PERINTAH UNTUK MENGIKUTI SUNNAH RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM DAN LARANGAN DARI FANATISME DAN TAQLID
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta 
alam. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya dan semua sahabatnya.
Saudara-saudara yang saya cintai karena 
Allah. Saya bersaksi di hadapan Allah, bahwa saya mencintai antum semua 
dan orang-orang shalih di negeri ini semata karena Allah. Saya datang ke
 Indonesia untuk yang ketiga kalinya. Dan saya –alhamdulillah- 
mendapatkan kebaikan yang sangat banyak di negeri ini. Saya berdoa 
semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang dikatakan oleh 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits qudsi :
وَجَبَتْ مَحَبَّتِي فِي الْمُتَجَالِسِينَ فِيَّ وَ وَجَبَتْ مَحَبَّتِي فِي الْمُتَزَاوِرِينَ فِيَّ
Orang-orang yang duduk di satu majelis 
karena Aku, maka mereka pasti mendapatkan kecintaan dariKu. Orang-orang 
yang berkumpul karena Aku, maka telah mendapatkan kecintaan dariKu.
Sudah kita ketahui bersama, orang yang masuk ke dalam agama Islam harus mengatakan :أَشْهَدُ أَنْ لا إلَهَ إلا الله, وَأَشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ
Dua kalimat tersebut merupakan kalimat 
yang sangat agung. Seseorang tidak bisa dikatakan muslim, kecuali jika 
dia telah mengucapkan dua kalimat tersebut, memahami dan melakukan 
konsekuensi dari kedua kalimat itu.
Dan makna perkataan أَشْهَدُ أَنْ لا 
إلَهَ إلا اللهadalah tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah 
kecuali Allah. Maka wajib bagi seorang muslim untuk merealisasikan 
ubudiyahnya kepada Allah. Ubudiyah kepada Allah adalah kecintaan yang 
sempurna, taat dan tunduk terhadap perintahNya. Oleh sebab itulah, semua
 para nabi datang membawa panji Islam.
Allah berfirman.
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُSesungguhnya agama yang Allah diridhai di sisiNya adalah Islam. [Ali Imran : 19].
Allah berfirman.
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ
Dan barangsiapa yang menginginkan agama selain Islam, maka tidak akan pernah diterima (agama itu) darinya. [Ali Imran : 85].
Semua agama di atas bumi adalah agama 
yang batil, kecuali Islam. Allah tidak akan menerima dan rela untuk 
hambaNya, kecuali agama Islam ini. Agama ini wajib dijalankan dan 
diamalkan oleh kaum muslimin. Allah berfirman.
شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِ نُوحًا وَالَّذِي 
أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ 
وَعِيسَىٰ ۖ أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ ۚ كَبُرَ 
عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ ۚ اللَّهُ يَجْتَبِي 
إِلَيْهِ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ
Allah telah mensyariatkan bagi kalian 
agama seperti yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah 
Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan Kami wasiatkan kepada Ibrahim, 
Musa dan Isa yaitu: “Tegakkanlah agama dan janganlah kalian 
berpecah-belah tentangnya. Amat berat bagi kaum musyrikin agama yang 
kamu serukan mereka kepadanya. Allah memilih orang-orang yang 
dikehendakiNya kepada agamaNya dan memberikan petunjuk kepada (agama)Nya
 orang-orang yang kembali (kepadaNya). [Asy Syura : 13].
Dalam ayat lain, Allah berfirman.Allah menentukan untuk (diberi) rahmatNya orang-orang yang Dia kehendaki. [Al Baqarah : 10]
Allah memilih orang-orang tertentu dari kalangan ahli tauhid dan ahli din.
Namun syi’ar (slogan) seorang muslim adalah tauhid dan Sunnah. Karena itu, keimanan seorang muslim tidak akan sempurna kecuali jika dia telah mengatakan :
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّّ اللهُNamun syi’ar (slogan) seorang muslim adalah tauhid dan Sunnah. Karena itu, keimanan seorang muslim tidak akan sempurna kecuali jika dia telah mengatakan :
Dengan itulah, tauhid akan terwujud, dan juga dengan kalimat :
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
Makna kalimat ini, ialah tidak ada orang yang berhak diikuti, kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka, seorang muslim tidak boleh 
menjadikan seorang syaikh, madzhab, kelompok, jama’ah, nalar, pendapat, 
(aturan) politik, adat, taqlid, budaya, warisan nenek moyang, sebagai 
panutan dan diterima begitu saja tanpa melihat dalil. Seorang muslim 
tidak bisa dikatakan muslim yang sempurna, sampai ia melaksanakan 
ubudiyah (penghambaan diri) hanya untuk Allah saja dan menjadikan 
Rasulullah n sebagai orang yang dia ikuti. Barangsiapa yang menisbatkan 
diri kepada salah satu madzhab, kelompok atau jama’ah atau akal, maka 
ucapannya “Asyhadu anna Muhammad Rasulullah” masih dianggap kurang dan 
tidak sempurna.
Pernyataan yang telah kami sebutkan itu 
merupakan ketetapan semua ulama Islam, terutama para imam yang empat, 
Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad, semoga Allah 
memberikan rahmat kepada mereka semua.
Imam Abu Hanifah berkata: ”Haram bagi seseorang mengemukakan pendapat kami, sampai dia mengetahui dari mana kami mengambilnya”.Dan Imam Malik, sambil memberikan isyarat ke arah makam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil berkata : ”Semua orang, perkataannya bisa diambil dan bisa ditolak, kecuali perkataan orang yang ada di dalam kuburan ini,” yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Imam Syafi’i berkata : ”Jika ada hadits shahih, maka itulah madzhabku”.
Pada suatu hari, datang kepadanya seseorang dan berkata: “Wahai, Imam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda begini dan begini (sambil menyebutkan hadits) dalam masalah ini. Lalu, apa pendapatmu, wahai Imam?” Maka Imam Syafi’i marah besar dan berkata : ”Apakah engkau melihat saya keluar dari gereja? Apakah engkau melihatku keluar dari tempat peribadatan orang Yahudi? Engkau menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka aku tidak berkata apa pun, kecuali seperti apa yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam“.
Karena itulah, salah satu muridnya yang bernama Yunus bin Abil A’la Ash Shadafi dalam satu majelis pernah ditanya tentang satu masalah. Maka dia menjawabnya dengan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ada yang bertanya : ”Apa pendapat Imam Syafi’i dalam masalah tersebut?” Beliau menjawab: ”Madzhab Imam Syafi’i ialah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena saya pernah mendengar beliau berkata : ”Jika ada hadits shahih, maka itulah madzhabku”.
Begitu pula Imam Ahmad, beliau adalah orang yang selalu mengikuti atsar dan dalil. Beliau tidak pernah berhujjah, kecuali dengan dalil dari firman Allah atau sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian ini merupakan kewajiban bagi seorang alim, mufti dan orang yang meminta fatwa. Karena Allah memerintahkan orang-orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya.
فَاسْأَلوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan jika kalian tidak mengetahui. [An Nahl : 43].
Akan tetapi, (sebagian) kaum muslimin 
berhenti sampai ayat ini saja. Mereka lupa dan tidak melanjutkan ayat 
tersebut. Padahal kelanjutan dari ayat tersebut adalah :
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ
Dengan keterangan-keterangan dan kitab-kitab. [An Nahl : 44].
Maksudnya, jika Anda tidak mengetahui, 
maka bertanyalah kepada orang yang mengetahui dengan disertai dalil, 
hujjah dan bukti-bukti. Itulah makna firman Allah :
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ
Agama dan hukum Allah tidak diambil 
kecuali berdasarkan keputusan (ijma’), penjelasan dan kaidah-kaidah para
 ulama yang dilandasi dengan dalil-dalil syar’i. Dari situ, tumbuhlah 
persatuan. Persatuan yang wajib digalang oleh kaum muslimin harus 
bertumpu pada tauhid dan ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi 
wa sallam. Persatuan secara fisik yang kita serukan harus didahului oleh
 persatuan atau kesamaan pemahaman. Pemahaman kita harus dilandasi 
dengan tauhid dan ittiba’ hanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
 sallam. Dan inilah makna dari firman Allah.
أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ
Tegakkanlah agama dan jangan kalian berpecah belah tentangnya. [Asy Syura : 13].
Allah melarang kita berpecah-belah, dan 
jangan sampai ada sesuatu yang memecah-belah kita. Allah juga melarang 
kita meninggalkan Al Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
 wa sallam.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah 
memberitahukan kepada kita, bahwa pada akhir jaman nanti akan ada 
beberapa kaum yang mengingkari Sunnah. “Aku akan mendapati salah satu 
dari kalian bersandar di atas kursinya sambil berkata “Dihadapan kita 
ada Kitab Allah. Jika kita mendapatkan sesuatu yang halal di dalamnya, 
maka kita akan halalkan. Dan jika kami menemukan sesuatu yang haram, 
maka kami haramkan”. Ketauhilah, bahwa aku telah diberi sesuatu yang 
sama dengan Al Qur’an”. [HR Abu Daud dan Tirmidzi].
Kedudukan Sunnah Rasulullah Shallallahu 
‘alaihi wa sallam sama dengan Al Qur’an. Di dalamnya disebutkan hal-hal 
yang halal dan haram. Orang yang mengingkari Sunnah, hukumnya kafir, 
keluar dari agama. Orang yang mengingkari Sunnah, berarti mengingkari Al
 Qur’an.
Kita lihat, bagaimana Al Qur’an bisa 
sampai kepada kita? Al Qur’an sampai kepada kita dari generasi ke 
generasi. Para tabi’in mengambilnya dari para sahabat, dan para pengikut
 tabi’in mengambilnya dari para tabi’in. Begitu seterusnya, sehingga Al 
Qur’an bisa sampai kepada kita.
Pada masa-masa terakhir ini, telah 
terjadi perbedaan. Kami menemukan beberapa kaum di antara mereka ada 
yang mengingkari Sunnah. Di antara mereka ada yang membacanya dengan 
niat mencari barakah dan tidak beramal dengan sunnah. Ada sebagian 
orang, yang sama sekali tidak perduli sama sekali dengan Sunnah, dan dia
 beranggapan bahwa yang dimaksud dengan Sunnah adalah satu hukum yang 
tidak ada sangsinya. Demikian ini merupakan dugaan yang salah.
Sebab, para ulama, jika mengatakan “Sunnah” secara mutlak, maka maknanya tidak lepas dari dua hal.
Pertama : Sunnah, sebagai sumber syari’at
 (hukum). Dalam hal ini, kedudukan Sunnah sama dengan Al Qur’an, 
sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَلاَ إِنِّي أُوْتِيْتُ الكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
Kedua : Sunnah yang berarti sebagai salah
 satu hukum syar’i yang lima, yang berada di bawah wajib dan di atas 
mubah. Berdasarkan (makna) yang kedua ini, pelakunya akan diberi pahala,
 dan yang meninggalkannya tidak mendapat sangsi.
Jika seseorang tidak memiliki kemampuan 
untuk mengambil dalil yang benar, maka lebih baik dia mengikuti jalan 
para sahabat, karena kebaikan hanya dari jalan mereka. Kemudian kebaikan
 ini diriwayatkan dan diambil oleh para tabi’in. Akan tetapi, pada jaman
 tabi’in, kebaikan tersebut tercampuri dengan noda dan bid’ah yang mulai
 muncul. Sehingga, muncullah kelompok-kelompok seperti Rafidhah, 
Qadariyah dan kelompok-kelompok sesat lainnya. Padahal, kebanyakan orang
 umumnya masih berada di atas kebaikan tersebut. Seiring dengan 
perjalanan waktu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
memberitahukan tentang keterasingan agama ini. beliau Shallallahu 
‘alaihi wa sallam bersabda :
Sesungguhnya agama (Islam) muncul dalam 
keadaan asing dan akan kembali menjadi asing. Maka keberuntungan bagi 
orang-orang yang asing. Ditanyakan kepada nabi n : “Siapa mereka, wahai 
Rasulullah?” Beliau menjawab : “Sekelompok orang yang sedikit, yang 
berada di kalangan orang yang banyak. Mereka memperbaiki Sunnah-ku yang 
telah dirusak oleh orang.” [HR Tirmidzi]
Oleh karenanya, ketika Imam Ahmad 
mendengar seseorang berkata – saat fitnah banyak bermunculan, di 
antaranya bid’ah yang menyatakan Al Qur’an adalah makhluk dan fitnah 
lainnya, : “Ya, Allah. Matikanlah aku di atas Islam.” Maka Imam Ahmad 
berkata kepadanya : ”Katakanlah, ‘Ya, Allah. Matikanlah aku di atas 
Islam dan Sunnah’.”
Kita memohon dan berdo’a kepada Allah, 
semoga kita dimatikan di atas Islam dan Sunnah, dan semoga kata-kata 
terakhir dalam hidup kita ialah laa ilaaha illallah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
juga memberitahukan kepada kita, bahwa setiap satu jaman berlalu dan 
datang jaman lain, maka semakin berat fitnah yang melanda umat ini dan 
perpecahan akan semakin nampak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm
 berkata kepada sahabatnya :
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي – أي من يطول به العمر- فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Sesungguhnya, barangsiapa yang hidup di 
antara kalian (panjang umurnya), maka dia akan mendapatkan perbedaan 
yang sangat banyak. [HR Abu Daud].
Perpecahan tersebut telah terjadi, dan 
ini adalah penyakit. Dan tidak ada satu penyakit, (kecuali) pasti ada 
obatnya. Obat dari penyakit ini, ialah sabda Rasulullah Shallallahu 
‘alaihi wa sallam dalam lanjutan hadits itu sendiri.
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Maka hendaklah kalian berpegang teguh 
dengan Sunnah-ku, dan sunnah para khulafaur rasyidin yang mendapat 
petunjuk. Gigitlah (peganglah) sunnah tersebut dengan gerahammu.
Jadi, Sunnah para khulafa’ dan Sunnah 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah satu. Karena itulah 
Rasulullah n bersabda : فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ 
الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي , lalu setelah itu Beliau 
berkata “عَضُّوْا عليها” dengan lafazh satu (tersirat dalam sabda beliau
 ini bahwa sunnah Rasulullah dan sunnah khulafa’ Ar Rasyidin adalah satu
 –red) dan tidak berkata “عَضُّوْا عَلَيْهِمَا” (gigitlah keduanya, 
maksudnya peganglah ia dengan sekuat-kuatnya).
Pada hakikatnya, semua ini merupakan 
agama Allah. Karena, sebagaimana Allah memilih Rasulullah Shallallahu 
‘alaihi wa sallam sebagai utusanNya dari kalangan manusia, maka Allah 
juga memilih untuk nabiNya sahabat-sahabat yang pilihan. Allah mengutus 
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka untuk mengajar dan 
membersihkan mereka, sebagaimana yang telah Allah firmankan :
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ 
رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ 
وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي 
ضَلَالٍ مُّبِينٍ
Dia-lah yang mengutus kepada umat yang 
buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membaca ayat-ayatNya 
kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan
 Hikmah (Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya berada dalam 
kesesatan yang nyata. [Al Jumu’ah : 2].
Orang yang mencela Rasulullah Shallallahu
 ‘alaihi wa sallam, berarti dia telah mencela Allah. Orang yang mencela 
sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sungguh dia telah 
mencela Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Agama ini adalah dari 
Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan 
pemahaman para salaful umah, dari para sahabat dan tabi’in, seperti 
difirmankan Allah.
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا
 تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ 
نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa menentang Rasul setelah 
jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalannya 
orang-orang mukminin, Kami biarkan dia leluasa terhadap kesesatan yang 
telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan dia ke dalam Jahannam. Dan 
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. [An Nisaa’: 115].
Yang dimaksud jalan orang-orang mukminin,
 ialah para sahabat dan orang-orang yang berjalan di atas jalan mereka 
dari kalangan para tabi’in dan pengikut tabi’in sampai hari kiamat tiba.
 Keberadaan mereka, akan terus ada sampai hari kiamat datang, seperti 
yang akan kita jelaskan, insya Allah.
Agama ini adalah agama yang 
nilai-nilainya dipraktekkan, bukan agama filsafat atau teori semata. 
Agama ini telah tegak pada masa-masa yang lalu, sejak zaman Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, era sahabat dan para tabi’in. Apa yang 
menjadi agama pada masa itu, maka pada sekarang ini, hal tersebut juga 
merupakan bagian dari agama. Dan jika pada zaman mereka ada satu hal 
yang bukan dari agama, maka sekarang ini, hal tersebut juga bukan 
termasuk dari agama yang dicintai dan diridhai Allah.
Agama ini adalah Kitab Allah, dan Kitab 
Allah memerintahkan agar kita mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi 
wa sallam. Dan Rasulullah, memerintahkan kita untuk mengikuti sahabat 
Rasulullah. Ini semua dicintai dan diridhai Allah. Begitulah yang 
difahami Imam Syafi’i dan ulama lainnya.
(Suatu waktu), Imam Syafi’i datang ke 
Masjidil Haram di Mekkah untuk menunaikkan ibadah haji. Beliau duduk dan
 berkata kepada orang-orang yang ada : “Tanyalah kepadaku. Tidak ada 
orang yang bertanya tentang sesuatu kepadaku, kecuali aku akan 
menjawabnya dengan Kitabullah”.
Maka ada orang awam berdiri dan bertanya :
 “Wahai, imam. Ketika aku masuk Masjidil Haram, aku menginjak dan 
membunuh satu serangga. Padahal orang yang dalam keadaan ihram tidak 
boleh membunuh sesuatu. Akan tetapi, aku telah membunuh seekor serangga.
 Apa jawabannya dari Kitabullah ?”.
Setelah memuji Allah dan shalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Imam Syafi’i berkata : Allah berfirman :
Apa-apa yang telah diperintahkan Rasul, maka haruslah kalian mengambilnya. [Al Hasyr:8].
Sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي
Maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan Sunnah-ku dan sunnah para khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk. [HR Abu Daud]
Dan di antara Khulafaur Rasyidin adalah 
Umar bin Khaththab. Kemudian beliau membawakan sebuah riwayat bahwa ada 
seseorang bertanya kepada Umar bin Khaththab tentang seseorang yang 
membunuh seekor serangga dalam keadaan ihram. Maka Umar menjawab, ”Tidak
 ada denda (sangsi) apa pun atas kamu”. Maka Imam Syafi’i berkata : 
“Jawabanku dari Kitabullah, wahai orang yang berbuat (seperti) itu, 
sesungguhnya engkau tidak mendapat sangsi apapun. Itulah jawaban dari 
kitab Allah.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah 
menceritakan kepada kita, bahwa akan terjadi perpecahan pada umat ini. 
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjelaskan, Yahudi terpecah 
menjadi 71 golongan, Nashara akan terbagi menjadi 72 golongan. Dan kaum 
muslimin, akan terpecah menjadi 73 kelompok. Rasulullah kemudian 
berkata, semua kelompok itu –semuanya- akan masuk ke dalam neraka, 
kecuali satu kelompok saja. Ditanyakan kepadanya: “Siapa mereka, wahai 
Rasulullah?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Yaitu 
orang-orang yang berada di atas jalanku dan jalan para sahabatku pada 
hari ini.”
Perpercahan itu juga telah dijelaskan 
oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para sahabat
 benar-benar menekuni agama ini dengan amalan nyata. Karena sesuatu yang
 bersifat teori, akal dan pemahaman bisa berbeda-beda. Namun, jika 
berbentuk praktek dan amalan, maka itu merupakan hal yang terbaik dalam 
menafsirkan firman Allah dan ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam . Perbedaan seperti ini sudah ada ketika muncul para imam dan 
Daulah Islam. Para fuqaha (ahli fiqih) jatuh ke dalam perbedaan 
tersebut. Namun perbedaan yang terjadi pada di kalangan mereka memiliki 
ketentuan-ketentuan dan kaidah-kaidah yang sesuai dengan syar’i, 
sehingga tidak ada saling mencela dan perpecahan.
Para fuqaha, terutama para imam yang 
empat, mereka saling mencintai. Kita juga harus mencintai mereka, 
berlepas diri dari orang-orang yang mencela mereka. Namun kita juga 
yakin, di antara mereka, tidak ada satu pun yang ma’shum. Semoga Allah 
memberikan rahmatNya kepada mereka.
Akan tetapi, setelah itu, pada masa 
akhir-akhir ini muncul fanatisme dan taqlid buta kepada imam-imam 
tersebut. Sehingga ada sebagian orang yang bermadzhab Syafi’i berkata, 
bahwa orang yang bermadzhab Syafi’i tidak boleh menikah dengan wanita 
yang bermadzhab Hanafi. Dan orang yang bermadzhab Hanafi tidak boleh 
menikah dengan wanita yang bermadzhab Syafi’i. Sehingga terjadilah 
fanatisme yang tercela dan taqlid buta yang tidak dicintai dan diridhai 
Allah.
Umat ini terpecah dengan perpecahan yang 
sangat dahsyat. Setiap golongan umat ini tidak beribadah kepada Allah, 
kecuali dengan madzhab satu imam. Kemudian pemahaman agama hanya diambil
 dari catatan-catatan dan buku-buku ulama terdahulu tanpa kembali kepada
 dalil-dalil yang syar’i. Sehingga semakin menambah perbedaan dan 
perpecahan umat ini, karena persatuan tidak akan mungkin terwujud 
kecuali jika dilandasi dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seiring dengan bergulirnya waktu, maka 
perbedaan yang ada semakin keras dan dahsyat.
Ketika kekuatan dan kekuasaan Islam 
hilang, muncul sekelompok orang yang ingin memperbaiki keadaan dan 
mendirikan agama ini. Masing-masing kelompok menempuh metode tersendiri,
 sehingga terjadi perpecahan dan perbedaan yang tajam di antara mereka. 
Padahal ahlul haq (orang-orang yang berada di atas kebenaran) masih ada.
 Dan sebelumnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah 
menceritakan tentang orang-orang tersebut dalam haditsnya :
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ
Masih akan terus ada satu kelompok pada 
umatku, mereka akan tetap berada di atas kebenaran sampai hari kiamat 
datang. [HR Bukhari dan Muslim].
Pada asalnya, kaum muslimin harus menjadi
 umat yang bersatu di atas tauhid dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 
‘alaihi wa sallam seperti yang telah kami jelaskan. Dan juga, satu sama 
lain harus saling mencintai karena agama Allah. Ketika terjadi 
perselisihan antara seorang Muhajirin dan seorang Anshar, dan Rasulullah
 Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar orang Anshar berkata “Wahai 
orang-orang Anshar!” dan yang Muhajirin berkata “Wahai orang-orang 
Muhajirin!”
Sebutan Muhajirin dan Anshar adalah dua 
nama yang syar’i dan dicintai Allah. Allah telah menyebutkan dalam 
KitabNya, artinya : Dan orang-orang yang terdahulu dari kalangan 
Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan 
kebaikan, maka Allah telah ridha kepada mereka dan mereka juga telah 
ridha kepada Allah. [At Taubah : 100]
Namun ketika terjadi perbedaan antara 
keduanya dan masing-masing memanggil kelompoknya, maka Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada mereka : “Apakah kalian 
melakukan adat jahiliyah, padahal aku berada di tengah-tengah kalian?”
Sabda Beliau “kalian telah melakukan adat
 jahiliyah” ini ditujukan kepada orang yang mengatakan “Wahai 
orang-orang Anshar” dan yang berkata ”Wahai orang-orang Muhajirin”.
Jadi, seharusnya umat ini bersatu dan 
menjadikan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah n sebagai penentu hukum di 
antara mereka. Keduanya adalah agama yang diamalkan oleh para sahabat. 
Mengamalkan agama dengan pemahaman dan amalan para sahabat Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Orang-orang yang mengikuti para sahabat akan terus ada, seperti disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ
Masih akan terus ada satu kelompok pada umatku, mereka akan tetap berada di atas kebenaran sampai hari kiamat datang.
Hadits ini harus kita cermati. Dengan memahaminya, maka orang akan merasa tenang, tidak goncang dan bingung. Hadits ini penting.
Berikut penjelasannya:
Pertama : Disebutkan di dalamnya “masih akan terus ada”, yang artinya “tidak akan terputus”. Maka siapa pun yang mengajak kepada kebenaran, lalu dakwahnya sampai kepada seorang tertentu, dan sebelumnya tidak ada kelompok atau jama’ah kecuali setelah orang tersebut muncul, maka dia tidak termasuk di dalam hadits ini. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : ”Masih akan terus ada pada umatku”. Dan ahlul haq tidak pernah mengajak, kecuali kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman para salafush shalih. Kelompok yang disebutkan Rasulullah n ini akan terus ada dan memiliki sanad (jalur periwayatan) yang sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pertama : Disebutkan di dalamnya “masih akan terus ada”, yang artinya “tidak akan terputus”. Maka siapa pun yang mengajak kepada kebenaran, lalu dakwahnya sampai kepada seorang tertentu, dan sebelumnya tidak ada kelompok atau jama’ah kecuali setelah orang tersebut muncul, maka dia tidak termasuk di dalam hadits ini. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : ”Masih akan terus ada pada umatku”. Dan ahlul haq tidak pernah mengajak, kecuali kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman para salafush shalih. Kelompok yang disebutkan Rasulullah n ini akan terus ada dan memiliki sanad (jalur periwayatan) yang sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam “akan tetap eksis atau menang”. Ini tidak berarti mereka haruslah
 golongan yang kuat atau menang dengan kekuatan materi. Akan tetapi, 
mereka tetap menang dengan hujjah, dalil, keterangan, penjelasan dan 
kaidah-kaidah para ulama. Mereka tetap teguh di atas kebenaran. 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang keadaan 
mereka dalam sabdanya :
لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ
Tidak mempengaruhi mereka orang-orang yang tidak memperdulikan mereka.
Dan dalam riwayat Musnad Imam Ahmad:
إِلاَّ لَعْوَاءُ تُصِيْبُهُمْ
(Kecuali jika musibah yang menimpa mereka).
Maka kelompok manapun, di negeri manapun,
 dan kapanpun mereka berada sementara musuh-musuh mereka berhasil 
mengecilkan nyali dan menekan mentalnya, maka mereka ini bukan yang 
termasuk dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut,
 karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata “tidak mempengaruhi 
mereka orang-orang yang mencela dan mengganggu mereka”.
Kelompok yang disebutkan ini adalah yang 
berada di atas agama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para 
sahabatnya. Kelompok tersebut akan menjadi kelompok yang mendapat 
pertolongan dan akan menggenggam masa depan yang bagus. Allah telah 
menceritakan dalam KitabNya, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam dalam Sunnah-nya yang shahih, bahwa masa depan akan menjadi milik
 agama ini. Dan agama ini akan menang dan merambah seluruh wilayah. 
Barangsiapa yang menduga bahwa Allah tidak akan menolongnya (Muhammad) 
di dunia dan akhirat, maka hendaknya dia merentangkan tali ke langit, 
kemudian hendaklah ia melaluinya, kemudian hendaklah dia pikirkan apakah
 tipu dayanya itu dapat melenyapkan apa yang menyakitkan hatinya. [Al 
Hajj : 15].
Makna ayat ini (ialah): Wahai, seluruh 
manusia. Barangsiapa yang menduga Allah tidak akan menolong Nabi 
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan agamanya, maka lebih baik dia
 menggantung dirinya dengan tali di atap rumahnya, lalu membunuh 
dirinya. Karena Allah benar-benar menolong Nabi dan agamaNya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm 
pernah ditanya : “Kota manakah yang lebih dulu dibebaskan, Qostantiniyah
 (Konstantinopel yaitu di Turki) atau Roma (ibukota Italia)?” Beliau 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Qostantiniyah) dahulu, 
kemudian Roma.”
Dan (Qostantiniyah) telah dibebaskan 
semenjak tahun 1543M, dibebaskan lebih dari 800 tahun setelah Rasulullah
 Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan kabar tersebut dalam 
haditsnya. Dan kita sedang menunggu penaklukkan kota Roma, sebagaimana 
dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tsauban :
سَتَكُوْنُ فِيْكُمْ النُّبُوَّةُ مَاشَاءَ
 اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ تَنْقَضِي, ثُمَّ تَكُوْنُ فِيْكُمْ خِلاَفَةٌ 
رَاشِدَةٌ مَاشَاءَ اللهُ لَهَا أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ تَنْقَضِي, ثُمَّ 
يَكُوْنُ فِيْكُمْ مُلْكٌ مِيْرَاثِي مَاشَاءَ اللهُ لَهُ أَنْ يَكُوْنَ 
ثُمَّ يَنْقَضِي, ثُمَّ يَكُوْنُ لَكُمْ مُلْكٌ عَضُوْدِي –ملك جبري 
–مَاشَاءَ اللهُ لَهُ أَنْ يَكُوْنَ ثُمَّ يَنْقَضِي , ثُمَّ تَكُوْنُ 
فِيْكُمْ خِلاَفَةٌ عَلَى نَـهْجِ النُّبُوَّةِ
Akan datang pada kalian masa kenabian 
sesuai dengan kehendak Allah, setelah itu habis masanya. Lalu akan 
datang zaman Khilafah Rasyidah sesuai dengan kehendak Allah, lalu 
setelah itu habis masanya. Lalu datang masa kerajaan yang turun menurun 
sesuai dengan kehendak Allah, lalu setelah itu habis masanya. Lalu 
datang masa kerajaan dengan cara paksaan (peperangan) dengan kehendak 
Allah berdiri, lalu setelah itu habis masanya. Kemudian datang masa 
Khilafah yang berada di atas jalan kenabian.
Di samping Allah mempersiapkan segala 
sesuatunya untuk pendirian khilafah yang berada di atas jalan kenabian 
tersebut, Allah juga mempersiapkan sebab-sebabnya. Di antara sebabnya, 
adalah Allah memberikan kemudahan kepada para ulama untuk menjelaskan 
hadits-hadits shahih dan jalan para salafush shalih dari umat ini.
Para imam-imam (ulama) tersebut yang 
diawali oleh Bukhari, lalu Muslim, Nasaa-i, Abu Dawud dan Ibnu Majah. 
Mereka semua bukanlah dari golongan bangsa Arab. Bukhari dari negeri 
Bukhara, Muslim dari Naisabur, Nasaa-i dari Nasaa’, Abu Dawud dari 
Sijistan, Ibnu Majah dari Qozwin. Mereka semua adalah orang ajam (bukan 
Arab). Mereka adalah para ulama hadits, muncul setelah masa para imam 
empat, (yaitu): Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad. Pada zaman para 
fuqaha, Sunnah belum dibukukan dalam satu buku, namun setelah zaman 
mereka.
Kemudian Allah menurunkan keutamaanNya 
untuk kita di negeri Syam dengan munculnya Syaikh Imam dalam ilmu hadits
 (yaitu) Abu Abdir Rahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh Najati Al Albani.
 Beliau datang dari negeri Albania, dibawa hijrah oleh ayahnya ke 
Damaskus guna menjaga agamanya. Kemudian diusir dari Damasqus, lalu 
menuju ke Yordania. Beliau tinggal (disana) lebih dari 50 tahun. Setiap 
hari selama lebih dari 18 jam, beliau melakukan penelitian terhadap 
hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , baik dari 
buku-buku cetakan atau dari manuskrip-manuskrip kuno. Selama itu, beliau
 mengarang dan menjelaskan hadits-hadits Nabi .
Setelah itu, dengan keutamaan Allah, 
muncul ulama-ulama sunnah di negeri-negeri kaum muslimin. Mereka 
mengajak untuk kembali kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam dan sunnah para sahabatnya. Inilah tanda-tanda khilafah yang 
telah diceritakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang akan
 kembali kepada umat ini, Insya Allah. Khilafah tersebut berada di atas 
jalan kenabian, jalan para sahabat dan tabi’in yang datang setelah 
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh sebab itu, wahai saudara-saudaraku! 
Jika ingin menolong dan menyebarkan agama kita, maka kita harus 
mempelajari Al Qur’an. Karena dengan menghafal dan menjaganya, hati akan
 menjadi mulia. Dengan memahami dan mentadabburinya (menghayatinya), 
akal pikiran menjadi mulia. Kita juga harus menghafal dan menjaga 
hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , atsar para sahabat 
dan tabi’in. Mengetahui perkataan-perkataan mereka dalam menghukumi 
masalah-masalah. Kita juga harus selalu mempelajari agama Allah dengan 
dalil-dalilnya yang syar’i dan shahih. Kita jangan bersikap fanatik 
kepada seseorang, madzhab, kelompok dan jama’ah. Kita harus bersikap 
lembut, memberi nasihat, menunjukkan rasa cinta kepada saudara-saudara 
kita yang terjerumus ke dalam jurang fanatisme terhadap satu kelompok. 
Jika kamu menolak nasihat kami, maka jangan kamu berikan semua akalmu 
kepada yang engkau ikuti, teapi sisakan sedikit, agar kamu bisa 
bertadabbur dan berpikir. Jika kamu merasa berat untuk melihat kebenaran
 kecuali dari tempat yang sempit dan kamu merasa tertahan di tempat 
tersebut, maka hendaklah kamu menjaga kunci tempat tersebut di tanganmu 
atau di sakumu; jangan engkau buang jauh dan jangan berikan kepada orang
 lain. Karena, jika pada suatu saat kamu mengetahui mana yang benar, 
maka kamu bisa keluar dari tempat tersebut dalam keadaan tenang dan 
bebas. Dan kamu bisa melihat kebenaran dari tempat yang luas dengan 
dalilnya yang shahih dan syar’i. Akhirnya, engkau akan berjalan di atas 
jalan para ulama.
Dan ketahuilah dengan seyakin-yakinnya, 
wahai saudara-saudaraku! Sesungguhnya akhir umat ini tidak akan menjadi 
baik, kecuali jika mencontoh umat yang pertama. Tidak ada jalan untuk 
memperbaiki umat ini, kecuali dengan jalan para ulama, duduk di majlis 
para ulama, mempelajari agama dengan pemahaman mereka dan 
mengamalkannya, kemudian menyebarkannya. Maka dengan itu, kaum mukminin 
akan bergembira dengan pertolongan dari Allah. Saya mengharap kepada 
Allah, agar kita dijadikan dari salah satu sebab ditolongnya agama ini, 
dan sebab penyebarluasan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam.
Semoga Allah memberikan manfaat kepada 
kita dan menjadikan kita berguna bagi orang lain, juga menjadikan apa 
yang telah kita katakan dan kita dengar ini menjadi hujjah (pembela) 
untuk kita, bukan penggugat diri kita. Semoga Allah menjadikan itu semua
 sebagai timbangan kebaikan kita, dan menjadikan timbangan kita berat 
karenanya, Insya Allah.
Oleh
Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman
Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 
01/Tahun IX/1426H/2005M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, 
Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 
08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Naskah ini diangkat dari ceramah Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman di Universitas Islam Negeri Malang, pada tanggal 7 Desmber 2004. Ditranskrip ulang dan diterjemahkan oleh al akh Nashiruddin.
_______
Footnote
[1]. Naskah ini diangkat dari ceramah Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman di Universitas Islam Negeri Malang, pada tanggal 7 Desmber 2004. Ditranskrip ulang dan diterjemahkan oleh al akh Nashiruddin.
sumber : 
http://almanhaj.or.id/content/2974/slash/0/perintah-untuk-mengikuti-sunnah-rasulullah-dan-larangan-dari-fanatisme-dan-taqlid/








 
 
 
0 komentar:
Posting Komentar