Dia
seorang sastrawan kondang, penulis kitab yang populer “Dzilalul
Qur’an”, dan tokoh yang sangat digandrungi kelompok Harakah Ikhwaniyah
serta idola yang sangat dipuja dikalangan mereka, akhirnya meninggal di
tiang gantungan dalam rangka membela prinsipnya. Sebagian orang ada yang
bersikap ghuluw dan fanatik sehingga mengkultuskan dan enggan mengenali
kekurangannya, contoh penulis buku “al-Ikhwanul Muslimun Anugerah yang
Terszalimi” [1] menyanjung
Sayyid kutub dengan sangat berlebihan dengan mengatakan: “Dia seorang
sosok manusia agung, tegar dan terhormat, manusia yang telah mewakafkan
hidupnya untuk Islam dan kejayaannya, memiliki ketajaman dan kejernihan
dalam berfikir, serta telah membuat dunia terpesona padanya, badai ujian
datang bergelombang dan dahsyat, tetapi manusia ini bagaikan batu
karang yang kokoh dan tidak hancur diterpa ombak besar bergelombang,
hanya sedikit orang yang sepertinya bertahan dengan kebenaran yang
diyakininya hingga harus menghantarkannya ke penjara penuh siksaan,
bahkan hayatnya be rakhir di tiang gantungan.”
Benar
yang dikatakan Imam al-Qarafi: ” Jika ahli bid’ah mati tidak
meninggalkan pengikut yang mengkultuskan, karya tulis yang membahayakan
atau tidak meninggalkan pemikiran yang bisa merusak orang lain,
sebaiknya setelah meninggal dunia harus tetap dilindungi kehormatannya,
dijaga aibnya dan nasib urusannya diserahkan kepada Allah Ta’ala” [2]
Pokok-Pokok Pemikirannnya
Dengan
prinsip diatas, para ulama banyak mengkritik penyimpangan Sayyid Qutub
terutama yang terbesar di dalam kitab “Fi Dzilalil Qur’an” dan di antara
ulama yang telah menulis kritikan secara ilmiyah dan obyektif adalah
syaikh Abdullah bin Muhammad ad-Dawaisy dalam kitabnya “al-Mauriduz
Zulai fit Tanbih ala Akhta’iz Dzilal”.
Contoh
penyimpangan yang ada dalam “Dzilalil Qur’an, terdapat pada juz 6
halaman 4008 Sayyid Qutub berkomentar tentang surat al-Falaq: “Telah
disebutkan beberapa riwayat, sebagian ada yang shahih tetapi tidak
mutawatir, bahwa Labid bin al-A’sham seorang Yahudi, telah menyihir Nabi
Shallallahu
‘alaihi wa sallam, di Madinah, menurut sebagian riwayat lain
menyebutkan selama satu bulan sehingga setelahnya beliau baru merasa
sadar mendatangi istrinya. Dan sebagian riwayat lain menuturkan bahwa
pengaruh sihirnya membuat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam seolah-olah telah mengerjakan sesuatu, namun
sebenarnya belum mengerjakannya, sementara dalam riwayat yang lain
disebutkan bahwa kedua surat (alFalaq dan an-Naas) diturunkan untuk
meruqyah (sebagai jampi) beliau tatkala sihir sedang bereaksi,
sebagaimana yang disebutkan dalam mimpinya, lalu beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam membaca kedua surat tersebut hingga buhul-buhul
sihirpun terlepas dan pengaruh buruknya sirna. Akan tetapi beberapa
riwayat tersebut kontradiksi dengan prinsip nubuwah karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terpelihara
dari kesalahan baik dalam perbuatan dan tabligh risalah, sehingga
peristiwa tersebut tidak sesuai dengan keyakinan bahwa semua perkataan
dan perbuatan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah Sunnah dan syari’at, disamping itu riwayat
tersebut tidak bisa diterima karena al-Qur’an telah mengatakan bahwa
Rasul bukanlah orang yang terkena sihir dan Allah mendustakan
orang-orang musyrik yang mengada-ada kedustaan ini, maka dengan alasan
itulah kami menolak riwayat-riwayat tersebut, apalagi hadits tersebut
statusnya ahad sehingga tidak bisa digunakan sebagai landasan dalam
menetapkan aqidah, karena ketetapan aqidah hanya dengan al-Qur’an dan
hadits mutawatir karena kemutawatiran suatu hadits menjadi syarat mutlak
untuk menetapkan perkara aqidah sedangkan riwayat-riwayat di atas tidak
mutawatir, apalagi menurit pendapat yang kuat kedua surat ini turun di
Makkah, sehingga semakin menambah lemahnya beberapa riwayat tersebut’.
Maka
Imam al-Mazari berkata: “Sebagai ahli bid’ah tidak menerima hadits
tersebut karena dianggap mengurangi dan meragukan derajat kenabian dan
mereka beranggapan bahwa semua bentuk yang me mbuat cacat kenabian
adalah bathil, karena mereka me ngira bahwa jika ini boleh terjadi pada
Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka akan menghilangkan kepercayaan terhadap ajaran
yang dibawanya, sebab mungkin saja terjadi seolah-oleh beliau melihat
Malaikat Jibril, ternyata sebenarnya bukan Malaikat Jibril atau telah
diwahyukan kepada beliau ternyata tidak.
Al-Mazari berkata: “Semua alasan tersebut tidak bisa diterima, karena hujjah telah menetapkannya bawa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, seorang manusia yang jujur dalam menyampaikan
risalah dan dipelihara oleh Allah dari kesalahan ketika menyampaikan
wahyu-Nya, sementara beberapa mu’jizatpun menjadi saksi atas
kebenarannya, sehinga hasil analisa dan kesimpulan apa pun yang
berlawanan dengan dalil tersebut adalah bathil. Adapun yang betkaitan
dengan perkara dunia yang bukan menjadi tujuan utama dari risalah dan
kenabian, maka Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, seperti manusia biasa bisa terkena musibah dan
terjangkit penyakit, serta terkena sihir yang berpengaruh ke jasadnya,
maka Qadhi Iyadh berkata: “Dengan demikian nyatalah bahwa sihir itu
hanya menguasai jasad dan beberapa anggota tubuhnya yang nampak dan
sihir tersebut tidak mampu menguasai akal sehat dan keimanan beliau”. [3]
Disalin dari Buku Ensiklopedi Penghujatan Terhadap Sunnah, hal 271-273, Cetakan Pertama, Pustaka Imam Abu Hanifah-Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar