaq asy-Syirazi -rahimahullah-. Pada suatu hari beliau berjalan di suatu jalan umum bersama para sahabatnya. Ketika sedang berjalan, tiba-tiba beliau berpapasan dengan seekor anjing. Lalu pemiliknya mengusir anjing itu (sebagai bentuk penghormatan untuk beliau). Melihat perlakuan orang itu, beliau melarangnya dan mengatakan: ”Biarkanlah anjing itu, tidakkah engkau mengerti bahwa jalan ini adalah milik bersama, untukku dan untuk anjing itu ?!” (Majmū’ Syarh al-Muhadzdzab, jilid 1, hlm. 6)
[3] Allah Menampakkan Keutamaan Ilmu
Melalui Anjing
Ilmu Syari’at ini memiliki keutamaan yang sangat banyak. Keutamaan-keutamaan tersebut telah dijelaskan oleh Allah dalam al-Qur`an dan oleh Rasulullah n dalam banyak hadits-hadits yang shahih. Para ulama pun telah menjelaskan hal itu dalam karya-karya ilmiyah mereka. Salah satunya terlihat dari ayat tentang berburu dengan anjing buruan.
Allah berfirman:
Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?”. Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya. (QS. al-Mâ`idah: 4)
Imam al-Qurthubi -rahimahullah- juga mengatakan: ”Masalah ke-17: Dalam ayat ini, terdapat sebuah dalil yang menunjukkan bahwa orang yang berilmu memiliki keutamaan yang tidak dimiliki oleh orang yang tidak berilmu. Hal itu apabila seekor anjing terdidik, maka ia akan memiliki keutamaan melebihi segala jenis anjing. Dengan demikian, apabila seseorang memiliki ilmu, maka dia lebih utama untuk mendapatkan keutamaan atas semua manusia, terlebih apabila ia mengamalkan ilmunya.” (Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, jilid 6, hlm. 74)
Ungkapan senada pula telah disampaikan oleh Imam Ibnul Qayyim -rahimahullah- dalam Miftâh Dâr as-Sa’âdah, jilid 1, hlm. 235-236 dan Syaikh Abdur Rahman bin Nashir as-Sa’di dalam Taisîr al-Karîm ar-Rahmân, hlm. 221)
[4] Pengekor Hawa Nafsu Seperti Anjing Penjilat
Allah ta’ala telah banyak membuat permisalan tentang jeleknya dan hinanya orang yang telah diberi ilmu lalu mengikuti hawa nafsunya dengan sifat yang ada dalam seekor anjing. Hal itu dijelaskan dalam firman-Nya:
Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah kami berikan kepadanya ayat-ayat kami (pengetahuan tentang isi al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. (QS. al-A’râf: 175-176)
Ketika menjelaskan ayat ini, Ibnul Qayyim -rahimahullah- mengatakan: ”Allah membuat perumpamaan bagi orang yang telah diturunkan kepadanya kitab Allah dan diajari ilmu yang orang yang lain terhalang darinya, lalu ia tidak mengamalkannya malah mengikuti hawa nafsu serta mengutamakan kemurkaan Allah atas keridhaan-Nya, dunia daripada akhirat dan makhluk daripada Khaliq, (orang tersebut bagaikan) anjing, binatang yang paling hina dan paling rendah kedudukannya serta paling hina jiwanya. Keinginannya tidak lebih dari perutnya. Ia adalah binatang yang paling rakus dan tamak.
Di antara kerakusannya adalah bahwa ia tidak berjalan melainkan moncongnya berada di tanah mencium-cium dan mencari bau-bauan dengan rakus dan tamak. Anjing ini selalu menciumi duburnya, bukan anggota badan yang lain. Apabila engkau melempar batu kepadanya, ia akan menuju kepadanya untuk menggigitnya karena kerakusannya yang amat sangat. Ia adalah binatang yang paling rendah dan paling tahan berada dalam kehinaan serta paling rela dengan perkara-perkara yang rendahan”. (at-Tafsîr al-Qayyim, dikumpulkan oleh Muhammad an-Nadawi, hlm. 280-281)
[5] Ungkapan ”Barangsiapa yang menyangka bahwa dia lebih baik dari anjing, maka anjing lebih baik dari pada orang itu”
Al-’Allâmah Zakariya bin Muhammad al-Anshari asy-Syafi’i t (wafat 926 H) pernah ditanya tentang perkataan sebagian orang sufi:
مَنْ ظَنَّ أَنَّهُ خَيْرٌ مِنَ الْكَلْبِ فَالْكَلْبُ خَيْرٌ مِنْهُ
Barangsiapa yang menyangka bahwa dia lebih baik daripada anjing, maka anjing lebih baik daripada orang itu.Kemudian beliau menjawab: ”Maknanya yaitu, tidak sepantasnya bagi siapapun menyangka bahwa ia lebih baik daripada anjing, dan tidak pula sepadan dengannya, karena akhir dari urusan kehidupan orang itu tidak diketahui, apakah ia akan tinggal selamanya di neraka ataukah tidak? Sekiranya tidak kekal di neraka, apakah ia akan diadzab ataukah tidak? Kapan saja orang itu menyangka demikian (yaitu merasa lebih tinggi, lebih baik dan utama dari anjing secara mutlak, pen), maka anjinglah yang lebih baik darinya. Hal itu karena anjing itu tidak mukallaf (tidak terbebani untuk menjalankan syari’at) dan tidak mendapatkan adzab. Allâhu a’lam”. (al-I’lâm wa al-Ihtimâm bi Jam’ Fatâwâ Syaikh al-Islam Abu Yahya Zakariya al-Anshari, dikumpulkan oleh Ahmad Ubaid)
(Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Ed 48, hal. 55-58)
0 komentar:
Posting Komentar