Dr. Yusuf al-Qaradhawi mendukung demokrasi seraya berpendapat
bahwa demokrasi merupakan alternatif terbaik untuk diktatorisme dan
pemerintahan tirani. Berikut ini ringkasan pendapat Dr. Yusuf
al-Qaradhawi mengenai demokrasi disertai dengan komentar terhadapnya.
Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengatakan:
“Sesungguhnya sisi liberalisme demokrasi
yang paling baik menurut saya adalah sisi politiknya, yang tercermin
dalam penegakan kehidupan perwakilan, di dalamnya rakyat dapat memilih
wakil-wakil mereka yang akan memerankan kekuasaan legislatif di
parlemen, dan di dalam satu majelis atau dua majelis.
Pemilihan ini hanya bisa ditempuh melalui
pemilihan umum yang bebas dan umum, dan yang berhak menerima adalah
yang mendapat suara paling banyak dari para calon yang berafiliasi ke
partai politik atau non-partai.
“Kekuasaan yang terpilih” inilah yang
akan memiliki otoritas legislatif untuk rakyat, sebagaimana ia juga
mempunyai kekuasaan untuk mengawasi kekuasaan eksekutif atau
“pemerintah”, menilai, mengkritik, atau menjatuhkan mosi tidak percaya,
sehingga dengan demikian, kekuasaan eksekutif tidak lagi layak untuk
dipertahankan.
Dengan kekuasaan yang terpilih, maka
semua urusan rakyat berada di tangannya, dan dengan demikian, rakyat
menjadi sumber kekuasaan.
Bentuk ini secara teoritis cukup baik dan
dapat diterima, menurut kaca mata Islam secara garis besar, jika dapat
diterapkan secara benar dan tepat, serta dapat dihindari berbagai
keburukan dan hal-hal negatif yang terdapat padanya.
Saya katakan “secara garis besar”, karena
pemikiran Islam memiliki beberapa kewaspadaan terhadap beberapa bagian
tertentu dari bentuk di atas.
Kekuasaan terpilih itu tidak memiliki
penetapan hukum untuk hal-hal yang tidak diizinkan oleh Allah Ta’ala.
Kekuasaan ini juga tidak boleh menghalalkan yang haram atau
mengharamkan yang halal atau menggugurkan suatu kewajiban. Sebab, yang
mempunyai kekuasaan menetapkan hukum satu-satunya hanyalah Allah jalla
Sya’nuhu.
Manusia hanya boleh membuat hukum untuk
diri mereka sendiri dalam hal yang diizinkan Allah Ta’ala saja.
Artinya, hukum yang mengatur kepentingan dunia mereka yang tidak dimuat
di dalam suatu nash tertentu, atau nash yang mengandung beberapa makna
kemudian mereka memilih salah satu makna dan menggunakannya dengan
memperhatikan kaidah-kaidah syari’at. Dalam hal itu terdapat medan yang
sangat luas sekali bagi para pembuat undang-undang.
Oleh karena itu, harus dikatakan:
“Sesungguhnya rakyat merupakan sumber kekuasaan dalam batas-batas
syari’at Islam.” Sebagaimana dalam Majelis Tasyri’ (Badan Legislatif)
harus ada komisi khusus yang dipegang oleh para ahli fiqih yang mampu
mengambil kesimpulan dan melakukan ijtihad. Juga menilai berbagai
ketetapan undang-undang, untuk mengetahui sejauh mana kesesuaiannya dan
penyimpangannya dari syar’iat, walaupun sistem demokrasi sendiri tidak
mensyaratkan hal tersebut, meski dalam undang-undang dinyatakan bahwa
agama negara yang dianut adalah Islam.
Kemudian, para calon wakil rakyat juga
harus benar-benar memenuhi atau memiliki bekal yang kuat dalam agama
dan akhlak serta beberapa ketentuan lainnya, misalnya keahlilan dalam
bidang kepentingan umum dan lain sebagainya. Jadi, calon wakil rakyat
tidak boleh dari seorang penjahat atau pemabuk atau suka meninggalkan
shalat atau orang yang menganggap enteng agama.
Di sana terdapat dua sifat yang disyaratkan Islam bagi setiap orang yang akan mengemban suatu pekerjaan.
Pertama, mampu mengemban pekerjaan ini dan mempunyai pengalaman di bidangnya.
Kedua, amanah. Dengan sifat amanah inilah
suatu pekerjaan akan terpelihara dan pelakunya akan takut kepada Allah
Ta’ala. Itulah yang diungkapkan oleh al-Qur’an melalui lisan Yusuf
alaihissalam , di mana dia mengatakan (yang artinya) :
“Berkata
Yusuf, jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku
adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan. “‘ (QS. Yusuf: 55).
Juga dalam kisah Musa alaihissalam, melalui lisan puteri seorang yang sudah tua renta (yang artinya) : “Karena
sesungguhnya, orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja
(pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. “ (QS. Al-Qashash: 26).
Dengan demikian, kekuatan dan ilmu
memerankan sisi intelektual dan profesional yang menjadi syarat suatu
pekerjaan, sedangkan kemampuan menjaga dan amanat mencerminkan sisi
moral dan mental yang memang dituntut pula untuk keberhasilannya.[1]
Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengungkapkan:
“Anehnya, sebagian orang memvonis demokrasi sebagai suatu yang
jelas-jelas merupakan bentuk kemungkaran atau bahkan kekufuran yang
nyata, sedang mereka belum memahaminya secara baik dan benar sampai
kepada substansinya tanpa memandang kepada bentuk dan cirinya.
Di antara kaidah yang ditetapkan oleh para
ulama terdahulu adalah, bahwa keputusan (hukum) terhadap sesuatu
merupakan bagian dari pemahamannya. Oleh karena itu, barangsiapa
menghukumi sesuatu yang tidak diketahuinya, maka hukumnya adalah
salah, meskipun secara kebetulan bisa benar. Sebab, ibaratnya ia
merupakan lemparan yang tidak disengaja. Oleh karena itu, di dalam
hadits ditetapkan bahwa seorang hakim yang memberi keputusan dengan
didasarkan pada ketidaktahuan, maka dia berada di neraka, sebagaimana
orang yang mengetahui yang benar, tetapi dia menetapkan atau menghukumi
dengan yang lain.
Lalu apakah demokrasi yang
didengung-dengungkan oleh berbagai bangsa di dunia, dan diperjuangkan
oleh banyak orang, baik di dunia belahan barat maupun timur, di mana
ada sebagian bangsa bisa sampai kepadanya setelah melalui berbagai
pertempuran sengit dengan penguasa tirani, yang menelan banyak darah
dan menjatuhkan ribuan bahkan jutaan korban manusia. Sebagaimana yang
terjadi di Eropa timur dan lain-lainnya, dan yang banyak dari pemerhati
Islam menganggapnya sebagai sarana yang bisa diterima untuk
meruntuhkan kekuasaan monarki, serta memotong kuku-kuku politik campur
tangan, yang telah banyak menimpa masyarakat muslim. Apakah demokrasi
ini mungkar atau kafir, sebagaimana yang didengungkan oleh beberapa
orang yang tidak memahami sepenuhnya lagi tergesa-gesa!!?!”
Sesungguhnya substansi demokrasi -tanpa
definisi dan istilah akademis- adalah memberikan kesempatan kepada
rakyat untuk memilih orang yang akan mengurus dan mengendalikan urusan
mereka, sehingga mereka tidak dipimpin oleh penguasa yang tidak mereka
sukai, atau diatur oleh sistem yang mereka benci. Selain itu, mereka
juga harus mempunyai hak menilai dan mengkritik
jika penguasa melakukan kesalahan, juga
hak opsi jika penguasa melakukan penyimpangan, dan rakyat tidak boleh
digiring kepada aliran atau sistem ekonomi, sosial, kebudayaan, atau
politik yang tidak mereka kenal dan tidak pula mereka setujui. Jika
sebagian mereka menghalanginya, maka balasannya adalah pemecatan atau
bahkan penyiksaan dan pembunuhan.”
[2]
Sesungguhnya Islam telah mendahului
sistem demokrasi dengan menetapkan beberapa kaidah yang menjadi pijakan
substansinya, tetapi Islam menyerahkan berbagai rinciannya kepada
ijtihad kaum muslimin sesuai dengan pokok-pokok agama mereka,
kepentingan dunia mereka, serta perkembangan kehidupan mereka sesuai
dengan zaman dan tempat, dan juga pembaharuan keadaan manusia.
Kelebihan demokrasi adalah, bahwa ia
mengarahkan di sela-sela perjuangannya yang panjang melawan kezhaliman
dan kaum tirani serta para raja kepada beberapa bentuk dan sarana,
yang sampai sekarang dianggap sebagai jaminan yang paling baik untuk
menjaga rakyat dari penindasan kaum tirani.
Tidak ada larangan bagi umat manusia,
para pemikir dan pemimpin mereka untuk memikirkan bentuk dan cara lain,
barangkali cara baru itu akan mengantarkan kepada yang lebih baik dan
ideal. Tetapi, untuk mempermudah kepada hal tersebut dan
merealisasikannya ke dalam realitas manusia, kita melihat bahwa kita
harus mengambil beberapa hal dari cara-cara demokrasi guna mewujudkan
keadilan, permusyawaratan, penghormatan hak-hak asasi manusia, serta
berdiri melawan kesewenangan para penguasa yang angkuh di muka bumi
ini.
Di antara kaidah syari’at yang
ditetapkan adalah, bahwa sesuatu yang menjadikan hal yang wajib tidak
sempurna kecuali dengannya, maka ia itu menjadi wajib, dan bahwasanya
tujuan-tujuan syari’at yang diharapkan adalah jika tujuan-tujuan itu
mempunyai sarana pencapaiannya, maka sarana ini boleh diambil sebagai
alat menggapai tujuan tersebut.
Tidak ada satu syari’at pun yang
melarang penyerapan pemikiran teori atau praktek empiris dari kalangan
non-muslim. Karena, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam sendiri pada
perang Ahzab telah mengambil pemikiran “penggalian parit”, padahal
strategi tersebut berasal dari strategi bangsa Parsi.
Selain itu, Rasulullah saw pernah juga
mengambil manfaat dari tawanan musyrikin dalam perang Badar “dari
orang-orang yang mampu membaca dan menulis” untuk mengajarkan baca
tulis anak-anak kaum muslimin, meski mereka itu musyrik. Dengan
demikian, hikmah itu adalah barang temuan orang mukmin, di mana saja
dia menemukannya, maka dia yang paling berhak atasnya.
Dalam beberapa buku, saya telah
mengisyaratkan bahwa merupakan hak kita untuk mengambil manfaat dari
pemikiran, strategi dan sistem yang bisa memberikan manfaat kepada
kita, selama tidak bertentangan dengan nash muhkam (yang jelas) dan
tidak juga kaidah syari’at yang sudah baku, dan kita harus memilih dari
apa yang kita ambil untuk selanjutnya menambahkannya dan melengkapinya
dengan bagian ruh kita serta hal-hal yang dapat menjadikannya sebagai
bagian dari kita dapat dan menghilangkan identitas pertamanya.”[3]
Ungkapan seseorang yang mengatakan, bahwa
demokrasi berarti kekuasaan rakyat oleh rakyat dan karenanya, harus
ditolak prinsip yang menyatakan, bahwa kekuasaan itu hanya milik Allah
semata, maka ungkapan semacam itu sama sekali tidak dapat diterima.
Bagi para penyeru demokrasi tidak perlu
harus menolak kekuasaan Allah atas manusia. Hal seperti itu tidak
pernah terbersit di dalam hati mayoritas penyeru demokrasi. Tetapi yang
menjadi konsentrasi mereka adalah menolak kediktatoran yang
sewenang-wenang, serta menolak pemerintahan otoriter terhadap rakyat.
Benar, setiap yang dimaksudkan dengan
demokrasi oleh mereka adalah memilih pemerintah oleh rakyat sesuai
dengan hati nurani mereka, serta memantau tindakan dan kebijakan
mereka, serta menolak berbagai perintah mereka jika bertentangan dengan
undang undang rakyat, atau dengan ungkapan Islam: “Jika mereka
memerintahkan untuk berbuat maksiat,” dan mereka juga mempunyai hak
untuk menurunkan penguasa jika melakukan penyimpangan dan berbuat
zhalim serta tidak mau menerima nasihat atau peringatan. “[4]
Sesungguhnya undang-undang menetapkan,
di samping berpegang pada demokrasi, bahwa agama negara adalah Islam
dan bahwasanya syari’at Islam adalah sumber hukum dan undang-undang,
dan yang demikian itu merupakan penegasan akan kekuasaan Allah atau
kekuasaan syari’at-Nya, dan kekuasaan itulah yang memiliki kalimat
tertinggi.
Dimungkinkan juga untuk menambahkan
pada undang-undang materi yang secara tegas dan lantang menetapkan,
bahwa setiap undang-undang atau sistem yang bertentangan dengan
syari’at yang baku dan permanen, maka undang-undang itu adalah bathil.”[5]
Tidak ada ruang untuk pemberian suara
dalam berbagai hukum pasti dari syari’at dan juga pokok-pokok agama
serta hal-hal yang wajib dilakukan dalam agama, tetapi pemberian suara
itu pada masalah-masalah ijtihadiyah yang mencakup lebih dari satu
pendapat. Sudah menjadi kebiasaan manusia untuk berbeda pendapat dalam
hal tersebut, misalnya pemilihan salah satu calon yang akan menempati
suatu jabatan, meskipun itu jabatan kepala negara, dan seperti juga
pengeluaran undang-undang untuk mengatur lalu lintas jalan raya atau
untuk mengatur bangunan tempat perdagangan atau industri atau rumah
sakit, atau yang lainnya yang oleh para ahli fiqih disebut sebagai
“mashalihul mursalah.” Atau seperti juga pengambilan keputusan untuk
mengumumkan perang atau tidak, mengharuskan pembayaran pajak tertentu
atau tidak, atau mengumumkan keadaan darurat atau tidak, atau
membatasi jabatan Presiden, dan pembolehan membatasi masa pemilihan
atau tidak, demikian seterusnya.
Jika banyak pendapat yang berbeda dalam
masalah ini, maka apakah pendapat itu akan ditinggal menggantung
begitu saja, apakah ada tarjih tanpa murajjah (yang diunggulkan)?
Ataukah harus ada murajjah?
Sesungguhnya logika akal, syari’at dan
realitas menyatakan harus ada murajjah (yang diunggulkan), dan yang
diunggulkan pada saat terjadi perbedaan pendapat adalah jumlah
terbanyak. Sebab, pendapat dua orang itu lebih mendekati kebenaran
daripada pendapat satu orang, dan dalam hadits disebutkan (yang
artinya) :
“Sesungguhnya, syaitan itu bersama satu orang dan dia (syaitan) lebih jauh dari dua orang.”,[7]
Ungkapan orang yang menyatakan, bahwa
tarjih (pengunggulan satu pendapat) itu adalah untuk yang benar
meskipun tidak ada seorang pun pendukungnya. Adapun yang salah harus
ditolak meskipun didukung oleh 99 dari 100. Ungkapan ini hanyalah tepat
pada hal-hal yang ditetapkan oleh syari’at secara gamblang, tegas dan
terang yang menyingkirkan perselisihan dan tidak mengandung perbedaan
atau menerima pertentangan, dan hal itu hanya sedikit sekali. Itulah
yang dikatakan: “Jama’ah itu adalah yang sejalan dengan kebenaran meski engkau hanya sendirian.”‘[8]
Sesungguhnya petaka pertama yang menimpa
umat Islam dalam perjalanan sejarahnya adalah sikap mengabaikan
terhadap kaidah musyawarah, dan perubahan “Khilafah Rasyidah” menjadi
“kerajaan penindas” yang oleh sebagian sahabat disebut “kekaisaran”.
Artinya, kekuasaan absolut Kaisar telah berpindah kepada kaum muslimin
dari berbagai kerajaan yang telah diwariskan Allah kepadanya. Padahal
semestinya mereka mengambil pelajaran dari mereka dan menghindari
berbagai kemaksiatan dan perbuatan hina yang menjadi sebab musnahnya
negara mereka.
Apa yang menimpa Islam, umatnya, serta
dakwahnya di zaman modern ini tidak lain adalah akibat dari
pemberlakuan pemerintahan otoriter yang bertindak sewenang-wenang
terhadap umat manusia dengan menggunakan pedang kekuasaan dan emasnya,
dan tidaklah syari’at dihapuskan, skularisme diterapkan, serta umat
manusia diharuskan berkiblat ke barat melainkan dengan paksaan, memakai
besi dan api. Tidaklah dakwah Islam dan gerakannya dipukul
habis-habisan serta tidak juga para penganut dan penyerunya dihajar dan
dikejar-kejar melainkan oleh kekuasaan otoriter yang terkadang tanpa
kedok dan terkadang dengan menggunakan kedok demokrasi palsu yang
diperintahkan oleh kekuatan yang memusuhi lslam secara terang-terangan
atau diarahkan dari balik layar.”[9]
Di sini saya (Dr. Yusuf al-Qaradhawi)
perlu menekankan, bahwa saya bukan termasuk orang yang suka menggunakan
kata-kata asing, seperti misalnya; demokrasi dan lain-lainnya untuk
mengungkapkan pengertian-pengertian Islam.
Tetapi, jika suatu istilah telah
menyebar luas di tengah-tengah umat manusia dan telah dipergunakan oleh
banyak orang, maka kita tidak perlu menutup pendengaran kita darinya,
tetapi kita harus mengetahui maksud istilah tersebut, sehingga kita
tidak memahaminya secara keliru, atau mengartikannya secara tidak
benar atau yang tidak dikehendaki oleh orang-orang yang
membicarakannya, dengan begitu hukum kita terhadapnya adalah hukum yang
benar dan seimbang. Meski istilah itu datang dari luar kalangan kita,
hal itu tidak menjadi masalah. Sebab, poros hukum itu tidak pada nama
dan sebutan, tetapi pada kandungan dan substansinya.”[10]
Saya (Dr. Yusuf al-Qaradhawi) termasuk
orang yang menuntut demokrasi dalam posisinya sebagai sarana yang
sangat mudah dan teratur untuk merealisasikan tujuan kita dalam
kehidupan yang mulia, yang di dalamnya kita bisa berdakwah kepada Allah
dan juga kepada Islam, sebagaimana kita telah beriman kepadanya, tanpa
harus dijebloskan ke dalam penjara yang gelap atau dihukum di atas
tiang gantungan.”[11]
Berkenaan dengan hal tersebut, dapat penulis katakan: “Dr. Yusuf
al-Qaradhawi telah dengan sekuat tenaga membela demokrasi dalam
menghadapi pemerintahan otokrasi atau pemerintahan tirani yang berbagai
keburukan dan kesialannya telah dirasakan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi
dan Jama’ah Ikhwanul Muslimin. Oleh karena itu, Dr. Yusuf al-Qaradhawi
berusaha keras mempertahankan demokrasi dengan segenap daya dan upaya.
Yang lebih baik dilakukan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah,
menegakkan hukum Islam yang di dalamnya terdapat konsep musyawarah
Islami yang sudah cukup bagi kita dan tidak lagi memerlukan demokrasi
ala Barat meskipun kita memolesnya dengan berbagai kebaikan dan
keindahan.
Jika kita menyaring demokrasi ini, lalu menambahkan beberapa hal
yang sesuai dengan agama kita atau mengurangi beberapa hal darinya yang
memang bertentangan dengan agama, lalu mengapa kita harus menyebutnya
demokrasi? Mengapa tidak menyebutnya syura (permusyawaratan) misalnya.
Dengan demikian, demokrasi Barat tidak disebut demikian kecuali
diambil dengan seluruh kandungannya. Tetapi, jika diambil dengan
melakukan penyesuaian, perubahan dan penyimpangan, maka hal itu secara
otomatis menjadi sesuatu yang lain yang tidak mungkin kita sebut lagi
sebagai demokrasi. Dalam hal ini, perumpamaannya adalah sama dengan
khamr jika rusak dengan sendirinya atau tindakan seseorang, maka pada
saat itu tidak lagi disebut sebagai khamr, tapi disebut cuka. Demikian
pula demokrasi.
Jadi, yang harus dilakukan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah menyeru
kepada penegakan hukum Islam dengan menerapkan sistem syura
(permusyawaratan) yang adil, daripada mengobati suatu penyakit dengan
penyakit lain, yang bisa jadi lebih berbahaya lagi bagi umat.[12]
A. KOMENTAR JAMAL SULTHAN ATAS FATWA DR. YUSUF AL-QARADHAWI.
Ustadz Jamal Sulthan hafizhahullah mempunyai komentar yang sangat
baik terhadap fatwa Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam hal demokrasi. Di sini
saya bermaksud untuk menukilnya agar bisa diambil manfaat oleh para
pembaca, dan agar para pembaca mengetahui titik-titik ketidakbenaran
dari ucapan Dr. Yusuf al-Qaradhawi.
Jamal Sulthan mengatakan: “Masalah ini sangat penting sekali, dan
ketika yang mengungkapkannya adalah seorang pakar fiqih sekaliber Dr.
Yusuf al-Qaradhawi, maka masalahnya semakin bertambah penting, belum
lagi mimbar yang menjadi tempat penyebaran fatwa yang dibaca tidak
kurang dari satu juta orang berbahasa Arab. Maka pada saat itu, tidak
diragukan lagi bahayanya akan lebih besar, dan dia mempromosikan
dirinya kepada setiap penulis dan pemilik pemikiran.
Fatwa dalam format yang disebarluaskan tidak mempunyai tema sama
sekali dan hampir tidak mempunyai nilai sama sekali, cukuplah bagi anda
ketika anda dihadapkan suatu ungkapan yang anda bisa mengatakan: “itu
benar,” bersikap sama seperti halnya ketika anda tidak bisa mengatakan:
“Itu salah!” Namun, sesungguhnya di sana ada suatu kerancuan yang
aneh, dan beberapa hakikat obyektif dan histroris yang tidak diketahui
Dr. Yusuf al-Qaradhawi, menyebabkan pembicaraannya terjadi kekeliruan,
yang menuntut saya mengkaji cukup lama untuk mendiskusikan “segi dan
pertimbangan” fatwa dengan mengharapkan keluasan hati pemberi fatwa
tersebut, dan kita tahu kesungguhan beliau untuk memperoleh kejelasan
kebenaran, dimana pun berada serta perhatiannya yang tulus insya Allah
terhadap berbagai masalah besar yang membuat sibuk generasi muslim pada
zaman sekarang ini.
Dalam fatwa tersebut ditanyakan, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ustadz Fahmi: “Apakah demokrasi itu kufur?”
Maka, Dr. Yusuf al-Qaradhawi membuka pembicaraannya dengan mengatakan: “Sesungguhnya
substansi demokrasi adalah memberikan kesempatan kepada rakyat untuk
memilih orang yang akan mengurus dan mengendalikan urusan mereka,
sehingga mereka tidak dipimpin oleh penguasa yang tidak mereka sukai,
atau diatur oleh sistem yang mereka benci. Selain itu, mereka juga
harus mempunyai hak menilai dan mengkritik jika penguasa melakukan
kesalahan, juga hak opsi jika penguasa melakukan penyimpangan. Rakyat
tidak boleh digiring kepada aliran atau sistem ekonomi, sosial,
kebudayaan, atau politik yang tidak mereka kenal dan tidak pula mereka
setujui, dan itulah substansi demokrasi.”
Kemudian Dr. Yusuf al-Qaradhawi menambahkan seraya mengomentari:
“Realitas menunjukkan, bahwa orang yang memperhatikan secara seksama
substansi demokrasi, maka dia akan mendapatkan bahwa ia termasuk dari
konsep Islam.”
Pendahuluan inilah yang menjadi kesalahan pertama dan substansial
yang mengakibatkan fatwanya salah secara keseluruhan. Dr. Yusuf
al-Qaradhawi telah menetapkan, bahwa substansi demokrasi adalah
pemberian kesempatan kepada rakyat untuk memilih pemimpin mereka… dan
seterusnya. Inilah salah satu produk pokok dari berbagai produk
demokrasi atau salah satu tampilan dari berbagai penampilan demokrasi,
tetapi itu bukan substansi demokrasi, sebagaimana yang dianggap oleh
Dr. Yusuf al-Qaradhawi.
Namun, demokrasi secara substansial adalah penolakan terhadap teokrasi,
yaitu sistem pemerintahan berdasarkan kekuasaan agama dan menjalankan
pemerintahan atas nama Allah di muka bumi. Kelahiran demokrasi itu
menurut perjalanan sejarahnya adalah sebagai akibat dari pertikaian
negara melawan gereja, hukum buatan manusia melawan hukum agama, hukum
atas nama rakyat dan manusia melawan hukum atas nama Allah dan agama.
Dengan kata lain, kita bisa katakan bahwa demokrasi itu adalah sisi
lain dari sekularisme, dan di antara dampaknya demokrasi adalah
meniadakan perwalian masing-masing individu umat manusia dari pundak
masyarakat. Sebab, jika kita menolak perwalian agama dan Tuhan untuk
kepentingan rakyat, maka semua perwalian di bawahnya sudah pasti akan
tertolak. Dari sini lahirlah berbagai sarana dan sistem yang mengatur
seluk beluk masyarakat, yang mencegah munculnya kekerasan, penindasan
dan kesewenangan dalam bentuk apa pun, dan itu berlangsung setelah
negara sipil dengan para pemikir dan pendukungnya berhasil
merealisasikan kemenangan akhir atas gereja dan para tokoh agama serta
berhasil mencopot kekuasaan dari mereka, seperti yang diketahui oleh
setiap pengkaji sejarah Eropa modern.
Di antara dampak dari kemenangan akhir bagi gerakan demokrasi ini
adalah terhapusnya sifat kesucian dari semua posisi, masalah dan makna,
selama tidak ditetapkan oleh rakyat sebagai sesuatu yang suci. Yang
haram adalah apa yang menurut pendapat mayoritas orang sebagai haram,
sedangkan yang halal adalah apa yang menurut pendapat mayoritas orang
sebagai halal, dengan menutup mata dari setiap referensi yang lain, baik
yang bersifat religius maupun yang lainnya. Sebab, jika anda
menetapkan bahwa di sana terdapat referensi syari’at yang berada di
atas manusia atau harus didahulukan sebelum pendapat rakyat, maka
dengan demikian anda telah menggugurkan dasar demokrasi. Karena, jika
anda mengatakan, misalnya “Sesungguhnya masalah ini berdasarkan nash
al-Qur’an, tidak boleh dilakukan oleh manusia, maka dengan demikian,
anda telah menjadikan hukum hanya pada Allah Ta’ala semata, bukan ada
pada rakyat. Selama kekuasaan dan hukum ditarik dari rakyat, maka
berakhirlah kisah demokrasi itu.
Demikian itulah kisah demokrasi secara ringkas dan ini pula yang
menjadi substansinya, yang diketahui secara pasti oleh Ustadz Fahmi
Huwaidi dan aliran pemikirannya. Dengan demikian, apakah kita bisa
mengatakan seperti yang dikatakan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi: “Barangsiapa
yang memperhatikan secara seksama terhadap substansi demokrasi,
niscaya dia akan mendapatkan bahwa demokrasi termasuk dari konsep
Islam”. Atau kita akan mengatakan seperti yang dikatakannya pula: “Islam
telah mendahului demokrasi dengan menetapkan kaidah-kaidah yang
menjadi dasar pijakan bagi substansinya, hanya saja Islam menyerahkan
rinciannya pada ijtihad kaum muslimin sesuai dengan ajaran agama
mereka, kepentingan dunia mereka, serta perkembangan kehidupan mereka.”
Yang tampak jelas sekali dari fatwa Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah, bahwa
dia menggambarkan demokrasi dengan gambaran tertentu yang dia
angan-angankan dan impikan, lalu dia mengeluarkan fatwanya berdasarkan
pada khayalan yang mempermainkan angan-angannya, bukan pada hakikat
sejarah demokrasi dan obyektivitas yang membentuk istilah demokrasi
dalam pemikiran manusia modern.
Barangkali hal yang sangat jelas menunjukkan hal tersebut adalah ungkapan Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam fatwanya: “Dan
ungkapan orang yang mengatakan bahwa demokrasi berarti pemerintahan
yang kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, sehingga ada
keharusan menolak prinsip yang menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi
berada di tangan Allah, adalah ungkapan yang sama sekali tidak dapat
diterima, karena menyuarakan demokrasi tidak harus menolak kekuasaan
tertinggi berada di tangan Allah atas semua umat manusia. Saya yakin
hal seperti itu tidak pernah terbersit di dalam hati mayoritas penyeru
demokrasi. Tetapi yang menjadi konsentrasi mereka adalah menolak
kediktatoran yang sewenang-wenang, serta menolak pemerintahan yang
menindas rakyat, baik itu penguasa zhalim maupun diktator.”
Sebenarnya, saya (Jamal Sulthan) belum memahami benar ungkapan Dr. Yusuf al-Qaradhawi yang menyatakan:
“Hal seperti itu tidak pernah terbersit di dalam hati mayoritas
penyeru demokrasi. Tetapi, yang menjadi konsentrasi mereka adalah
menolak kediktatoran yang sewenang-wenang, serta menolak pemerintahan
otoriter terhadap rakyat.” Apakah dia pernah melakukan penelitian yang menghasilkan hakikat tersebut? Jika lawannya mengatakan: “Sesungguhnya hal itu selalu terbersit di dalam hati mayoritas penyeru demokrasi,” lalu siapa yang akan menilai dan membenarkan salah satu dari kedua ungkapan tersebut ?
Sesungguhnya fatwa syari’at memerlukan adanya ketelitian dan
keakuratan dalam ucapan, lebih dari sekedar ungkapan yang hanya
dilandasi perasaan (misalnya : ” Saya yakin hal seperti itu tidak
pernah terbersit”, ed). Saya sangat memaklumi Dr. Yusuf alQaradhawi
dalam hal kesungguhannya mempertahankan nilai-nilai keadilan,
kebebasan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia serta
kehormatan mereka. Dalam hal itu, orang seperti dia dan saya mengetahui
betapa kejam cambuk-cambuk para algojo, dan betapa menyeramkannya pula
penjara para penindas. Namun demikian, pembicaraan masalah keadilan,
kebebasan dan hak-hak asasi manusia merupakan suatu hal, sedangkan
pengaturan istilah pemikiran politik untuk memberlakukan hukum syari’at
terhadapnya merupakan hal lain. Sebagaimana realitas terus berada
seperti sediakala tidak berubah seperti yang saya duga. Kita perlu juga
merenungi ucapan Dr. Yusuf al-Qaradhawi:
“Orang muslim yang menyerukan demokrasi pada hakikatnya menyeru
kepadanya sebagai satu bentuk pemerintahan, yang dapat mewujudkan
prinsip-prinsip politik Islam dalam pemilihan pemimpin, penetapan
musyawarah dan loyalitas, serta penegakan amar ma’ruf nahi munkar,
melawan kezhaliman, menolak kemaksiatan, khususnya jika sampai pada
kekufuran yang jelas yang telah ada bukti dari Allah.”
Di sini, saya setuju sekali dengan Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengenai
kriteria yang dikemukakannya mengenai manhaj bagi pemerintahan Islam.
Tetapi, apakah yang mendorong anda untuk meletakkan stempel demokrasi
pada perbincangan ini dan manhaj tersebut? Apakah sebenarnya kesucian
yang dikandung oleh istilah “buatan Barat, perkembangan, sejarah dan
pertikaiannya” untuk anda pertahankan dengan mati-matian dan
memperindah penampilannya di hadapan kaum muslimin? Hal itu mengingatkan
kita terhadap apa yang meliputi akal pikiran kaum muslimin pada tahun
lima puluhan dan enam puluhan sekitar istilah “sosialisme “, sehingga
mereka menjadikan sosialisme dan Islam dua sisi satu mata uang.
Pengalaman yang sama juga kembali terjadi sekali lagi pada istilah
demokrasi.
Sesungguhnya, demokrasi bukan apa yang anda rinci berdasarkan analogi Anda sendiri, atau dirinci oleh orang lain. Tetapi demokrasi merupakan satu kesatuan sistem untuk memelihara bangunan sosial.
Terserah anda mau menerimanya atau menolaknya, lalu mencari manhaj
lain yang melahirkan bagi anda satu istilah lain yang orisinil yang
sesuai dengan ‘aqidah, agama, sejarah dan kemanusiaan anda.
Jika kita boleh menerima istilah tersebut disertai dengan beberapa
penyesuaian terhadapnya agar sejalan dengan lingkungan kita, lalu
bagaimana pendapat anda mengenai istilah teokrasi, atau yang disebut
dengan “pemerintahan berdasarkan ketuhanan”. Kita hanya akan menjauhkan
diri dari monopoli para tokoh agama terhadap kekuasaan atas nama
perwakilan langit sebagaimana yang diketahui oleh sejarah gereja Eropa,
dan tinggallah bagi kita, yaitu menjadikan hukum Allah yang berkuasa
atas umat manusia dan membatasi perundang-ungangan masyarakat. Pada saat
itu, apakah kita bisa mengatakan bahwa substansi teokrasi yaitu “hukum
Allah” adalah Islam?!
Dengan tolok ukur yang sama, jika anda mengatakan: “Sesungguhnya demokrasi itu dari Islam,” maka dibenarkan pula untuk mengatakan: “Sesungguhnya teokrasi itu dari Islam !!!”
Sedangkan kita akan mengatakan:
“Sesungguhnya demokrasi dan teokrasi, keduanya adalah istilah Eropa
yang lahir dan terbentuk serta menunjukkan (budaya) Barat, hal itu
tidak memberikan manfaat bagi kita sebagai kaum muslimin. Sebab, Islam
tidak mengenal pemerintahan pemuka agama, sebagaimana Islam juga tidak
mengenal istilah “surat penebus dosa”, dan tidak pula mengenal
istilah pertikaian antara negara sipil dan gereja, atau antara agama
dan negara. Karena, Islam sebagai agama, sejarah, dan kebudayaan
berbeda dari Kristen sebagai agama, sejarah, dan kebudayaan. Hal itu
memperlihatkan kepada kita secara pasti perbedaan berbagai istilah
pemikiran, politik, dan metodologi antara keduanya (Islam dan Kristen).
Permasalahannya di sini adalah, bahwa sebagian kaum muslimin
berkhayal bahwa hak-hak asasi manusia, keadilan, kebebasan, hak suksesi
kekuasaan dan larangan melakukan penindasan di muka bumi merupakan
hal-hal yang diperjuangkan oleh sistem demokrasi bagi masyarakat, di
mana tidak mungkin bagi mereka untuk menggambarkan prinsip-prinsip ini
dapat terealisasi di bawah payung istilah lain dalam Islam. Yang
demikian itu merupakan satu kesalahan yang sangat berbahaya.
Sesungguhnya hak-hak dan prinsip-prinsip kemanusiaan itu hanya sekedar
dampak dari kelahiran sekularisme atau demokrasi di masyarakat Eropa.
Bersamaan dengan itu mungkin juga memproduksinya, memeliharanya, dan
memberlakukannya di masyarakat lain tanpa melalui jalan sekularisme
atau demokrasi.
Tetapi, dominasi pemikiran Barat atas berbagai aliran pemikiran dan
politik dalam masyarakat kontemporer, dan tirani yang ditanamkan oleh
Eropa ke dalam akal dan jiwa masyarakat dunia ketiga yang di antara
mereka adalah sebagian kaum muslimin, tidak meninggalkan sedikit
kesempatan pun bagi akal non-Eropa untuk memikirkan orisinalitas atau
mengkhayalkan karya pemikiran atau metodologis yang tidak terpengaruh
oleh “kutub Eropa”, serta berbagai manhaj dan istilahnya. Maka sebagian
besar usaha-usaha “dunia ketiga” dalam bidang pemikiran, metodologi dan
istilah -yang di antaranya adalah fatwa ini-, hanyalah sekedar catatan
kaki atau catatan akhir atas matan (isi) yang berasal dari Eropa.
Padahal kita -di lingkungan Islam-, hati nurani Islami menolak kecuali
mencatat sikap kehati-hatiannya yang malu-malu itu terhadap demokrasi,
sedangkan berpura-pura tidak mengetahui bahwa sikap kehati-hatian itu
bermakna pada kenyataan obyektifnya sebagai penolakan terhadap
demokrasi, tetapi kita masih terus ngotot untuk mempertahankan istilah
tersebut, meskipun pada hakikatnya, secara obyektif, telah
meninggalkannya.
Sesungguhnya Partai Kupu-Kupu
Itali -Partai para pelacur- memaksakan dirinya masuk ke dunia partai,
dan sebagian anggotanya masuk parlemen Itali, agar “suara pelacur”
cukup untuk membuat berbagai ketetapan undang-undang baru di dalam
masyarakat, jika semua suara sama.
Yang tidak mau diakui oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah, bahwa
Partai Kupu-Kupu ini mengaspirasikan hak demokrasinya. Jika anda
menolak keberadaannya atau menolak masuknya ke parlemen atau menolak
keikutsertaannya dalam penghitungan dengan suara anggotanya, maka anda
tidak demokratis, dan tindakan ini melawan demokrasi. Itulah hakikat
obyektif, yang tidak ada alasan bagi anda terhadapnya, serta tidak ada
tempat melarikan diri dari mengakuinya.
Benar bahwa anda menolak hal tersebut, dan saya pun demikian.
Tetapi, makna hal itu adalah bahwa kita menolak demokrasi sebagai
bingkai sistem bagi pemerintahan di suatu negara Islam. Tinggallah bagi
saya dan anda mencarikan istilah baru dan sistem baru, yang menyatukan
antara agama dan dunia, syari’at dan masyarakat, keadilan dan moral,
kebebasan dan nilai-nilai, hak Allah dan hak hamba, dan semuanya itu
adalah aspek-aspek yang tidak mempunyai hubungan dengan demokrasi.
Jangan anda merasa kesal tuanku (Dr. Yusuf al-Qaradhawi), jika
masyarakat Barat menolak mengakui istilah dan sistem baru anda. Karena
mereka memang menolak agama anda pada dasarnya, sebagaimana logika
subyektif dari sistem demokrasi yang mengatur kehidupannya,
mengharuskannya menerima pluralisme. Yang demikian itu, jika kita
berhusnuzhzhan (berprasangka baik) terhadap kesungguhan mereka dalam
memegang segala macam prinsip, apalagi yang menyangkut masalah hubungan
antar negara.
Dalam fatwa Dr. Yusuf al-Qaradhawi tentang demokrasi, masih terdapat
kerancuan lain, yaitu dalam usahanya melegitimasi beberapa sisi
kekuasaan eksekutif dalam menerapkan demokrasi, di mana sang Doktor
mempromosikannya kepada pemahaman beberapa pemerintah Islam. Lebih
baiknya, kita simak apa yang dikatakan Doktor, kemudian simak juga
komentar kami setelah itu.
Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengatakan: “Di
antara dalil-dalil menurut kelompok pemerhati Islam yang menunjukkan
demokrasi adalah prinsip hasil import dan tidak ada hubungannya dengan
Islam, adalah bahwa ia berdasarkan pada suara mayoritas, serta
menganggap suara terbanyak merupakan pemegang kekuasaan dalam
menjalankan pemerintahan dan mengendalikan berbagai permasalahan, dan
dalam menilai serta memutuskan benar terhadap salah satu dari berbagai
masalah yang berbeda-beda dengan menggunakan pemungutan suara
terbanyak dalam demokrasi sebagai pemutus dan referensi. Maka, pendapat
mana pun yang memenangkan suara terbanyak secara absolut, atau
terbatas pada beberapa kesempatan, itulah pendapat yang diberlakukan,
meskipun terkadang pendapat itu salah dan bathil.
Padahal Islam tidak menggunakan sarana
seperti itu dan tidak mentarjih (mengunggulkan) suatu pendapat atas
pendapat yang Iain karena adanya kesepakatan pihak mayoritas, tetapi
Islam melihat pada pokok permasalahan tersebut; Apakah ia salah atau
benar? Jika benar, maka ia akan memberlakukannya, meskipun bersamanya
hanya ada satu suara, atau bahkan sama sekali tidak ada seorang pun
yang menganutnya. Jika salah,. maka ia akan menolaknya, meskipun
bersamanya terdapat 99 orang dari 100 orang yang ikut.
Bahkan, nash-nash al-Qur’an menunjukkan
bahwa suara mayoritas selalu berada dalam kebathilan dan selalu
mengiringi para Thaghut, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah
Ta’ala ini(yang artinya) : “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya.” (QS. Al-An’aam: 116).
Juga firman-Nya(yang artinya) :
“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya.”
(QS. Yusuf: 103).
Di dalam al-Qur’an, dilakukan pengulangan berkali-kali terhadap firman-Nya berikut ini(yang artinya) : “Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. “ (QS. AIA’raaf: 187).
Selanjutnya, Dr. Yusuf al-Qaradhawi menambahkan seraya mengomentari hal tersebut dengan mengatakan: “Ungkapan tersebut sama sekali tidak dapat diterima, sebab didasarkan pada suatu hal yang salah.
Seharusnya kita perlu membicarakan
tentang demokrasi di dalam masyarakat muslim; yang mayoritas mereka
dari kalangan orang orang yang berpengetahuan, berakal, beriman lagi
bersyukur. Kita tidak hendak membicarakan tentang masyarakat kaum
atheis atau kaum yang sesat dari jalan Allah:
Kemudian, sesungguhnya terdapat beberapa
hal yang tidak masuk ke dalam kategori voting dan tidak dapat diambil
suaranya, karena ia termasuk bagian dari hal yang sudah tetap dan
permanen yang tidak dapat diubah kecuali jika masyarakat itu berubah
sendiri dan tidak menjadi muslim lagi.
Jadi, tidak ada tempat bagi voting dalam
berbagai ketetapan syariat yang sudah pasti dan juga pokok-pokok agama.
Voting itu hanya pada masalah-masalah ijtihad saja yang bisa mencakup
lebih dari satu pendapat. Sudah menjadi kebiasaan manusia untuk berbeda
pendapat mengenai hal tersebut, jika terdapat berbagai pendapat yang
berbeda-beda mengenai beberapa masalah. Lalu, apakah masalah-masalah
itu akan dibiarkan bergantung begitu saja? Dan apakah ada pemilihan
pendapat tanpa adanya yang diunggulkan? Ataukah perlu adanya yang
diunggulkan?
Logika akal, syari’at dan realitas
menyatakan perlu adanya (orang) yang dimenangkan. Yang diutamakan pada
saat terjadi perbedaan pendapat adalah jumlah mayoritas. Sebab,
pendapat dua orang itu lebih mendekati kebenaran daripada pendapat satu
orang. Dalam hadits pun sudah ditegaskan(yang artinya) :
“Sesungguhnya, syaitan itu bersama satu orang dan dia (syaitan) lebih jauh dari dua orang.”
Ditegaskan pula, bahwa Nabi saw pernah bersabda kepada Abu Bakar dan `Umar radhiallahu `anhuma(yang artinya) : “Jika kalian bersatu dalam suatu musyawarah, niscaya aku tidak akan menentang kalian berdua.”
Demikian yang diungkapkan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi. Ungkapan Dr.
Yusuf al-Qaradhawi di atas memerlukan adanya perincian, karena di
dalamnya terdapat kerancuan dan beberapa hal yang membingungkan.
Pertama-tama, saya merasa heran karena Dr. Yusuf al-Qaradhawi
menempatkan pendapat lawan-lawannya yang menurutnya tidak benar dengan
membuka ucapannya bahwa mereka berpendapat “Demokrasi adalah ajaran
yang diimport dari Barat dan tidak mempunyai hubungan dengan Islam”.
- Apakah Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengetahui bahwa demokrasi merupakan ajaran yang tidak diimport?
- Dan bahwasanya demokrasi merupakan prinsip dasar yang lahir dan
tumbuh di dalam buaian sejarah Islam disertai berbagai perubahan
peradaban, manhaj, agama dan politik?
- Lalu kapan hal itu terjadi?
- Di zaman apa, jika dihitung dari sejak diutusnya Nabi ~ sampai
pertengahan abad ke-19? Kapan Eropa mengimport demokrasi dari kaum
muslimin?
- Serta apakah rahasia-rahasia yang terdapat dalam peristiwa
bersejarah dan menghebohkan itu yang tidak diketahui oleh seantero bumi
selama kurun waktu yang begitu panjang?
Saya kira, Dr. Yusuf al-Qaradhawi tidak seharusnya membuka ucapannya
dengan kalimat tersebut. Sebab, siapa pun dari kaum muslimin tidak
akan dapat mengaklaim bahwa demokrasi itu merupakan ajaran yang tidak
diimport dari sistem Eropa. Sesungguhnya yang menjadi perbedaan
pendapat adalah sikap Islam terhadap demokrasi itu. Ini yang pertama!
Adapun ungkapan Dr. Yusuf al-Qaradhawi:
“Seharusnya kita perlu membicarakan tentang demokrasi di dalam
masyarakat muslim, yang mayoritas mereka dari kalangan orangorang yang
berpengetahuan, berakal, beriman lagi bersyukur. Kita tidak hendak
membicarakan tentang masyarakat kaum atheis atau kaum yang sesat dari
jalan Allah.”
Yang demikian itu secara obyektif adalah kesalahan yang jelas. Sebab,
demokrasi tidak mempersoalkan identitas, keimanan, kekufuran dan jenis
nilai yang dibawa oleh seseorang, karena semuanya itu sama, baik itu
orang alim yang bertindak sewenang-wenang, Muslim dan Nasrani. Jika
saya katakan: “Bahwa hak menerapkan demokrasi di masyarakat muslim
tergantung pada orang muslim yang taat beragama, dan tidak masuk di
dalamnya orang yang tidak taat beragama atau yang mempunyai identitas
tidak jelas atau pemeluk Nasrani, Yahudi atau Atheis. Maka, artinya anda
telah berbicara tentang sistem lain dan manhaj yang lain pula. Jelas,
itu bukan lagi demokrasi.”
Demikian juga dengan ungkapan Dr. Yusuf ai-Qaradhawi:
“Kemudian, di sana terdapat beberapa masalah yang tidak masuk ke dalam
voting dan tidak pula diperlukan pemungutan suara terhadapnya, karena
semua itu merupakan bagian dari hal-hal yang sudah baku dan tidak
dapat dilakukan perubahan, kecuali jika masyarakat itu mengalami
perubahan sendiri dan tidak menjadi muslim lagi.”
Perbedaan yang dianggap aneh oleh Dr. Yusuf alQaradhawi di sini
adalah bahwa suatu masyarakat, jika mengalami perubahan dan tidak
menjadi muslim lagi, maka dimungkinkan menjadi masyarakat yang
demokratis. Tetapi, jika masih tetap menjadi masyarakat muslim, maka
dapat dipastikan ia tidak akan demokratis, karena mempunyai sistem lain
berupa hal-hal yang sudah baku, `aqidah dan nilai-nilai yang tidak
mungkin untuk ditundukkan pada pendapat manusia.
Di sini, kita kembali lagi kepada pokok kesalahan pada konsepsi Dr.
Yusuf al-Qaradhawi terhadap wujud dan substansi demokrasi. Di dalam
demokrasi, rakyat merupakan tempat kembali sekaligus penguasa, pembuat
ketetapan, dan penentu satu-satunya. Jika anda mengatakan, bahwa di sana
terdapat beberapa hal yang tidak akan dapat ditundukkan pada voting
atau tidak masuk pada ruang voting, maka dengan demikian anda tidak
demokratis. Jika anda mengatakan, bahwa di sana terdapat beberapa hal
pasti dan permanen, baik yang menyangkut masalah pemikiran, agama,
moral, ekonomi atau politik yang tidak akan dapat diubah, maka pada saat
itu anda juga tidak demokratis.
Demikian juga ungkapan Dr. Yusuf al-Qaradhawi: “Jadi , tidak ada ruang voting dalam berbagai ketetapan syari’at yang sudah pasti,” maka
ungkapan itu pun sama sekali tidak demokratis. Sebab, pengakuan anda
bahwa di sana terdapat syari’at yang memerintah di atas kehendak dan
kemauan manusia, maka yang demikian itu sebagai pukulan telak terhadap
isi dan substansi demokrasi.
Apakah sekarang gambarannya sudah menjadi jelas dalam pandangan Dr.
Yusuf al-Qaradhawi, Fahmi Huwaidi dan alirannya? Saya sependapat dengan
mereka dalam setiap ketentuan, batasan dan bingkai yang diberikan oleh
Dr. Yusuf al-Qaradhawi bagi politik masyarakat muslim, tetapi kesalahan
mendasar adalah mereka menolak -dan saya tidak tahu mengapa- kecuali
dengan meletakkan simbol demokrasi pada manhaj Allah dan sistem politik
Islam. Apakah mereka menyangka, bahwa mereka telah memperindah Islam
dan manhajnya dengan tindakannya meletakkan slogan hasil impor dari
Barat ini?
Sesungguhnya Islam, wahai para sahabatku, lebih baik, lebih tinggi,
suci dan lebih lurus dari demokrasi dan dari segala konsep buatan
manusia untuk mengatur politik masyarakat. Demi Allah, saya katakan itu
tidak hanya sekedar untuk membela agama, atau sekedar militansi iman,
tetapi yang demikian itu merupakan keyakinan yang teguh dari
perjalanan panjang selama melakukan kajian, pertimbangan dan perenungan
perhatian terhadap berbagai perubahan sejarah kemanusiaan terdahulu
maupun modern sekarang ini.
Saudaraku sekalian, sesungguhnya dengan demikian itu kalian telah
menimbulkan kegoncangan, keraguan dan kerancuan berpikir dalam otak dan
hati nurani generasi muda pemegang panji kebangkitan Islam yang
diharapkan umat.
Mengapa kalian tidak mencari suatu pemikiran orisinil konstruktif
(yang berasal dari Islam), yang dengannya kalian membina proyek Islam
yang fundamental untuk kebangkitan dan untuk mengatur aktivitas sosial
Islami yang baru? Apakah tugas seorang ahli fiqih atau pemikir muslim
sekarang ini harus menunggu produk dari Barat, baik pemikiran maupun
materi, untuk ditempelinya dengan label tradisional: “Disembelih dengan
cara Islami?”
Wahai saudaraku, apakah Islam tidak mengenal sistem, masyarakat,
peradaban, teori-teori politik dan pola-pola manajemen sebelum munculnya
demokrasi? Dan apakah Islam serta masyarakatnya tidak mengetahui
keadilan, kasih sayang, kebebasan, pencerahan, peradaban,
permusyawaratan, pluralitas pemikiran dan paham, dan lain-lainnya,
sebelum menculnya demokrasi?
Jika Islam mengetahui semuanya itu, maka beritahukan hal itu kepada
kami, lalu kembalikan bentuk dan formatnya, lalu kembangkanlah sistem
dan kelembagaan, telitilah aturan-aturan dan sarana untuk
merealisasikannya, serta lahirkanlah apa yang kalian butuhkan darinya
berupa istilah-istilah orisinil dan simbol-simbol Islami, yang
mengekspresikan keistimewaan manhaj Islam dalam pemerintahan, daripada
melakukan penjiplakan pemikiran, paham, dan istilah yang hina dan
memalukan di hadapan kancah pemikiran Eropa modern.
Wahai Dr. Yusuf al-Qaradhawi, demokrasi dan sekularisme merupakan dua
sisi mata uang Eropa. Orang yang mengatakan selain itu kepada Anda,
berarti dia telah membohongi Anda. Dalam pandangan Islam, kedua hal
tersebut (demokrasi dan sekularisme) ditolak. Tetapi penolakan terhadap
keduanya tidak berarti kita menolak sebagian dari produknya yang hampir
menyerupai nilai-nila.i Islam. Merupakan hak rakyat untuk memilih
pemimpin atau penguasa dan hak mereka pula untuk melengserkannya jika
menyimpang, atau mempertanyakan kepadanya jika melakukan kesalahan, juga
mempunyai kebebasan berpendapat, hak berbeda pendapat, menjaga
kehormatan manusia, hak perputaran kekuasaan, dan lain-lainnya.
Semuanya itu merupakan pilar pilar pokok manhaj Islam dalam pemerintahan
yang ditetapkan melalui nash Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, akan
tetapi semuanya itu merupakan pilar-pilar yang berdiri di atas
dasar-dasar idealis dan `aqidah, yang diatur oleh ketentuan-ketentuan
dan bingkai-bingkai sistematis, yang berbeda total dari dasar-dasar dan
ketentuan-ketentuan yang dimainkan oleh demokrasi sebagai sistem bagi
politik masyarakat manusia.
Wahai Dr. Yusuf al-Qaradhawi, bukan itu peranan Anda dan bukan itu
pula problema Anda, semuanya itu merupakan tindakan ninabobo yang
dimunculkan oleh para propagandis pencerahan yang mempunyai pemikiran
berlebihan, yang mereka tidak mengemban tanggung jawab dan kebangkitan
umat, mereka tidak mengetahui nilai agama mereka, juga tidak memahami
bahwa mereka mengemban risalah Islam bagi seluruh alam semesta.
Wahai Dr. Yusuf al-Qaradhawi, fatwa Anda telah menyebar ke seluruh
belahan bumi, yang telah dibaca dan diketahui oleh sebagian besar kaum
terpelajar. Saya meminta kepada Anda dengan penuh kesungguhan, “agar
Anda menjelaskannya bagi umat manusia dan tidak menyembunyikannya,”
supaya mencermati kembali apa yang telah Anda tetapkan dalam masalah
ini. Jika Anda mendapatkan kesalahan pada fatwa Anda, maka jelaskan
kesalahan itu kepada umat manusia. Anda mestinya lebih adil daripada
sekedar menolak kebenaran jika Anda mengetahuinya. Jika apa yang saya
katakan itu salah atau menyimpang, Jelaskanlah kepada saya dan kepada
umat manusia, mudah-mudahan Allah memberikan kita petunjuk kepada yang
lebih dekat kebenarannya daripada ini. Segala puji bagi Allah pada
permulaan dan akhirnya, dan tidak ada daya dan upaya melainkan dari
Allah semata.”‘[13]
Perlu penulis katakan: “Oleh karena Dr. Yusuf al-Qaradhawi percaya
kepada demokrasi, maka sesungguhnya tidak diragukan lagi bahwa dia akan
percaya terhadap segala resikonya, yaitu munculnya berbagai partai
yang bersaing untuk kekuasaan.”
_____________________________________________________________________________
Foot Note :
[1] Al-Huluul al Mustaurida (hal. 77, 78).
[2] Fataazva’Mu’aashirah (II/637).
[3] Ibid (II/643).
[4] Ibid (II/644-645)
[5] Ibid (II/646).
[6] HR. At-Tirmidzi, dalam al-Fitan dari `Umar (2166).
[7] Fataawa’ Mu’aashirah (II/647-648).
[8] Ibid (II/649).
[9] Ibid (II/649).
[10] Ibid (II/650).
[11] Ibid (II/650).
[12] Bagi yang berminat menambah pengetahuan tentang masalah demokrasi
ini sekallgus mengetahui sisi-sisi negatif dan keburukannya, hendaklah
ia membaca risalah al-Islamiyyuun wa Saraabud Demoqrathiyyah karya
`Abdul Ghani (telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia : Fenomena
Demokrasi, Studi Analisis Perpolitikan Dunia Islam oleh Abdul Ghany bin
Muhammad Ar-rahhal, ed), Haqiiqatud Demoqrathiyyah karya Muhammad
Syakir asy-Syarif, ad-Demoqrathryyah fil Miizaan karya Sa’id Abdul
Azhim dan Khamsuuna Mafsadah jaliyyah min Mafasidid Demoqrathiyyah karya
`Abdul Majid ar-Riimi.
(Dikutip dari buku Pemikiran Dr. Yusuf al-Qardhawi Dalam Timbangan.
Judul asli al-Qaradhaawiy Fiil-Miizaan oleh Sulaiman bin Shalih
Al-Khurasyi. Cetakan Pertama Dzulqa’dah 1423 H/Januari 2003)
Penulis: Sulaiman bin Shalih Al-Khurasyi
Judul Asli: Penyimpangan pikiran Yusuf al-Qardhawi (I)
01 September 2012
Yusuf Qaradhawi dan Penyimpangan Demokrasinya
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar