Oleh : Ustadz Muhammad Ashim Musthofa
سَنُرِيهِمْ ءَايَاتِنَا فِي اْلأَفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur`an itu adalah benar……” [Fushshilat : 53].
Seorang penyair berkata:
وَفِيْ كُلِّ شَيْئٍ لَهُ أَيَة تَدُلُّ عَلَى أنَّهُ وَاحدٌِ
Dan pada setiap sesuatu, Dia mempunyai tanda
Yang menunjukkan bahwa Dia adalah Dzat Yang Esa
Setiap segala sesuatu yang ada di dunia ini, seluruhnya mengakui keberadaan Sang Pencipta, Al Khaliq dan kekuasaanNya.
Untuk mengenal dan mengetahui keberadaan Allah, manusia sama sekali tidak membutuhkan kaidah-kaidah yang diramu oleh para ulama ahli kalam. Juga tidak membutuhkan produk orang kafir Yunani. Yakni, dengan apa yang disebut sebagai ilmu filsafat.
Hanya saja, ada sebagian manusia yang berasumsi, tidak mungkin seseorang bisa mengenal Allah (ma’rifatullah), kecuali dengan melalui ilmu filsafat dan ilmu kalam. Mereka tunduk mengikuti doktrin filsafat Yunani.
Satu dari sekian aliran kalamiyah yang masih eksis saat ini ialah Maturidiyah. Sebuah golongan yang berafiliasi pada firqah kalamiyyah. Nama kelompok ini dinisbatkan kepada nama pendirinya, yaitu Abu Manshur Al Maturidi. Nama lengkapnya Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al Maturidi As Samarqandi. Maturid adalah daerah dekat dengan Samarqand. Tidak diketahui dengan pasti tahun kelahirannya, juga guru-guru yang sempat ia singgahi majlisnya.
ADA TIGA TAHAPAN YANG DILALUI FIRQAH INI
Tahapan pertama, tahapan pendirian (ta`sis) dengan tokohnya Abu Manshur al Maturidi. Dia sempat menulis beberapa kitab. Yang paling terkenal ialah Kitabut Tauhid.
Dalam kitab ini, ia menetapkan aqidah tauhid melalui teori-teori ilmu kalam (baca: filsafat). Yang ia maksud dengan tauhid adalah tauhid rububiyyah, tauhid khaliqiyyah, dan sedikit tentang asma wa shifat. Hanya saja, manhaj yang ia pegangi adalah manhaj Jahmiyyah. Sehingga, ada sekian banyak sifat yang ia mentahkan dengan dalih ingin menghindarkan diri dari tasybih (penyerupaan) Allah dengan makhlukNya.
Tahapan Kedua, tahapan pembentukan (takwin). Yaitu ditandai dengan tersebarnya paham ini di Samarqand melalui tulisan-tulisan yang disisipkan dalam kitab-kitab fiqih madzhab Hanafi. Sehingga aqidah Maturidiyah ini menjadi diterima dan dominan di tengah masyarakat. Tokohnya yang terkenal pada saat itu ialah Abul Qasim al Hakim.
Tahapan berikutnya merupakan perpanjangan dari fase sebelumnya, dengan tokohnya yaitu Abul Yusr Muhammad bin Muhammad bin al Husain bin ‘Abdil Karim (421-493 H). Dia mendapatkan tempaan ilmu filsafat dari sang ayah yang merupakan murid Abu Manshur al Maturidi. Disamping itu, ia banyak menelaah buku-buku karya al Kindi, al Juba-i, an Nazhzham dan lainnya. Buku-buku karya tokoh-tokoh ini sarat dengan ajaran filsafat.
Tahapan berikutnya, yaitu fase penulisan dan pembukuan aqidah Maturidiyyah (500-700 H). Tahapan ini banyak dipenuhi dengan penulisan karya tulis yang berisi berbagai dalil untuk memberikan justifikasi atas aqidah Maturidiyyah. Panutan dalam marhalah ini adalah Najmuddin an Nasafi. Seratus kitab telah ia tulis. Ia adalah penulis kitab Aqidah an Nasfiyyah, sebuah kitab ringkasan yang merangkum aqidah Maturidiyah.
Tokoh Maturidiyah yang terkenal pada abad ini ialah Muhammad bin Zahid al Kautsari al Maturidi. Ia sangat mendiskreditkan para imam kaum muslimin dan mencerca mereka yang tidak sehaluan dengan aqidah Maturidiyah. Kitab-kitab tauhid, seperti al Ibanah, asy Syariah, al ‘Uluw, Asma wa Shifat karya al Baihaqi, dan kitab-kitab aqidah karya ulama Ahli Sunnah dianggap sebagai kitab-kitab watsaniyyah (paganisme), tajsim dan tasybih. Padahal, tak syak lagi, aliran Maturidiyah justru dipenuhi dengan bid’ah yang mewarnai ajarannya. Misalnya, mereka mengagungkan kuburan dan penghuninya dengan dalih bertawasul.
SEBAGIAN PEMIKIRAN DAN AQIDAH MATURIDIYAH
Ditinjau dari aspek masdar talaqqi (sumber pengambilan ilmu), Maturidiyah membagi ushuluddin menjadi dua. Pertama. Ilahiyyat (‘aqliyyat), yaitu perkara-perkara yang mampu ditetapkan oleh daya nalar dengan sendirinya. Sementara dalil naqli hanya berperan sebagai kekuatan sekunder. Dimensi ini mencakup dimensi tauhid dan sifat-sifat Allah. Kedua. Syar’iyyat (sam’iyyat), yaitu perkara-perkara yang akal tidak mempunyai akses untuk menentukannya, misalnya siksa kubur, peristiwa-peristiwa di akherat kelak.
Dengan ini, perbedaan Maturidiyah dengan manhaj Ahli Sunnah Wal Jamaah sangat signifikan. Al Quran, As Sunnah dan Ijma’ para sahabat merupakan sumber hukum bagi Ahli Sunnah.
Sebagai aliran yang kental nuansa filsafatnya, mereka mengatakan bahwa bahasa Arab, al Qur`an dan hadits mengandung kata-kata yang berbentuk majaz (kiasan). Berdasarkan pandangan seperti ini, kemudian mereka mentakwil nash-nash tentang sifat Allah, dengan argumentasi ingin menghindarkan diri dari tajsim (pembendaan) terhadap Allah.
Maturidiyah hanya menetapkan delapan sifat saja bagi Allah Ta’ala, dengan versi yang berbeda-beda, yaitu : al hayah (hidup), qudrah (kekuasaan), al ilmu, iradah (kehendak), as sam’u (mendengar), al basharu (melihat), al kalam (berbicara) dan at takwin (pembentukan).
Menurut mereka, seluruh sifat yang muta’adiyyah (tindakan-tindakan) kembali kepada sifat at takwin. Sedangkan sifat-sifat khabariyah (berita tentang dzat Allah), tidak termasuk yang bisa dijangkau oleh akal, sehingga perlu ditiadakan.
Iman hanya sekedar pembenaran hati saja. Iman tidak dapat naik ataupun turun. Dalam hal ini, Abu Manshur al Maturidi menghimpun lebih dari satu bid’ah. Dia menjadi seorang Murji’ah dalam masalah iman, dan sebagai seorang mu’aththil dalam bab sifat-sifat Allah. Dia juga terpengaruh dengan pemikiran Ibnu Kullab, meskipun ia sendiri belum pernah berjumpa dengan Ibnu Kullab.
Sebagai penutup, kami nukil pernyataan Ibnu Abil ‘Izz dalam kitab Syarah Aqidah Ath Thahawiyah, yang berbunyi: “Setiap orang yang berbicara dengan logika, perasaan dan akal pikirannya -padahal ia berhadapan dengan nash- atau ia mempertentangkan nash dengan logika, (maka) sejatinya ia menyerupai iblis, yang enggan berserah diri kepada Rabbnya. Allah berfirman Subhanahu wa Ta’ala tentangnya:
قَالَ مَامَنَعَكَ أَلاَّتَسْجُدَ إِذْأَمَرْتُكَ قَالَ أَنَاخَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ
“Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Menjawab iblis: “Saya lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan saya dari api, sedangkan dia, Engkau ciptakan dari tanah”. [al A'raf : 12]
Diringkas dari :
- Al Mausu’ah al Muyassarah fil Adyani wal Madzahibi wal Ahzabi al Mu’ashirah, Darun Nadwah Al ‘Alamiyyah, Cet. III, Th. 1418 H.
- Ta`ammulat wa Nazharati fi Ba’dhi al Madzahibi wal Firaqi al Mu’ashirah, Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al Khumayyis, Maktabah Ash Shahabah, Imarat Sharjah, Cet. I, Th. 1998M/1419H.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]
0 komentar:
Posting Komentar