”Apabila
seseorang melihat hilal Ramadhan atau Syawal apakah menjalankan
ash-shaum atau berhari raya dengan ru’yahnya sendiri? Atau
menjalankannya bersama kaum muslimin?”
Dalam masalah ini ada tiga pendapat semuanya diriwayatkan dari Al-Imam Ahmad kemudian
beliau menyebutkan pendapat tersebut satu-persatu dalam kitabnya dan
yang perlu untuk kita sampaikan di sini adalah pendapat yang sesuai
dengan hadits yaitu:Pendapat ketiga: bershaum dan berhari raya bersama kaum muslimin adalah pendapat yang paling kuat berdasarkan hadits dari Abi Hurairah, bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata:
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَ أَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Shaumnya kalian adalah pada hari dimana
kaum muslimin bershaum, Idul Fitri kalian adalah pada hari kaum muslimin
beridul fitri, dan Idul Adha kalian adalah pada hari kaum muslimin
beridul Adha.”[1]
H.R. Tirmidzi dan menyatakan hadits ini adalah hasan ghorib. Kemudian Al-Imam At-Tirmidzi memberikan komentar:
”Sebagian ulama menafsirkan hadits ini
bahwa maknanya adalah ash-shaum dan hari raya bersama jama’ah kaum
muslimin dan mayoritas dari mereka. “[2]
Pendapat ini dipilih oleh Ibnul Qoyyim, Ash-Shan’ani, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Asy-Syaikh Al-Albani dan Asy-Syaikh Muqbil dalam kitab beliau Al-Jami’ush Shahih, ketika beliau menyebutkan sebuah bab:
بَابُ الصَّوْم يَوْمَ يَصُومُ مُعْظَمُ النَّاسُ
“Bab yang Menjelaskan Bahwasannya Ash-Shaum pada Saat Mayoritas Kaum Muslimin Bershaum”.
Kemudian Asy-Syaikh Muqbil menyebutkan hadits Abu Hurairah di atas.[3]Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menerangkan maksud hadits di atas yang terdapat dalam Ash-Shahihah hadist no.224, bahwa:
“Perkara inilah yang tepat dan sesuai
dengan Asy-syariat yang bersifat selalu memberikan kemudahan ini, yang
diantara tujuan utamanya adalah menyatukan barisan kaum muslimin dan
menjauhkan semua sebab-sebab yang menimbulkan perpecahan diantara mereka
dengan munculnya berbagai pendapat pribadi. Syariat ini tidak
memperhitungkan pendapat pribadi – walaupun benar menurut dirinya –
dalam sebuah ibadah yang bersifat jama’i (masal) seperti ash-shaum, hari
raya, dan shalat berjama’ah. Bukankah anda mengetahui bahwa para Shahabat radhiallahu
‘anhum sebagian mereka berma`mum terhadap yang lainnya, sedangkan di
antara mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh perempuan dan
kemaluan serta keluarnya darah termasuk pembatal wudhu`. Sedangkan
shahabat lain menganggap hal tersebut tidak membatalkan. Di antara
mereka ada yang menyempurnakan shalat (tidak meng-qashar) ketika safar
dan ada pula yang meng-qashar. Namun perbedaan seperti ini tidak
menghalangi mereka untuk bersama-sama shalat di belakang seorang imam
(yang berbeda pendapat dengan mereka) dan memberikan kepercayaan
sepenuhnya kepada imam tersebut. Hal ini karena para shahabat mengetahui
bahwa perpecahan dalam agama adalah lebih jelek dibandingkan perpecahan
dalam masalah fiqh. Bahkan para shahabat meninggalkan pendapat yang ia
yakini ketika menyelisih ketentuan imam ( kholifah
) dalam ruang lingkup masyarakat yang besar seperti di Mina. Sehingga
mereka tidak mengamalkan secara mutlak pendapat yang mereka yakini dalam
rangka menghindari dampak negatif (kejelekan) yang akan muncul
setelahnya. Al-Imam Abu Dawud meriwayatkan bahwa Khalifah ‘Utsman radhiallahu ‘anhu tatkala shalat di Mina empat rakaat (tidak meng-qashar shalat). Maka Ibnu Mas’ud mengingkari
perbuatan Khalifah ‘Utsman tersebut seraya berkata : ‘Saya shalat di
belakang Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam serta di belakang Abu Bakar dan ‘Umar (mereka
semua meng-qashar shalat menjadi dua raka’at) kemudian muncul di masa
Khalifah ‘Utsman, penyempurnaan shalat menjadi empat raka’at (di Mina).
Sehingga kalian terpecah-belah. Sungguh saya berharap diterimanya dua
rakaat dari empat rakaat yang aku lakukan bersama ‘Utsman. Setelah itu
Ibnu Mas’ud shalat empat rakaat di belakang Utsman, kemudian beliau
ditanya: “Anda mengkritik ‘Utsman sedangkan Anda sendiri shalat empat
raka’at (yakni berma`mum di belakang ‘Utsman).” Beliau berkata: ‘
(Karena) perselisihan (perpecahan) itu buruk.’
(Berkata Asy-Syaikh Al-Albani): Sanad hadits ini shahih.Al-Imam Ahmad meriwayatkan dalam musnadnya (V/155) dari Abu Dzarr kisah yang hampir sama.
Maka perhatikanlah hadits-hadits dan kisah-kisah di atas. Kemudian kita lihat keadaan kaum muslimin sekarang, mereka senantiasa terpecah-pecah ketika shalat berjama’ah dan tidak mau shalat berma`mum di belakang sebagian imam-imam masjid, bahkan tatkala shalat witir pada bulan Ramadhan, dengan alasan beda madzhab atau beda pendapat. Yang lainnya lagi dari sekelompok orang yang mengaku menguasai ilmu falak, menjalankan shaum dan hari raya menyelisihi pemerintah kaum muslimin berdasarkan pada logika dan ilmu perbintangan mereka, tidak mau peduli dengan persatuan kaum muslimin.
Maka berbagai keterangan ini hendaknya diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Semoga mereka mendapatkan obat bagi kebodohan dan kesombongan yang ada pada dirinya, sehinga kaum muslimin bersatu-padu. Sesungguhnya Tangan Allah bersama persatuan.”[4]
Sudah seharusnya bagi kaum muslimin untuk berusaha melakukan ru’yatul hilal, karena akan banyak mendatangkan manfaat bagi mereka. Dan bagi pemerintah kaum muslimin hendaknya menyebarluaskan berita tentang hasil ru’yah hilal Ramadhan atau Idul Fitri agar semua pihak bisa menjalankan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan ru’yah hilal seperti shaum dan idul fitri.
Hal ini ditunjukkan oleh hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud dan selainnya:
تَرَاءَى النَّاسُ الهلاَلَ فَأَخْبَرْتُ النَّبِيَّ أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
“Kaum muslimin berusaha melihat hilal,
kemudian saya mengabarkan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa
saya melihatnya, maka beliau menjalankan ash-shaum dan memerintahkan
kaum muslimin untuk bershaum.”(Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
dalam Al-Irwa` hadits no. 908)[5]
Dari hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma di atas diambil kesimpulan
diterimanya khabar wahid (kabar dari satu orang) dalam ru’yatul hilal
Ramadhan dan tidak disyaratkan lebih dari satu orang. Ini adalah
pendapat kebanyakan dari para ulama sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam At-Tirmidzi dan juga pendapatnya Al-Imam Asy-Syafi`i dan
Al-Imam Ahmad. Berkata Al-Imam An-Nawawi rahimahullah : “Dan ini adalah
pendapat yang paling benar.” Al-Imam Abu Dawud membuat bab dalam
Sunannya:
بَابُ شَهَادَةِ الْوَاحِدِ عَلَى رُؤْيَةِ الْهِلاَلِ
“Bab Tentang Persaksian Satu Orang dalam Ru’yatul Hilal”
Kemudian disebutkan hadits di atas.Footnote:
[1] H.R. Tirmidzi Abwaabush Shaum, bab 11, hadits
no. 693,lihat Ash-Shohihah karya Syaikh Al-Albani no. 224, Irwaul gholil
no. 905.↩
[2] Lihat Tamamul minnah hal. 359.↩
[3] Lihat Al-Jaami’ush Shahih jilid 2 hal. 373.↩
[4] Silsilah Al Ahaadiits As-shohiihah.no.224↩
[5] H.R. Abu Daud Kitabush Shiyaam, bab 14, hadits
no.2339, Daruquthni no. 227, Ibnu Hiban no. 871, Al-Baihaqi 4/212, dan
Ad-Darimi 2/4 hadits no. 1697 (di nukil dari Al Irwa’ (hadits no.908)↩
0 komentar:
Posting Komentar