-->

03 September 2012

SAYYID QUTUB (Punya Andil Menolak Sunnah)




Oleh. Ustadz Zaenal Abidin Syamsudin, Lc
Dia seorang sastrawan kondang, penulis kitab yang populer “Dzilalul Qur’an”, dan tokoh yang sangat digandrungi kelompok Harakah Ikhwaniyah serta idola yang sangat dipuja dikalangan mereka, akhirnya meninggal di tiang gantungan dalam rangka membela prinsipnya. Sebagian orang ada yang bersikap ghuluw dan fanatik sehingga mengkultuskan dan enggan mengenali kekurangannya, contoh penulis buku “al-Ikhwanul Muslimun Anugerah yang Terszalimi” [1] menyanjung Sayyid kutub dengan sangat berlebihan dengan mengatakan: “Dia seorang sosok manusia agung, tegar dan terhormat, manusia yang telah mewakafkan hidupnya untuk Islam dan kejayaannya, memiliki ketajaman dan kejernihan dalam berfikir, serta telah membuat dunia terpesona padanya, badai ujian datang bergelombang dan dahsyat, tetapi manusia ini bagaikan batu karang yang kokoh dan tidak hancur diterpa ombak besar bergelombang, hanya sedikit orang yang sepertinya bertahan dengan kebenaran yang diyakininya hingga harus menghantarkannya ke penjara penuh siksaan, bahkan hayatnya be rakhir di tiang gantungan.”

Benar yang dikatakan Imam al-Qarafi: ” Jika ahli bid’ah mati tidak meninggalkan pengikut yang mengkultuskan, karya tulis yang membahayakan atau tidak meninggalkan pemikiran yang bisa merusak orang lain, sebaiknya setelah meninggal dunia harus tetap dilindungi kehormatannya, dijaga aibnya dan nasib urusannya diserahkan kepada Allah Ta’ala” [2]

Pokok-Pokok Pemikirannnya

Dengan prinsip diatas, para ulama banyak mengkritik penyimpangan Sayyid Qutub terutama yang terbesar di dalam kitab “Fi Dzilalil Qur’an” dan di antara ulama yang telah menulis kritikan secara ilmiyah dan obyektif adalah syaikh Abdullah bin Muhammad ad-Dawaisy dalam kitabnya “al-Mauriduz Zulai fit Tanbih ala Akhta’iz Dzilal”.
Contoh penyimpangan yang ada dalam “Dzilalil Qur’an, terdapat pada juz 6 halaman 4008 Sayyid Qutub berkomentar tentang surat al-Falaq: “Telah disebutkan beberapa riwayat, sebagian ada yang shahih tetapi tidak mutawatir, bahwa Labid bin al-A’sham seorang Yahudi, telah menyihir Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di Madinah, menurut sebagian riwayat lain menyebutkan selama satu bulan sehingga setelahnya beliau baru merasa sadar mendatangi istrinya. Dan sebagian riwayat lain menuturkan bahwa pengaruh sihirnya membuat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seolah-olah telah mengerjakan sesuatu, namun sebenarnya belum mengerjakannya, sementara dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa kedua surat (alFalaq dan an-Naas) diturunkan untuk meruqyah (sebagai jampi) beliau tatkala sihir sedang bereaksi, sebagaimana yang disebutkan dalam mimpinya, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca kedua surat tersebut hingga buhul-buhul sihirpun terlepas dan pengaruh buruknya sirna. Akan tetapi beberapa riwayat tersebut kontradiksi dengan prinsip nubuwah karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terpelihara dari kesalahan baik dalam perbuatan dan tabligh risalah, sehingga peristiwa tersebut tidak sesuai dengan keyakinan bahwa semua perkataan dan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Sunnah dan syari’at, disamping itu riwayat tersebut tidak bisa diterima karena al-Qur’an telah mengatakan bahwa Rasul bukanlah orang yang terkena sihir dan Allah mendustakan orang-orang musyrik yang mengada-ada kedustaan ini, maka dengan alasan itulah kami menolak riwayat-riwayat tersebut, apalagi hadits tersebut statusnya ahad sehingga tidak bisa digunakan sebagai landasan dalam menetapkan aqidah, karena ketetapan aqidah hanya dengan al-Qur’an dan hadits mutawatir karena kemutawatiran suatu hadits menjadi syarat mutlak untuk menetapkan perkara aqidah sedangkan riwayat-riwayat di atas tidak mutawatir, apalagi menurit pendapat yang kuat kedua surat ini turun di Makkah, sehingga semakin menambah lemahnya beberapa riwayat tersebut’.
Maka Imam al-Mazari berkata: “Sebagai ahli bid’ah tidak menerima hadits tersebut karena dianggap mengurangi dan meragukan derajat kenabian dan mereka beranggapan bahwa semua bentuk yang me mbuat cacat kenabian adalah bathil, karena mereka me ngira bahwa jika ini boleh terjadi pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka akan menghilangkan kepercayaan terhadap ajaran yang dibawanya, sebab mungkin saja terjadi seolah-oleh beliau melihat Malaikat Jibril, ternyata sebenarnya bukan Malaikat Jibril atau telah diwahyukan kepada beliau ternyata tidak.

Al-Mazari berkata: “Semua alasan tersebut tidak bisa diterima, karena hujjah telah menetapkannya bawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seorang manusia yang jujur dalam menyampaikan risalah dan dipelihara oleh Allah dari kesalahan ketika menyampaikan wahyu-Nya, sementara beberapa mu’jizatpun menjadi saksi atas kebenarannya, sehinga hasil analisa dan kesimpulan apa pun yang berlawanan dengan dalil tersebut adalah bathil. Adapun yang betkaitan dengan perkara dunia yang bukan menjadi tujuan utama dari risalah dan kenabian, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti manusia biasa bisa terkena musibah dan terjangkit penyakit, serta terkena sihir yang berpengaruh ke jasadnya, maka Qadhi Iyadh berkata: “Dengan demikian nyatalah bahwa sihir itu hanya menguasai jasad dan beberapa anggota tubuhnya yang nampak dan sihir tersebut tidak mampu menguasai akal sehat dan keimanan beliau”. [3]

Dipublikasikan oleh : ibnuramadan.wordpress.com
Disalin dari Buku Ensiklopedi Penghujatan Terhadap Sunnah, hal 271-273, Cetakan Pertama, Pustaka Imam Abu Hanifah-Jakarta.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.